Sabtu, Februari 08, 2014

Logiko Hipotetiko Verifikatif



Ilmu pengetahuan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia terhadap jawaban permasalahan yang dihadapinya melalui cara-cara yang rasional, empiris dan sistematis (metode ilmiah). Hal inilah yang membedakannya dengan pengetahuan, dimana tidak semua pengetahuan dapat dikategorikan sebagai sebuah ilmu.
Pariwisata yang saat ini keberadaannya sudah diakui sebagai sebuah ilmu, membutuhkan banyak pembuktian dan pengembangan dalam bidang akademis melalui penelitian-penelitian yang berlandaskan logiko (logika), hipotetiko (hipotesis) dan verifikatif (verifikasi). Hal ini akan menjaga eksistensinya sebagai sebuah ilmu dapat dipertanggungjawabkan bagi manusia.
Tulisan ini mencoba mengkaji logiko (logika), hipotetiko (hipotesis) dan verifikatif (verifikasi) dalam bidang pariwisata dalam konteks sebuah ilmu pengetahuan. Berbekal  filsafat ilmu yang menginspirasi setiap penilitian dalam bidang pariwisata, diharapkan kedepannya pariwisata sebagai sebuah ilmu pengetahuan mampu menjawab setiap permasalahan yang dihadapi dalam pariwisata melalui pendekatan multidisiplin dan mengembangkan konsep-konsep serta menemukan teori baru dalam ilmu pariwisata.

LOGIKO (LOGIKA)
Logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran yang betul (correct reasoning) (Gie, 1997).  Logika itu merupakan pemikiran dalam bentuk penalaran. Kemampuan berpikir yang dimiliki manusia merupakan kemampuan yang spesifik manusiawi. Hal ini disebabkan  karena  kemampuan  berpikir  manusia  sudah  dianugerahkan  oleh  Al Khalik (Kertiyasa, 2011:9).
Pengetahuan ilmiah  adalah segala sesuatu yang kita ketahui (pengetahuan) yang dihimpun dengan metode ilmiah (Gie, 1997). Pengetahuan ilmiah ini selanjutnya disebut dengan “ilmu”. Para filsuf memiliki pemahaman yang sama mengenai ilmu, yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara sistematis (Gie, 1997).
Berpikir deduktif atau berpikir rasional merupakan sebagian dari berpikir ilmiah. Penalaran  deduktif yang  dipergunakan dalam  berpikir  rasional  merupakan salah satu unsur dari metode logiko-hipotetiko-verifikatif atau metode ilmiah (Kertiyasa, 2011:32).
Metode Ilmiah pada hakekatnya merupakan langkah-langkah yang berporoskan troika, yaitu (Suria Sumantri,1984):
1.        Penyusunan kerangka berpikir --- logika deduktif
2.        Pengajuan hipotesis --- kesimpulan kerangka berpikir
3.        Pengujian [verifikasi] hipotesis
Metode ilmiah dikenal juga dengan proses :


Aristoteles dalam bukunya Analitica Priora (dalam Mundiri, 2000: 85-86) menyebut penalaran deduktif dengan istilah silogisme. Aristoteles membatasi silogisme sebagai argumen yang konklusinya diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan  yang  berlainan.  Proposisi  sebagai  dasar  kita  mengambil  simpulan bukanlah proposisi yang dapat kita nyatakan dalam bentuk oposisi, melainkan proposisi yang mempunyai hubungan independen. Bukan sembarang hubungan independen, melainkan mempunyai term permasalahan. Dua permasalahan dapat kita tarik sebuah kesimpulan manakala mempunyai term yang menghubungkan keduanya. Term ini adalah mata rantai yang memungkinkan kita mengambil sintesis dari permasalahan yang ada. Tanpa term persamaan itu, maka konklusi tidak dapat kita tarik.




HIPOTETIKO
Hipotesis merupakan dugaan  atau  jawaban  sementara terhadap permasalahan yang  sedang  kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar, maka seorang ilmuwan seakan-akan melakukan suatu ‘interogasi terhadap alam’. Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk men- dapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyeli- dikan.
