Sabtu, Desember 19, 2009

DAMPAK FISIK, SOSIAL DAN EKONOMI PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI SELATAN

Pendahuluan

Garis - Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa, meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa. Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).

Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1999).

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak sosial- pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis.

Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.

Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).

Wilayah Bali Selatan merupakan wilayah yang sangat berpotensi dalam pengembangan pariwisata, karena memiliki atraksi wisata, sarana transportasi (mudah di akses), memiliki sarana akomodasi, dan juga memiliki fasilitas pendukung lainnya yang dibutuhkan dalam pengembangan pariwisata. Beberapa kawasan wisata seperti : Kuta, Sanur dan Nusa Dua, serta atraksi wisata seperti : peninsula (Nusa Dua), Pantai Kuta (Kuta), Olah raga air ( Wilayah Bali selatan) dan obyek wisata lain yang akan dikembangkan seperti Pantai Labuan Sait. Kesemuanya memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar dan menyumbang pajak untuk pembangunan Bali.

Namun demikian, sesuai konsep “rwa binedha”, setiap hal yang baik selalu diimbangi dengan hal-hal yang buruk pula. Pengembangan Pariwisata selain mendatangkan manfaat yang baik, juga mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karena itu, perencanaan pariwisata memegang peranan penting dalam mengantisipasi seluruh dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengembangan pariwisata. Pengembangan kepariwisataan diharapkan tidak menimbulkan kejenuhan wisatawan serta tetap mampu bersaing dengan daerah dan negara tujuan wisata yang lain, untuk itu diusahakan penemuan potensi objek dan daya tarik wisata yang baru dengan harapan mampu menambah diversifikasi objek dan daya tarik wisata serta diupayakan penciptaan keamanan yang kondusif serta rasa optimis harus tetap dikobarkan untuk meningkatkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, pendapatan negara, daerah, dan masyarakat secara umum, khususnya masyarakat lokal dengan terus mewujudkan pemberdayaan masyarakat, mengimplementasikan pariwisata kerakyatan, pelestarian lingkungan dan revitalisasi sosial budaya masyarakat (Anom, 2005).

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan masalah :” Bagaimanakah dampak fisik, social, dan ekonomi dari pengembangan pariwisata, di wilayah Bali Selatan?”

Kajian Pustaka

Dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan kepariwisataan diperlukan kajian yang mendalam dari berbagai potensi kepariwisataan baik potensi phisik, sosial budaya, sumber daya manusia maupun potensi lain yang selayaknya diperlukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism Development)

Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian :

1. Pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia;

2. Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara(Depbudpar,2000).

Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah :

1. Mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional;

2. Berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan;

3. Mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar,2000).

Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J.Villiers,1999,dalamSalahWahab,1999).

Dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan kepariwisataan diperlukan kajian yang mendalam dari berbagai potensi kepariwisataan baik potensi phisik, sosial budaya, sumber daya manusia maupun potensi lain yang selayaknya diperlukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism Development)

Konsep Perencanaan dan Pengembangan Pembangunan Pariwisata
Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi,2001). Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan fisik, ekonomi, social budaya, dan tenaga yang terbatas. Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three brains) yaitu :
1.Kemampuan melihat kedepan.

2.Kemampuan menganalisis.

3.Kemampuan melihatinteraksi-interaksi, antara permasalahan.

Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :

1.Eksplorasi (pertumbuhan spontan dan penjajakan)

Pada tahapan ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan wisata. Di samping jumlah wisatawan yang kecil, juga ditambah dengan fasilitas dan kemudahan yang kurang baik. Pada tahapan ini atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal akan tinggi.

2.Keterlibatan

Pada tahapan ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin tekanan pada publik untuk menyediakan infrastruktur.

3.Pengembangan dan Pembangunan

Pada tahapan ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara Nasional dan Regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional.


4.Konsolidasi dan Interelasi

Pada tahapan ini, tingkat pertumbuhan sudah mulau menurun walaupun total jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.

5.Kestabilan

Pada tahapan ini, julah wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.

6.Penurunan kualitas (Decline) atau Kelahiran Baru (Rejuvenation).

Pada tahapan ini, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi “resort” baru. “Resort” menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti akomodasi akan berubah pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai “kelahiran baru”. Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut.

