Rabu, Juli 04, 2012

Pembangunan Bandara International di Buleleng

Beberapa waktu belakangan ini, banyak orang memperdebatkan pembangunan bandara bertaraf internasional di Buleleng (Bali Utara). Hal ini tentunya sangat menarik perhatian untuk diamati, karena pembangunan bandara internasional di daerah Bali bagian utara memiliki posisi strategis bagi pembangunan Bali  di masa depan.
Wacana pembanguna bandara di Bali bagian utara (daerah Buleleng) tentunya dikembangkan untuk menyerap berbagai aspirasi masyarakat mengenai kemungkinan dampak baik maupun buruk yang akan terjadi. Ada yang mendukung, adapula yang antipati. Berbagai kalangan mulai praktisi, akademisi dan pemerintah ikut serta urun rembug. Pendapat yang mendukung pembangunan bandar udara bertaraf internasional antara lain sebagai berikut :
  1. Keterbatasan daya tampung Bandara Ngurah Rai. Berdasarkan catatan dari Kemenhub, jumlah wisatawan yang masuk melalui Bandara Ngurah Rai saat ini mencapai 12 juta orang setiap tahun. Jumlah ini akan terus bertambah, di mana pada tahun 2017 nanti diperkirakan mencapai 17 juta orang pertahun, dengan asumsi tingkat pertumbuhan 20,00% pertahun. Di Bandara Ngurah Rai sudah tidak memungkinkan untuk menambah landasan pacu.
  2. Pemerataan pertumbuhan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri lagi, pertumbuhan perekonomian di wilayah Bali bagian selatan, sangat pesat. Saking pesatnya, pertumbuhan ini justru menimbulkan ketimpangan dengan wilayah Bali bagian utara. Fenomena ini dapat kita lihat dari beberapa indikator, antara lain : (i) harga tanah yang teramat sangat mahal di wilayah Bali bagian selatan (sebagai ilustrasi, harga tanah di Kuta per are dapat mencapai Rp. 1-3 milyar,bahkan lebih. Itupun kalau ada yang mau jual), coba kita bandingkan dengan daerah Buleleng, berani jamin, dengan uang Rp.1 milyar, boleh dapat tanah seluas 0,5 hektar sampai dengan 1 hektar); (ii) biaya hidup di daerah Bali bagian selatan jauh lebih tinggi dengan Bali bagian utara, (iii) lapangan pekerjaan jauh tersedia lebih banyak tersedia di wilayah Bali bagian selatan, sehingga banyak terjadi urbanisasi ke kota Denpasar dan sekitarnya. Kalau di Bali bagian utara karena pertumbuhan perekonomian tidak sebaik di Bali bagian selatan, tentunya lapangan pekerjaan yang tersedia lebih sedikit.
  3. Mengatasi kemacetan lalu lintas. Tidak dapat dipungkiri, dengan adanya Bandara Ngurah Rai, mendorong pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Hotel, restaurant, biro perjalanan, kantor-kantor, super market, sebagian besar dibangun pada radius yang dekat dengan bandara. Kondisi ini menyebabkan arus lalulintas terpusat pada wilayah sekitar bandara, akibat aktivitas perekonomian.
Harapan yang timbul dengan adanya pembangunan Bandara bertaraf internasional di wilayah Bali bagian utara adalah mampu meningkatkan daya tampung bandara bagi kedatangan wisatawan atau pengunjung, meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi sebagai efek jangka panjang karena pembangunan bandara mampu menggairahkan perekonomian di wilayah Bali bagian utara dan kemacetan lalulintas dapat di atasi karena aktivitas pariwisata dan perekonomian sebagian beralih ke Bali bagian utara.

Pendapat yang tidak mendukung pembangunan bandara bertaraf internasional di Bali bagian utara antara lain :
  1. Daya dukung Pulau Bali yang sangat terbatas. Bali adalah pulau kecil dengan suber daya alam yang sangat terbatas. Apabila dibangun bandara lagi, maka ada kekhawatiran makin banyak pula wisatawan yang datang, makin banyak pula hotel-hotel, restauran, supermarket dan sarana pariwisata lainnya yang akan dibangun. Oleh karena itu makin banyak pula sumber daya alam Pulau Bali yang akan dieksploitasi yang nantinya merusak Pulau Bali itu sendiri.
  2. Bertentangan dengan konsep "Sustainable Tourism Development". Saat ini para akademisi dan praktisi pariwisata yang insaf terhadap keberlanjutan Pulau Bali mendengung-dengungkan konsep ecotourism, pro-poor tourism, community based tourism, green tourism, dan quality tourism yang pada intinya mengembangkan kepariwisataan yang berkelanjutan, di mana kedepannya nanti generasi penerus masyarakat Bali dapat menikmati 'kue' pariwisata tanpa harus menderita akibat dampak negatif pengembangan pariwisata seperti : kerusakan alam dan lingkungan, akulturisasi budaya, hilangnya kepemilikan lahan (seperti masyarakat Betawi di Jakarta).
Dari kedua  pendapat yang bertentangan, seperti kata Pak Karni Ilyas (di TV One) pandangan optimis dan pesimis, semuanya berguna bagi pembangunan. Yang optimis membuat kapal terbang, yang pesimis membuat pelampung, yang optimis menginjak gas, yang pesimis menginjak rem.
Pandangan penulis sendiri, (mohon maaf) SETUJU dengan pembangunan Bandara Bertaraf Internasional di Bali bagian Utara (Buleleng), demi menyeimbangkan arus wisatawan dan pengunjung yang datang ke Pulau Bali melalui udara dengan harapan terciptanya pemerataan pembangunan ekonomi yang kedepannya mampu menjawab masalah lingkungan, sosial, budaya yang timbul seperti saat ini. Dengan satu syarat yakni tetap teguh mengembangkan kepariwisataan dalam konsep SUSTAINABLE TOURISM DEVELOPMENT.