Sebagai jawaban yang bersifat tentatif, hipotesis bukanlah suatu pernyataan yang harus tahan uji, namun kebenaran hipotesis itu harus diragukan terlebih dahulu. Di dalam mencari sesuatu yang bersifat pasti haruslah dimulai dengan keraguan, se- hingga setiap hipotesis harus bersifat terbuka untuk dilakukan pengujian atau setiap formulasi hipotesis harus dapat diuji (testable). Sejalan dengan pernyataan ini, Descartes (dalam Rindjin, 1987: 14) menyarankan ‘De omnibus dubitandum’, ragukan- lah segalanya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengamatan, pengetahuan yang telah didapat dari pendidikan dan pengajaran, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan kesadaran kita sendiri, haruslah dianggap tidak pasti. Jadi, pangkal tolak pikirannya adalah keragu-raguan (skeptis). Tetapi ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa saya ragu-ragu. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan. Saya ragu-ragu berarti saya berpikir, dan oleh karena itu saya ada (Cogito ergo sum). Rasio atau pikiran yang telah menemukan kepastian itu haruslah dijadikan satu-satunya perantara yang mem- berikan bimbingan dalam pengambilan simpulan. Suatu simpulan adalah pasti apabila simpulan itu dapat diungkapkan dalam pengetian yang jelas dan terpilah-pilah, se- perti halnya ‘Cogito ergo sum’.

VERIFIKATIF
Berdasarkan  uraian  mengenai teori kebenaran, dapat diinferensikan  bahwa antara riset dan kebenaran terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh hasil dari analisis data yang menerima hipotesis sebetulnya merupakan derivat dari penalaran deduktif dan penalaran induktif, akan dapat ditinjau kebenarannya melalui teori kebenaran pragmatis. Hipotesis yang diturunkan dari penalaran deduktif kebenarannya akan dapat dikaji lewat teori kebenaran koheren, dan verifikasi data yang diturunkan melalui penalaran induktif, kebenarannya akan dapat dikaji lewat teori kebenaran korespondensi.






Akhirnya kita bahas lebih lanjut mengenai pedoman-pedoman atau ancangansuatu pernyataan baru bisa dianggap benar, yang pembahasannya tidak bisa lepas dengan teori kebenaran. Menurut Nazir (1988: 16-18), sampai saat ini dikenal tiga teori kebenaran, yaitu:
1. Teori kebenaran koherensi.
Suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan tersebut koheren atau kon- sisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Misalnya, suatu pernya- taan bahwa Nadya Hutagalung akan mati dapat dipercaya, karena pernyataan ter- sebut koheren dengan pernyataan semua orang akan mati. Kebenaran matematika misalnya, didasarkan atas sifat koheren, karena dalil matematika disusun berdasarkan beberapa aksioma yang telah diketahui kebenarannya lebih dahulu. Sebagai contoh, resapilah deduksi matematika berikut! Jika a = b, b = c, maka a = c.
Menurut  Suriasumantri  (1999:  57),  matematika  ialah  bentuk  pengetahuan
yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem mate- matika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Di atas teorema, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara kese- luruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.
2. Teori kebenaran korespondensi.
Salah  satu  dasar  untuk mempercayai kebenaran adalah  sifat korespondensi yang  diprakarsai  oleh  Bertrand  Russel  (1872-1970).  Suatu  pernyataan  dianggap benar, jika materi pengetahuan yang terkandung dalam kenyataan tersebut berhu- bungan atau mempunyai korespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan bahwa ibukota Provinsi Daerah Istimewa Aceh adalah Banda Aceh adalah benar, karena pernyataan tersebut mempunyai korespondensi dengan lokasi atau faktualisasi bahwa Banda Aceh memang ibukota Provinsi Aceh. Jika orang mengatakan bahwa ibukota Republik Indonesia adalah Kuala Lumpur, maka orang tidak akan percaya, karena tidak terdapat objek yang mempunyai korespondensi dengan  pernyataan  tersebut.  Secara  faktual,  ibukota  Republik  Indonesia  adalah Jakarta, bukan Kuala Lumpur. Sifat kebenaran yang diperoleh dalam proses berpikir secara ilmiah umumnya mempunyai sifat koherensi dan sifat korespondensi. Berpikir deduktif adalah menggunakan sifat koheren dalam menentukan kebenaran, sedangkan berpikir secara induktif, peneliti menggunakan sifat korespondensi dalam menen- tukan kebenaran.