Relevansi tahapan tersebut di atas dalam konsep pembangunan pariwisata adalah bahwa setiap tahapan/tingkatan pembangunan mempunyai karakter yang berlainan, yang memerlukan perlakuan perencanaan yang berbeda pula. Bali misalnya yang telah berada pada tahapan “stagnation” oleh karenanya masalah-masalah evaluasi daya dukung (carrying capacity) memerlukan pencermatan kembali, di samping masalah manajerial lainnya yang secara keseluruhan perlu dituangkan dalam re-evaluasi tata ruangnya. Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.

Tipe Pembangunan Pariwisata Di Indonesia atau di beberapa negara lain biasa dikenal dua tipe pembangunan pariwisata berdasarkan pada pola, proses dan tipe pengelolaannya, yaitu : tipe tertutup (“enclave”) atau terstruktur dan tipe ke dua yaitu tipe terbuka (“spontaneouse”) atau tidak terstruktur. Ke dua tipe ini pada umumnya mempunyai perbedaan yang jelas dalam hal karakteristiknya, terutama pada pola, proses dan tipe pengelolaannya. Tipe tertutup atau terstruktur dapat diambil contoh seperti kawasan pariwisata Nusa Dua di Bali, yang diakui telah berhasil membangun dan mengembangan tipe kawasan pariwisata tertutup. Sedangkan untuk tipe terbuka atau tidak terstruktur dapat diambil contoh pada daerah daerah pariwisata di Indonesia yang perkembangannya spontan, seperti kawasan pariwisata Sanur dan Kuta.
Tipe tertutup atau terstruktur pada dasarnya ditandai oleh karakter-karakter sebagai berikut:

Ø Pada umumnya kawasan ini dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini memang tidak didesain untuk tujuan utama pada keuntungan penduduk lokal. Tipe kawasan seperti ini akan mempunyai kelebihan dalam kekuatan kesan yang ditumbuhkan sehingga mampu menembus pasar internasional.

Ø Lokasi biasanya terpisah dari masyarakat/penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan mudah untuk dimonitor/dikontrol. Karena itu pengaruh sosial budaya yang ditimbulkan dari pariwisata terhadap penduduk lokal dapat terdeteksi sejak dini.

Ø Lahan pada umumnya terbatas, sehingga kawasan pariwisata biasanya tidak terlalu besar, sehingga masih berada pada tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, dan akan mampu menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana secara internasional. Hal ini akan berfungsi sebagai struktur utama dalam mengembangkan fasilitas yang berkualitas tinggi yang pada umumnya diperuntukkan untuk kalangan internasional yang berduit. Tipe ini tentunya akan membawa iklim “harga tinggi” dengan harga-harga yang ditawarkan di dalam kawasan ini tidak akan terjangkau oleh penduduk lokal.

Tipe terbuka atau terstruktur yang bersifat spontan pada umumnya ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut :

Ø Tumbuh menyatu dengan struktur kehidupan baik ruang maupun pola masyarakat lokal.

Ø Distribusi pendapatan yang diperoleh dari wisatawan bisa secara langsung dinikmati oleh penduduk lokal.

Ø Dampak perkembangan pariwisata terutama dampak negatifnya menjalar dan menyatu dengan cepat ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit di monitoring/dikontrol.

Ø Kalau ingin mengetahui tipe mana yang lebih baik dari ke dua tipe pembangunan pariwisata tersebut, sangat tergantung dari sudut pandang kita walaupun diketahui masing-masing tipe pengembangan pariwisata ini sedikit tidaknya sangat tergantung dari karakteristik lokasi pariwisata itu dikembangkan. Kalau hanya dengan pertimbangan karakteristik lokasi, baik fisik, maupun sosial-budaya kita sebetulnya sudah dapat menentukan tipe nama yang lebih cocok dikembangkan di lokasi tersebut. Akan tetapi, sering kebijaksanaan yang diambil sering tidak hanya memperhatikan hal tersebut, walaupun banyak pihak yang harus dikorbankan. Kalau dicermati tujuan pembangunan pariwisata tersebut, untuk siapa sebetulnya pembangunan itu dilakukan, maka pertimbangan-pertimbangan untuk kepentingan masyarakat harus lebih dikedepankan.

