Sabtu, April 17, 2010

Air Kehidupan

Teringat ketika era 80an, dikampung saya di desa Mendek, Wanagiri Kauh, Selemadeg, Tabanan. Waktu itu kakek, nenek dan orang tua saya termasuk saya sangat senang mandi di sungai. Wajar saja, karena di jaman itu belum ada PAM, belum ada pemandian umum, kamar mandi pribadi saja masih belum punya.Kami sekeluarga sangat menikmati mandi di sungai. Masih teringat, air sungai yang bening, bersih bebas dari pencemaran. Waktu itu, jika mandi di sungai (Tukad Yeh Le dan Tukad Yeh Otan) bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Bahkan airnya bisa diminum, menyegarkan.

Seiring berkembangnya jaman, ketika pemerintah menggalakkan program wc masuk desa, PAM, Listrik seiring itu pula penduduk desa termasuk kami sekeluarga mulai enggan untuk mandi ke sungai. Bahkan kalau mandi ke sungai terkesan 'ndeso'. Akibatnya kondisi ini dimanfaatkan oleh peternak babi untuk membuang limbahnya ke sungai. Hal ini menambah keengganan untuk mandi ke sungai lagi.

Entah sekian lama berlalu, mulai era milenium air sungai sudah mulai dangkal, kotor dan bau. Sudah hampir tidak ada orang yang mau mandi kesungai. Paling-paling sekelompok anak muda yang mencuci sepeda motornya.Air sungai sudah agak berbau. Jangankan melihat nyalian, mujair, kakap seperti waktu dulu.Melihat ikan kepala timah pun sudah sangat sulit.

Siapa yang salah kalau sudah begini? ketika kita sadar kita sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang kita miliki. Kebiasaan kita hanya mencari kambing hitam, menuding sesorang atau sekelompok orang untuk bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi...

Sekarang ini, kalau rindu mandi di sungai, kami sekeluarga memilih Tirta Empul untuk mandi. Sekalian melukat (= ngeruwat). Sayangnya juga, sekarang Tirta Empul dikelola seperti kolam renang, semuanya serba bayar (emang sudah jamannya kali). Yah begitulah adanya. Ada kerinudan untuk membuat semua sungai di Bali menjadi sebening Tirta Empul. Mungkinkah???...

Para pakar banyak memberikan ide-ide dan gagasan untuk mengembalikan Bali kembali sepertu dulu yang belum tercemar. Tapi sepertinya gagasan tinggal gagasan. Ambil contoh nyata saja, Tukad Badung sekarang ini, masih banyak sampah plastik berserakan. Padahal pemerintah sudah berusaha keras untuk membersihkan Tukad Badung.



Kenapa kita tidak mampu menjaga lingkungan kita seperti halnya negara-negara eropa, australia, amerika serikat, singapura, jepang ? Mereka mampu mengelola lingkungan sungainya dengan baik menjadi objek wisata, misalnya Boat Quay dan Clarke Quay di Singapore, di tepi sungai dibangun restaurant yang sangat romatis, menjadi objek wisata yang mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya...

Padahal mereka tidak mengenal konsep Tri Hita Karana...
Mungkin mereka tidak banyak berteori, berkhayal, tapi langsung action menjaga lingkungannya..
Mudah-mudahan kita bisa dan Mampu menjaga lingkungan kita, demi masa depan anak cucu kita yang lebih cerah

1 komentar:

  1. Keadaan seperti di Mendek banyak terjadi di daerah lain. Kita mulai tidak bijaksana mengelola alam, banyak kawasan limitasi lindung yang digunakan untuk budidaya, secara tidak bijaksana seperti sungai tercemar, kawasan kesucian pura yang terusik, sempadan pantai, jurang, loloan yang sering dilanggar kelestariannya.
    Kita sebenarnya punya banyak aturan yang baik seperti peraturan tata ruang, konsep Tri Hita KArana dan aturan di masing2 desa adat. Tapi kadang pelaksanaanya yang tidak sesuai. Sering kita mencari celah kelemahan aturan itu untuk melancarkan kepentingan kita.Hal ini semestinya tidak terus terjadi untuk mewujudkan Bali sebagai kawasan wisata dengan berwawasan lingkungan.

    BalasHapus