3. Teori kebenaran pragmatis.
Kebenaran lain dipercaya karena adanya sifat pragmatis. Dengan perkataan lain, pernyataan dipercaya benar karena pernyataan tersebut mempunyai sifat fung- sional dalam kehidupan. Suatu pernyataan atau simpulan dianggap benar, jika pernya- taan tersebut mempunyai sifat pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Teori kebe- naran dengan sifat pragmatis ini dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul ‘How to Make Our Ideas Clear’. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah  berkebangsaan  Amerika  yang  menyebabkan  filsafat  ini  sering  dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931), dan C.I. Lewis.
Bagi seorang pragmatis, maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kri- teria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Arti- nya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari per- nyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori itu di- anggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan-kegu- naan. Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati, melainkan teori dalam menentukan kriteria kebenaran sebagaimana disebut- kan di atas. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini, maka ilmuwan bersifat pragmatik selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan, maka pernyataan itu dianggap benar. Sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan per- nyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel tidak akan berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya, yang agak kurang berhasil dalam menentukan hal-hal baru, seperti embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun.
Teori kebenaran pragmatis mensintesiskan pandangan teori kebenaran kohe-rensi dan korespondensi. Hal ini disebabkan oleh teori kebenaran pragmatis mengakui adanya kebenaran (realitas) dalam bentuk fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman, prinsip-prinsip yang didapat dari logika murni, dan nilai-nilai. Kebenar- an setiap pernyataan, filsafat, ideologi, teori, dan sebagainya harus diuji dari tiga kri- teria, yaitu: 1) practical consequences, 2) usefulness, dan 3) workability.
Teori kebenaran pragmatis memang merupakan kritik yang pedas terhadap filsafat,  ideologi  atau  teori  yang  muluk-muluk.  Setiap  pernyataan  atau  pendapat adalah signifikan apabila dapat dicarikan bukti-buktinya dan dapat diuji kebenaran- nya. Dan lebih daripada itu harus dilihat konsekuensi praktisnya dalam kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pernyataan yang selalu mengusik adalah perbedaan apakah yang akan terjadi kalau …; atau kon- sekuensi apakah yang akan timbul, apabila …. Kegunaan atau kebermaknaan dihu- bungkan dengan sesuatu yang dianggap bernilai. Yang bernilai diukur dari keberhasil- annya. Dan yang dikatakan berhasil diukur dari pencapaian tujuannya. Tujuan di sini tidaklah selalu bersifat fisik dan material, tetapi juga non-fisik dan non-material. Yang terakhir  ini berkenaan  dengan pengalaman keagamaan.  Kepercayaan  akan  adanya realisasi kosmik dalam diri manusia maupun luar dirinya dan adanya Tuhan adalah bermakna sepanjang dapat memberikan kekuatan iman, ketenangan, dan kedamaian hati. Mengenai keampuhan (workability) dihubungkan dengan kemampuan untuk me- mecahkan masalah. Yang benar dan baik adalah yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Sebagai simpulan, maka James menyatakan: … ‘true ideas are those that we can assimilate, validate, corroborate, and verify. False ideas are those that we can not …’ (dalam Rindjin, 1987: 57).


Daftar Pustaka
Kertiyasa, I Nyoman.2011.Logika, Riset dan Kebenaran. WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011, Universitas Panji Sakti. http://jurnalwidyatech.files.wordpress.com/2012/02/i-nyoman-kertayasa.pdf
Ackermann, Robert. 1970. Philosophy of Science: An Introduction. New York: Pegasus. Fraenkel, Jack R. and Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research in
Education. Second Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Ihromi. 1987. Materi Pokok Logika. Jakarta: Karunika.
Martin, Michael. 1972. Concepts of Science Education: A Philosophical Analysis. Illinois: Scott Foresman and Company.
Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasoetion, Andi Hakim. 1992. Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Peursen, C.A. Van. 2003. Menjadi Filsuf: Suatu Pendorong ke Arah Berfilsafat Sendiri.
Yogyakarta: CV Qalam.
Gie, The Liang.1997. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty
Poespoprodjo, W. dan EK. T. Gilarso. 1999. Logika Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir
Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. Bandung: Pustaka Grafika.
Rapar,   Jan   Hendrik.   1996.   Pengantar   Logika:   Asas-Asas   Penalaran   Sistematis.
Yogyakarta: Kanisius.
Rindjin, Ketut. 1987. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Denpasar: CV Kayu
Mas.
Soekadijo,   R.G.   1985.   Logika   Dasar:   Traisional,   Simbolik,   dan   Induktif.   Jakarta: Gramedia.
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudjana, Nana. 1988. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru.
------- dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.
-------. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Selasa, Februari 04, 2014

KEBAHAGIAAN SEBAGAI TUJUAN HIDUP MANUSIA MENURUT ARISTOTELES



1.        Aristoteles (384-322BC) dalam karyanya “Etika Nikomachea” digambarkan sebagai “sungai emas berbicara”, argumentasinya mengalir deras dan padat. Pemikirannya mengenai arah,tujuan antara, dan tujuan akhir bagi setiap tindakan manusia. Di dalam diri manusia terdapat maksud dan tujuan tertinggi yang disadari, yaitu mengarah kepada kebaikan, namun pada saat tertentu tujuan itu dibelokkan ke suatu titik yang lebih rendah dan berputar-putar pada tujuan yang rendah pula.
a.       Yang dimaksud dengan tujuan akhir manusia menurut Aristoteles adalah :
Menurut Aristoteles, ada akhir dari semua tindakan yang kita lakukan yang kita inginkan untuk dirinya sendiri. Ini adalah apa yang dikenal sebagai eudaimonia, berkembang, atau kebahagiaan yang diinginkan untuk kepentingan diri sendiri dengan semua hal-hal lain yang diinginkan pada rekeningnya. Eudaimonia adalah milik kehidupan seseorang ketika dianggap sebagai keseluruhan. Berkembang adalah kebaikan tertinggi dari usaha manusia dan ke arah mana semua tindakan bertujuan. Ini adalah sukses sebagai manusia. Kehidupan yang terbaik adalah salah satu aktivitas manusia yang sangat baik.  Bagi Aristoteles, baik adalah apa yang baik bagi tujuan, entitas yang diarahkan pada tujuan. Dia mendefinisikan baik yang tepat untuk manusia sebagai kegiatan di mana fungsi hidup khusus untuk manusia yang paling sepenuhnya terwujud.
Bagi Aristoteles, kebaikan setiap spesies adalah teleologis imanen untuk spesies tersebut. Sifat seseorang sebagai manusia memberikan dia dengan pedoman berkaitan dengan bagaimana ia harus menjalani hidupnya. Sebuah fakta yang mendasar dari sifat manusia adalah keberadaan individu manusia masing-masing dengan pikiran rasional sendiri dan kehendak bebas. Penggunaan kesadaran kehendak seseorang adalah kapasitas khas seseorang dan cara untuk bertahan hidup.
Satu hidup sendiri adalah satu-satunya kehidupan bahwa seseorang harus hidup. Oleh karena itu, untuk Aristoteles, "baik" adalah apa yang obyektif baik bagi seorang pria tertentu. Eudaimonia Aristoteles secara resmi egois dalam alasan normatif seseorang untuk memilih tindakan tertentu berasal dari ide bahwa ia harus mengejar baik sendiri atau berkembang. Karena kepentingan terus berkembang, baik dalam perilaku manusia terhubung ke kepentingan pribadi dari orang yang bertindak. Baik berarti "baik untuk" agen moral individual. Egoisme merupakan bagian integral dari etika Aristoteles.
Jadi , Aristoteles mencatat , hampir semua hal-hal yang tidak hanya dikejar demi sesuatu yang lain , tapi ' sesuatu yang lain ' itu sendiri dikejar demi masih belum beberapa hal lain . Apakah ini melanjutkan hingga tak terbatas ? Apakah pernah ada titik akhir ? Apakah ada sesuatu yang kita kejar demi dirinya sendiri dan bukan untuk kepentingan beberapa hal lebih lanjut atau berakhir?