Definisi Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan outputriil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang. (Soekirno, 2004 : 85)

Pertumbuhan Ekonomi dan Kenaikan Produktifitas

Sementara negara-negara miskin berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah.Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi. (A.Hughes, 2003 : 272)

Transisi Kependudukan

Yang mencerminkan kenaikan taraf hidup rakyat di suatu negara adalah besarnya tabungan dan akumulasi kapital dan laju pertumbuhan penduduknya, (Jhingan, 2004 : 46) Laju pertumbuhan yang sangat cepat di banyak negara sedang berkembang nampaknya disebabkan oleh fase atau tahap transisi demografi yang dialaminya. Negara-negara sedang berkembang mengalami fase transisi demografi di mana angka kelahiran masih tinggi sementara angka kematian telah menurun. Kedua hal ini disebabkan karena kemajuan pelayanan kesehatan yang menurun angka kematian balita dan angka tahun harapan hidup. Ini terjadi pada fase kedua dan ketiga dalam proses kependudukan. Umumnya ada empat tahap dalam proses transisi, yaitu:

Tahap 1:

Masyarakat pra-industri, di mana angka kelahiran tinggi dan angka kematian tinggi menghasilkan laju pertambahan penduduk rendah;

Tahap 2:

Tahap pembangunan awal, di mana kemajuan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik menghasilkan penurunan angka kelahiran tak terpengaruh karena jumlah penduduk naik.

Tahap 3:

Tahap pembangunan lanjut, di mana terjadi penurunan angka kematian balita, urbanisasi, dan kemajuan pendidikan mendorong banyak pasangan muda berumah tangga menginginkan jumlah anak lebih sedikit hingga menurunkan angka kelahiran. Pada tahap ini laju pertambahan penduduk mungkin masih tinggi tetapi sudah mulai menurun;

Tahap 4:

Kemantapan dan stabil, di mana pasangan-pasangan berumah tangga melaksanakan pembatasan kelahiran dan mereka cenderung bekerja di luar rumah. Banyaknya anak cenderung hanya 2 atau 3 saja hingga angka pertambahan neto penduduk sangat rendah atau bahkan mendekati nol.

Peranan Penting Pemerintah dalam Pertumbuhan Ekonomi (Jiang,et al, 2004 : 84)

1. Beberapa negara sedang berkembang mengalami ketidak stabilan sosial, politik, dan ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi. Adanya pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri. Ini sangat diperlukan bagi terciptanya iklim bekerja dan berusaha yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi.

2. Ketidakmampuan atau kelemahan setor swasta melaksanakan fungsi entreprenurial yang bersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan mengambil inisiatif mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori proses pertumbuhan.

3. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil akumulasi kapital dan investasi yang dilakukan terutama oleh sektor swasta yang dapat menaikkan produktivitas perekonomian. Hal ini tidak dapat dicapai atau terwujud bila tidak didukung oleh adanya barang-barang dan pelayanan jasa sosial seperti sanitasi dan program pelayanan kesehatan dasr masyarakat, pendidikan, irigasi, penyediaan jalan dan jembatan serta fasilitas komunikasi, program-program latihan dan keterampilan, dan program lainnya yang memberikan manfaat kepada masyarakat.

4. Rendahnya tabungan-investasi masyarakat (sekor swasta) merupakan pusat atau faktor penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Seperti telah diketahui hal ini karena rendahnya tingkat pendapatan dan karena adanya efek demonstrasi meniru tingkat konsumsi di negara-negara maju olah kelompok kaya yang sesungguhnya bias menabung.

5. Hambatan sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah jumlah penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat. Program pemerintahlah yang mampu secara intensif menurunkan laju pertambahan penduduk yang cepat lewat program keluarga berencana dan melaksanakan program-program pembangunan pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau memperlambat arus urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan mengakibatkan masalah-masalah social, politis, dan ekonomi.

6. Pemerintah dapat menciptakan semangat atau spirit untuk mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak hanya memerlukan pengembangan faktor penawaran saja, yang menaikkan kapasitas produksi masyarakat, yaitu sumber-sumber alam dan manusia, kapital, dan teknologi;tetapi juga faktor permintaan luar negeri. Tanpa kenaikkan potensi produksi tidak dapat direalisasikan.