Aristoteles berpikir ada satu hal yang cocok dengan gambaran ini : kebahagiaan.
b.      Gambaran keadaan manusia yang  telah mencapai tujuan akhir
1)      Mortalitas, mampu hidup sampai akhir kehidupan manusia dengan lengkap , sejauh mungkin , tidak mati muda , atau hidup dengan kualitas yang layak.
2)      Kebutuhan tubuh dan Kapasitas kesehatan yang baik , penggunaan kemampuan normal, makanan yang cukup , tempat tinggal yang memadai , kepuasan seksual , bergerak dan berpindah  bebas dari satu tempat ke tempat yang lain .
3)      Kapasitas untuk Kesenangan dan Nyeri. Mampu untuk menghindari rasa sakit yang tidak perlu dan tidak berguna , dan memiliki pengalaman yang menyenangkan .
4)      Kemampuan kognitif / mempersepsi, membayangkan. Mampu menggunakan panca indera ; mampu membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak nyata. Kemampuan untuk melihat hal-hal , bahkan hal-hal biasa dengan menakjubkan. Seiring dengan ini datang kemampuan mereka untuk menjadi kreatif , inventif , dan orisinil .
5)      Alasan Teoritis, mampu membentuk konsepsi yang akurat tentang apa yang baik dan untuk terlibat dalam refleksi kritis tentang perencanaan hidup yang mandiri.
Kepintaran : mengetahui bagaimana untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Orang-orang ini adalah orang-orang realistis , yang berarti mereka bisa membedakan apa yang palsu dan tidak jujur ​​dari apa yang nyata dan asli . Mereka berpusat pada masalah , yang berarti mereka memperlakukan kesulitan hidup  sebagai masalah yang menuntut solusi , bukan sebagai masalah pribadi yang akan mencerca atau menyerah.
6)      Humor and Play. Mampu tertawa , bermain, untuk menikmati kegiatan rekreasi , memiliki perspektif tentang pentingnya orang-orang , untuk bisa menertawakan diri sendiri , tidak mengambil diri terlalu serius
7)      Afiliasi dengan Manusia lainnya. Mampu meluangkan waktu untuk orang-orang di luar dirinya, untuk mengasihi orang yang mengasihi dan merawat kita , untuk berduka terhadap ketidakhadiran mereka , merasakan kerinduan dan rasa syukur , mampu hidup dengan orang lain , untuk mengenali dan menunjukkan kepedulian terhadap manusia lainnya , bertindak untuk kebaikan bersama ( untuk menjadi warga negara yang baik ) , untuk terlibat dalam berbagai bentuk interaksi kekeluargaan dan sosial .
Mereka memiliki kualitas Maslow disebut kekerabatan manusia atau Gemeinschaftsgefhl - kepentingan sosial , kasih sayang , kemanusiaan.
8)      Keterpisahan, The self- actualizers juga memiliki cara yang berbeda dalam berhubungan dengan orang lain . Pertama , mereka menikmati kesendirian , dan nyaman sendirian . Dan mereka menikmati hubungan personal yang lebih dalam dengan beberapa teman dekat dan anggota keluarga , bukan hubungan yang lebih dangkal dengan banyak orang . Aristoteles melihat kebutuhan-kebutuhan sebagai tujuan umum untuk semua manusia . Dia berasal dari melihat kebutuhan ini baik di biologi kita ( untuk kebutuhan seperti kesehatan , kepuasan seksual , makanan dan sebagainya ) dan pada orang-orang disekitarnya . Dia percaya dalam sifat manusia umum yang fundamental adalah tidak relatif terhadap waktu atau tempat .
c.       Manusia ada yang tidak mencapai tujuan akhir karena :
1)      Eudaimonia harus menjadi sesuatu yang jelas manusia, sesuatu yang manusia tidak berbagi dengan hewan. Ini tidak termasuk identitas kebahagiaan dan kesenangan tubuh. Seperti Aristoteles menunjukkan kemudian, kesenangan merupakan bagian imortanat kebahagiaan tetapi mereka tidak dengan sendirinya membuat hidup bahagia. Mereka menyelesaikan kegiatan sebagai rempah-rempah, tetapi mereka tidak hidangan utama kehidupan.