Ekonomi dan Pariwisata

Pemerintah daerah dalam mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi daerahnya agar membawa dampak yang menguntungkan bagi penduduk daerah perlu memahami bahwa manajemen pembangunan daerah dapat memberikan pengaruh yang baik guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang diharapkan. Bila kebijakan manajemen pembangunan tidak tepat sasaran maka akan mengakibatkan perlambatan lajupertumbuhan ekonomi. Maka manajemen pembangunan daerah mempunyai potensi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi serta menciptakan peluang bisnis yang menguntungkan dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut Herry Darwanto (2008 : 54), dalam makalahnya yang berjudul ”Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah”, bahwa setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebab itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah.

Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk bangun ekonomi daerah yang dicita-citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Kebijakan pembangunan di sektor pariwisata misalnya, dapat memberi peluang bagi investor untuk menanamkan modalnya dalam rangka perluasan dan meningkatkan mutu pelayanan dibidang kepariwisataan daerah. Oleh karena itu perlu peningkatan efisiensi pola kerja pemerintahan perencanaan pembangunan agar pengusaha dapat mengantisipasi kenaikan pajak dan retribusi, sehingga tersedia lebih banyak modal bagi pembangunan ekonomi daerah.

Pembahasan
Secara umum perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Perencanaan itu sendiri merupakan “alat” dan bukan tujuan, perencanaan adalah alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian dapat berubah – ubah menurut tempat, waktu dan keadaan. Perencanaan sebagai alat untuk dibuat sedemikian rupa sehingga fleksibel untuk tiap era pembangunan. Perencanaan dipakai sebagai alat atau cara karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa :

Ø Dengan perencanaan dapat dibuat urutan – urutan kegiatan menurut skala prioritas untuk mencapai tujuan.

Ø Dengan perencanaan dapat dibuat pengakolasian sumber daya yang paling baik. Alternatif dapat dibuat, agar sumber digunakan dengan sebaik – baiknya.

Ø Perencanaan merupakan alat ukur daripada kemajuan ekonomi dan juga sebagai alat pengawas daripada pelaksanaan pembangunan.

Ø Melalui perencanaan dapat dibuat perkiraan keadaan dimasa yang akan datang.

Ø Dengan perencanaan diharapkan pembangunan tidak akan terputus – putus, sebab perencanaan merencanakan proses pembangunan yang menyeluruh.
Ada beberapa alasan mengapa perencanaan diperlukan :

1. Memberipengarahan, Dengan adanya perencanaan para pelaksana dalam suatu organisasi atau tim mengetahui apa yang hendak dilakukannya dan kearah mana yang akan dituju, atau apa yang akan dicapai.

2. Membimbing kerjasama, Perencanaan dapat membimbing para petugas bekerja tidak menurut kemauannya sendiri. Dengan adanya perencanaan, ia merasa sebagai bagian dari suatu tim, di tempat tugas seorang banyak tergantung dari tugas yang lainnya.

3. Menciptakan koordinasi, Bila dalam suatu proyek masing – masing keahlian berjalan secara terpisah, kemungkinan besar tidak akan tercapai suatu inkronisasi dalam pelaksanaan. Karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antara beberapa aktivitas yang dilakukan.

4. Menjamin tercapainya kemajuan, Suatu perencanaan umumnya telah menggariskan suatu program yang hendak dilakukan meliputi tugas yang tanggung jawab tiap individu atau tim dalam proyek yang dikerjakan. Bila ada penyimpangan antara yang telah direncanakan dengan apa yang telah dilaksanakan, akan segera dapat dihindarkan. Dengan demikian akan dapat dilakukan koreksi pada saat diketahui, sehingga sistem ini akan mempercepat penyelesaian suatu proyek.

5. Untuk memperkecil resiko, Perencanaan mencakup mengumpulkan data yang relevan (baik yang tersedia, maupun yang tidak tersedia) dan secara hati – hati menelaah segala kemungkinan yang terjadi sebelum diambil auatu keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar intuisi, kerjakan ini kerjakan itu tanpa melakukan suatu penelitian pasar atau tanpa melakukan perhitungan rates of return on invesment, sangat dikhawatirkan akan menghadapi resiko besar. Karena itu perencanaan lebih lebih memperkecil resiko yang timbul berlebihan.

Mendorong dalam pelaksanaan. Perencanaan terjadi agar suatu organisasi dapat memperoleh kemajuan secara sistematis dalam mencapai hasil yang diinginkan melalui inisiatif sendiri. Itu pulalah sebabnya untuk mencapai suatu hasil diperlukan tindakan, namun demikian untuk melakukan tindakan dibutuhkan suatu perencanaan dan program. Di samping itu untuk membuat suatu perencanaan diperlukan suatu kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian untuk mengetahui data yang perlu dikumpulkan kita memerlukan tujuan yang hendak dicapai terlebih dahulu, sedangkan untuk mencapai suatu tujuan (objectives) diperlukan suatu pemikiran (thought) yang khusus. Jadi perencanaan (planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antara pemikiran (thought) dan pelaksanaan (action). Dengan perkataan lain kita dapat mengatakan bahwa “Thought without action is merely philosophy, action without thought is merely stupidity” (OkaA Yoeti, 1997).

Pembahasan

Pembangunan pariwisata di wilayah Bali Selatan perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu social, ekonomi dan fisik daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan pariwisata daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Persepsi atas suatu wilayah, apakah memiliki kualitas hidup yang baik, merupakan hal penting bagi dunia usaha untuk melakukan investasi. Investasi pemerintah daerah yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat sangat penting untuk mempertahankan daya saing. Jika masyarakat ingin menarik modal dan investasi, maka haruslah siap untuk memberi perhatian terhadap: keanekaragaman, identitas dan sikap bersahabat. Pengenalan terhadap fasilitas untuk mendorong kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh penduduk wilayah Selatan Bali dan dapat menarik bagi investor luar perlu dilakukan.

Secara umum perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Perencanaan itu sendiri merupakan “alat” dan bukan tujuan, perencanaan adalah alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian dapat berubah – ubah menurut tempat, waktu dan keadaan. Perencanaan sebagai alat untuk dibuat sedemikian rupa sehingga fleksibel untuk tiap era pembangunan. Perencanaan dipakai sebagai alat atau cara karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa :

Ø Dengan perencanaan dapat dibuat urutan – urutan kegiatan menurut skala prioritas untuk mencapai tujuan.

Ø Dengan perencanaan dapat dibuat pengakolasian sumber daya yang paling baik. Alternatif dapat dibuat, agar sumber digunakan dengan sebaik – baiknya.

Ø Perencanaan merupakan alat ukur daripada kemajuan ekonomi dan juga sebagai alat pengawas daripada pelaksanaan pembangunan.

Ø Melalui perencanaan dapat dibuat perkiraan keadaan dimasa yang akan datang.

Ø Dengan perencanaan diharapkan pembangunan tidak akan terputus – putus, sebab perencanaan merencanakan proses pembangunan yang menyeluruh.
Ada beberapa alasan mengapa perencanaan diperlukan :

1. Memberipengarahan, Dengan adanya perencanaan para pelaksana dalam suatu organisasi atau tim mengetahui apa yang hendak dilakukannya dan kearah mana yang akan dituju, atau apa yang akan dicapai.

2. Membimbing kerjasama, Perencanaan dapat membimbing para petugas bekerja tidak menurut kemauannya sendiri. Dengan adanya perencanaan, ia merasa sebagai bagian dari suatu tim, di tempat tugas seorang banyak tergantung dari tugas yang lainnya.

3. Menciptakan koordinasi, Bila dalam suatu proyek masing – masing keahlian berjalan secara terpisah, kemungkinan besar tidak akan tercapai suatu inkronisasi dalam pelaksanaan. Karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antara beberapa aktivitas yang dilakukan.

4. Menjamin tercapainya kemajuan, Suatu perencanaan umumnya telah menggariskan suatu program yang hendak dilakukan meliputi tugas yang tanggung jawab tiap individu atau tim dalam proyek yang dikerjakan. Bila ada penyimpangan antara yang telah direncanakan dengan apa yang telah dilaksanakan, akan segera dapat dihindarkan. Dengan demikian akan dapat dilakukan koreksi pada saat diketahui, sehingga sistem ini akan mempercepat penyelesaian suatu proyek.