2)      Tidak berusaha untuk mencapai Eudaimonia. Dengan demikian itu tidak termasuk kebajikan baik dalam arti keunggulan dan kecakapan moral. Tapi kebajikan pribadi bukan merupakan kondisi yang cukup untuk kebahagiaan terutama jika tidak dilaksanakan sebagai suatu kegiatan. Kebahagiaan adalah suatu kegiatan (energeia), bukan keadaan pikiran, keadaan emosi atau keadaan moral (disposisi). Kegiatan yang membawa kebahagiaan harus teleion - dikejar untuk kepentingan diri sendiri. Jika ada beberapa kegiatan yang dikejar untuk kepentingan mereka sendiri salah satu yang lebih "endy" (Kenny), yaitu dikejar hanya untuk kepentingan diri sendiri akan lebih dari alam yang kita atribut untuk kebahagiaan. Misalnya, kesenangan lebih "endy" daripada kekayaan, karena diinginkan dalam dirinya sendiri. Tapi kesenangan juga diinginkan demi kebahagiaan sedangkan kebahagiaan dikejar hanya untuk kepentingan diri sendiri. Jadi, tidak hanya lebih "endy" tetapi lebih akhir juga dan lengkap dalam dirinya sendiri.
3)      Belum mampu berdiri sendiri atau berswasembada.
4)      Keadaan eksternal yang tidak mendukung
5)      Orang yang tidak beruntung atau sedang ditimpa kemalangan.

2.        Kebahagian
a.       Yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah :
Kebahagiaan adalah menjalani hidup dengan benar, bukan soal perasaan senang. Seseorang yang bahagia (Eudaimon) tidak hanya menikmati hidup tetapi menikmati hidup dengan hidup dengan penuh, artinya, dengan hidup dalam kondisi yang stabil berhasil daripada mencoba segala sesuatu baru. Oleh karena itu, putusan bisa setidaknya dalam aspek-aspek tertentu mengubah karakter kehidupan seseorang yang tidak masuk akal jika kita memahami kebahagiaan sebagai salah satu keadaan pemenuhan emosional.
Secara harfiah, eudaimonia berarti "roh pembimbing yang baik". Tapi itu bukan merupakan kondisi emosional maupun negara yang diakibatkan dari luar (keberuntungan). Eudaimonia menunjukkan mengerjakan dengan baik", berkat, kemakmuran, secara singkat, itu adalah jawaban positif atas pertanyaan "bagaimana Anda melakukannya?" Daripada hanya perasaan kepuasan itu adalah keadaan aktif kesejahteraan, menjadi-baik, melakukan dengan baik (eu zen kai prattein).

b.      Cara untuk mencapai kebahagiaan
Menurut Aristoteles, cara untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan
Karena telah ditetapkan bahwa kebahagiaan merupakan kegiatan sesuai dengan kebajikan , adalah wajar untuk mengandaikan bahwa itu adalah suatu kegiatan sesuai dengan kebajikan tertinggi , yang akan menjadi suatu kegiatan yang sesuai dengan bagian terbaik dari manusia . Kegiatan intelek adalah aktivitas manusia terbaik , karena sesuai dengan bagian tertinggi dari manusia , berkaitan dengan benda-benda yang terbaik , adalah kegiatan yang paling berkelanjutan , mandiri , dan dicintai untuk kepentingan diri sendiri . Segala sesuatu yang dikaitkan dengan orang yang diberkati tampaknya ada dalam kegiatan intelek , yang merupakan kontemplasi . Sebuah kehidupan kontemplasi , maka , akan menjadi kebahagiaan yang sempurna bagi manusia . Hidup seperti itu di atas manusia , untuk itu hanya mungkin sejauh manusia memiliki sesuatu yang ilahi dalam dirinya , karena akal adalah semacam unsur ilahi dalam diri manusia . Manusia dengan demikian harus berusaha untuk hidup sesuai dengan yang terbaik dari jiwanya dan dengan demikian untuk mengambil bagian dari keabadian . Karena hidup kontemplatif yang paling tepat untuk manusia , juga yang terbaik dan paling menyenangkan , dan dengan demikian bahagia .