5. Untuk memperkecil resiko, Perencanaan mencakup mengumpulkan data yang relevan (baik yang tersedia, maupun yang tidak tersedia) dan secara hati – hati menelaah segala kemungkinan yang terjadi sebelum diambil auatu keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar intuisi, kerjakan ini kerjakan itu tanpa melakukan suatu penelitian pasar atau tanpa melakukan perhitungan rates of return on invesment, sangat dikhawatirkan akan menghadapi resiko besar. Karena itu perencanaan lebih lebih memperkecil resiko yang timbul berlebihan.

6. Mendorong dalam pelaksanaan. Perencanaan terjadi agar suatu organisasi dapat memperoleh kemajuan secara sistematis dalam mencapai hasil yang diinginkan melalui inisiatif sendiri. Itu pulalah sebabnya untuk mencapai suatu hasil diperlukan tindakan, namun demikian untuk melakukan tindakan dibutuhkan suatu perencanaan dan program. Di samping itu untuk membuat suatu perencanaan diperlukan suatu kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian untuk mengetahui data yang perlu dikumpulkan kita memerlukan tujuan yang hendak dicapai terlebih dahulu, sedangkan untuk mencapai suatu tujuan (objectives) diperlukan suatu pemikiran (thought) yang khusus. Jadi perencanaan (planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antara pemikiran (thought) dan pelaksanaan (action). Dengan perkataan lain kita dapat mengatakan bahwa “Thought without action is merely philosophy, action without thought is merely stupidity” (Oka A Yoeti, 1997).

Pemerintah daerah dan pengusaha adalah dua kelompok yang paling berpengaruh dalam menentukan corak pertumbuhan pariwisata dan fisik, social, ekonomi daerah. Pemerintah daerah, mempunyai kelebihan dalam satu hal, dan tentu saja keterbatasan dalam hal lain, demikian juga pengusaha. Sinergi antara keduanya untuk merencanakan bagaimana pariwisata dan ekonomi daerah akan diarahkan perlu menjadi pemahaman bersama. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan membuat berbagai peraturan, menyediakan berbagai sarana dan peluang, serta membentuk wawasan orang banyak. Tetapi pemerintah daerah tidak mengetahui banyak bagaimana proses kegiatan pariwisata dan ekonomi sebenarnya berlangsung. Pengusaha mempunyai kemampuan mengenali kebutuhan orang banyak dan dengan berbagai insiatifnya, memenuhi kebutuhan itu. Aktivitas memenuhi kebutuhan itu membuat roda perekonomian berputar, menghasilkan gaji dan upah bagi pekerja dan pajak bagi pemerintah. Dengan pajak, pemerintah daerah berkesempatan membentuk kondisi agar perekonomian daerah berkembang lebih lanjut.

Agenda pengurangan kemiskinan (poverty reduction) dan pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor development) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah menjadi perhatian penting dalam agenda pembangunan di tingkat global maupun pembangunan dalam konteks sektoral. Orientasi pembangunan pariwisata yang mendorong usaha-usaha pengurangan kemiskinan dituangkan dalam konsep “pro poor tourism development”. Sektor pariwisata dengan konsep pengembangan “pro poor tourism development” dipandang akan memiliki peran yang efektif untuk turut membantu usaha-usaha pengurangan kemiskinan. Terdapat beberapa alasan yang memberikan justifikasi mengapa pariwisata dapat menjadi alat yang dapat membantu upaya-upaya pengurangan kemiskinan. Alasan tersebut antara lain adalah:

Bahwa pariwisata merupakan kegiatan yang memiliki keterkaitan lintas sektor dan lintas skala usaha. Berkembangnya kegiatan pariwisata akan menggerakkan berlapis-lapis mata rantai usaha yang terkait di dalamnya sehingga akan menciptakan efek ekonomi multi ganda (multiplier effect) yang akan memberikan nilai manfaat ekonomi yang sangat berarti bagi semua pihak yang terkait dalam mata rantai usaha kepariwisataan tersebut. Dampak ekonomi multi ganda pariwisata akan menjangkau baik dampak langsung, dampak tak langsung maupun dampak ikutan yang pada umumnya terkait dengan usaha skala kecil dan menengah maupun usaha-usaha di sektor hulu (pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya). Diagram : pengurangan Kemiskinan melalui Pariwisata karena mempunyai keterkaitan dengan berbagai sektor.

Diagram 1: Keterkaitan lintas sektor

• Daya tarik sektor pariwisata membentang sampai di daerah terpencil, sementara ¾ (tiga per empat) orang yang sangat miskin hidup dan tinggal di daerah terpencil, sehingga pariwisata dapat menjadi agen yang efektif dalam mendorong pengembangan daerah terpencil dan pemberdayaan masyarakat miskin di daerah yang bersangkutan melalui kegiatan pariwisata.

• Adanya kesempatan untuk mendukung aktivitas tradisional seperti agrikultur dan kerajinan tangan melalui pariwisata.

• Fakta bahwa pariwisata merupakan industri yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak, dimana bisa menyediakan pekerjaan tidak hanya bagi kaum pria saja, namun bagi wanita dan remaja.

• Dengan mengesampingkan faktor ekonomi, pariwisata bisa memberikan keuntungan non-material seperti memberikan rasa bangga pada budaya lokal.

Di dalam hal mempekerjakan (mendayagunakan) masyarakat miskin di sekitar objek wisata, dapat melalui 3 macam golongan usaha pariwisata, yakni:(1) Usaha jasa pariwisata; (2) Pengusahaan objek dan daya tarik wisata; dan (3) Usaha sarana pariwisata. Sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-undang RI No.9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, dijelaskan bahwa :

1. Usaha Jasa Pariwisata, meliputi penyediaan jasa perencanaan, jasa pelayanan, dan jasa penyelenggaraan pariwisata.

Diagram 2: Pengusahaan melalui jasa pariwisata

2. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata, meliputi kegiatan membangun dan mengelola objek dan daya tarik wisata beserta prasarana dan sarana yang diperlukan atau kegiatan mengelola objek dan daya tarik wisata yang telah ada.

Diagram 3: Pengusahaan melalui pengelolaan objek dan daya tarik wisata

3. Usaha sarana pariwisata, meliputi kegiatan pembangunan, pengelolaan, dan penyediaan fasilitas, serta pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pariwisata.Usaha sarana pariwisata ini dapat berupa jenis-jenis usaha.

Diagram 4: Pengusahaan melalui sarana pariwisata

Selain itu, pijakan-pijakan yang harus dipenuhi dalam upaya mengurangi kemiskinan (poverty reduction) melalui pariwisata, secara umum meliputi ranah pengembangan:

(1) pengembangan masyarakat yang mencakup penguatan kompetensi dan kapabilitas SDM masyarakat miskin melalui pendidikan pariwisata, penguatan usaha masyarakat di bidang usaha kepariwisataan, dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata.

Sedangkan ranah pengembangan (2) adalah pengembangan atraksi wisata meliputi peningkatan kualitas layanan dan diversivikasi produk, peningkatan kualitas layanan dan peningkatan promosi sesuai dengan kapasitas/kualitas produk yang ditawarkan. Pada masyarakat setempat, dari hasil wawancara semua masyarakat senang adanya pengembangan pariwisata di daerah mereka, meningkatnya ekonomi masyarakat setempat memeberikan sinar terang untuk menyambung kehidupan yang lebih baik dan maju.

Simpulan dan Saran

Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri. Kondisi sosial masyarakat wilayah Bali selatan berada dalam keadaan yang kondusif dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya, karena masyarakat wilayah Bali selatan merasa bangga terhadap budaya yang mereka miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.

Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di Wilayah Bali selatan.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Wilayah Bali selatan sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Wilayah Bali selatan. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di Wilayah Bali selatan. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Wilayah Bali selatan. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Wilayah Bali selatan memerlukan strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Wilayah Bali selatan ke depan akan mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan pariwisata di Wilayah Bali selatan.

Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local, Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :

Ø Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.

Ø Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.

Ø Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.

Ø Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor

Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi.. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.

Saran

Beberapa pendekatan yang umum digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mempekerjakan masyarakat sekitar ke dalam usaha pariwisata.