c.       Tingkat kebahagiaan yang dicapai berdasarkan logika dan bedanya kebahagiaan yang dicapai dengan kontemplasi
Aristoteles menunggu sampai Buku Sepuluh untuk menyelesaikan logika yang ditetapkan dalam Buku Satu berkaitan dengan menentukan kebaikan tertinggi bagi manusia dengan memeriksa kapasitas tertinggi seorang manusia . Seperti telah disebutkan dalam analisis Buku Satu , Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan manusia dapat didefinisikan dengan menentukan fungsi yang tepat bagi manusia . Fungsi ini tidak bisa menjadi salah satu yang tanaman dan hewan juga melakukan , karena itu harus khusus untuk manusia . Oleh karena itu , fungsi manusia harus menjadi bagian dari kehidupan praktis bagian rasional dari manusia, menyiratkan perilaku tujuan jangka praktis , yang mungkin hanya untuk makhluk rasional . Ini mengikuti , kemudian , kebahagiaan yang terdiri dalam tindakan dari bagian rasional manusia , jiwa . Akhir baik manusia harus secara alami mengalir dari menjalankan fungsi dengan baik , karena itu , seperti Aristoteles berteori , " Kebaikan manusia [ dan , dengan perluasan, definisi kebahagiaan ] adalah latihan aktif fakultas jiwanya sesuai dengan keunggulan atau kebajikan , atau jika ada beberapa keunggulan manusia atau kebajikan , sesuai dengan yang terbaik dan paling sempurna di antara mereka " ( Buku Satu , Bagian 7 ) . Untuk membentuk kebahagiaan sejati tindakan ini harus bertahan dengan kontinuitas sepanjang hidup . Sementara kebajikan etis adalah tindakan sesuai dengan alasan , kebajikan intelektual lebih unggul karena menggunakan alasan ? ? Bagian tertinggi dari manusia ? ? Dalam kontemplasi objek terbaik yang manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui . Karena kegiatan yang paling terus menerus , aktivitas berbudi luhur paling menyenangkan , aktivitas yang paling mandiri , dan satu-satunya kegiatan yang dicintai untuk kepentingan diri sendiri , kontemplasi adalah satu-satunya operasi yang memenuhi semua kualifikasi kebahagiaan . Aristoteles sehingga memberikan revisi akhir definisinya : " Kebahagiaan adalah Membawa jiwa untuk bertindak sesuai dengan kebiasaan yang terbaik dan paling sempurna kebajikan , yaitu kebajikan intelek spekulatif , ditanggung oleh lingkungan yang mudah dan abadi dengan panjang hari " ( Buku Satu , Bagian 7 ) .
Manusia, bagaimanapun, hidup di dunia nyata di mana ia tidak bisa menghabiskan seluruh hidupnya dalam kontemplasi terus menerus . Menyadari masalah ini , Aristoteles mengakui , " Tapi hidup seperti itu akan menjadi terlalu tinggi bagi manusia , karena itu tidak sejauh ia adalah manusia bahwa ia akan hidup begitu , tapi sejauh sesuatu yang ilahi hadir di dalam Dia" ( Buku sepuluh , Bagian 7 ) . Untuk saat-saat , dari kebutuhan hidup manusia , manusia harus mengorbankan perenungannya , hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang menyediakan sekunder , kurang ilahi , kebahagiaan . Selain itu, teori Aristoteles berpendapat bahwa , untuk menjadi bahagia , perlu untuk memiliki kemakmuran yang cukup eksternal , seperti kesehatan , kelahiran yang baik , anak-anak yang memuaskan , makanan, tempat tinggal , dan kebebasan dari penderitaan , meskipun bahkan dalam situasi yang paling mengerikan yang berbudi luhur dapat mempertahankan beberapa kemiripan kebahagiaan dengan bantalan pencobaan mulia dan dengan ketabahan