2. Penyediaan kebutuhan untuk pariwisata disediakan oleh masyarakat sekitar, seperti penyediaan bahan makanan, kerajinan tangan, dll.

3. Melakukan penjualan terhadap barang dan jasa secara langsung oleh masyarakat sekitar, seperti menjual makanan, kerajinan tangan, dan beberapa bentuk alat transportasi dan akomodasi.

4. Mendukung pembangunan usaha pariwisata oleh masyarakat sekitar, dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam membangun sesuatu untuk jangka waktu yang lama dan juga memindahkan kekuasaan dan pengawasan ke tangan mereka.

5. Melalui pajak dan retribusi pada pendapatan dan keuntungan pariwisata dengan memberikan keuntungan pada program pengurangan tingkat kemiskinan.

6. Kegiatan kemanusiaan yang diberikan oleh usaha-usaha di bidang pariwisata dan oleh wisatawan, bisa berupa donasi atau juga program-program kemanusiaan seperti penyuluhan mengenai HIV/AIDS.

7. Masyarakat bisa mengambil keuntungan dari infrastruktur yang dibangun karena adanya kegiatan pariwisata. Misalnya ketersediaan jalan, jaringan komunikasi, air bersih dan pasokan listrik.

Daftar Pustaka

............. , Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.

.................. , 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.

Alan Hughes, Knowledge Transfer, Entrepreneurship and Economic Growth: Some Reflections and Implications for Policy in The Netherlands, ESRC Centre of Business Research, University of Cambridge, Working Paper No. 273, 2003

Anom, I Putu, 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.

Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah.

Bawa I Wayan, Ardika I Wayan, Suradnya I Made, Parimartha I Gede, Rai AA. Gede, Suratha I Ketut, Anom I Putu. 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.

Colman, D, Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editur University of Manchester.

Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.

Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan R.I., 2006, Laporan Hasil Penelitian Pengembangan ODTW di Luar Jawa – Bali.

Jhingan, M.L., The Economics of Development and Planning, 16th Edition, alih bahasa: D. Guritno, S.H., Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, cetakan kesepuluh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Jiang, Neville N. and Ping Wang, and Haibin Wu, Ability – Heterogeneity, Entrepreneurship and Economic Growth, Vanderbilt University, NBER, and University of Alberta, July 2004

M.L. Jhingan; The Economics of Development and Planning, alih bahasa: D. Guritno, Grafindo Persada, 2004. [ 27 ] © BisnisEkonomi.Com

Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.

Oka, A. Yoeti, 1982, Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Angkasa, Bandung

Paturusi, Syamsul Alam, 2001, Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.

Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York

Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”,Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.

Pitana, I Gede. 1991, Community Management dalam pembangunan Pariwisata, dalam Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999.

Sukarsa, dkk I Made., 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.

Wahab, Salah. 1999. Manajemen Kepariwisataan, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha.

DAMPAK SOSIAL PARIWISATA TERHADAP MASYARAKAT LOKAL DI KAWASAN TANJUNG BENOA

Pembangunan Pariwisata
Garis - Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa, meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1999).
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak sosial- pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis.
Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.
Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).



Tanjung Benoa Dahulu dan Sekarang
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susiadi et al. pada tahun 2001, masyarakat Tanjung Benoa sekitar 17,01 % dari total usia kerja bermatapencaharian di sektor perikanan terutama perikanan penyu, pedagang perikanan ini terdiri dari beraneka suku di Indonesia (Bugis, Flores, Sulawesi, Madura, dan lain-lain) tetapi mayoritas (87,5 per sen) adalah suku Bali (Susiadi et al., 2001: 31 dan 36).
Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Krippen¬dorf (1987) lebih lanjut melaporkan bahwa pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Burns and Holden (1995) juga menyebutkan bahwa pariwisata memberikan keun¬tungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.
Dua puluh lima tahun lalu, desa ini terkenal sebagai desa nelayan yang miskin. Penduduknya hanya mengandalkan lahan kering sebagai mata pencaharian. Tanaman jagung, singkong dan kedelai adalah makanan sehari-hari warga Tanjung Benoa. "Dulu, tak ada yang mau tinggal di sini, meski diberi tanah secara gratis," ujar Lurah Tanjung Benoa I Wayan Dibia Adnyana kepada rombongan Kelompok Media Bali Post (Bali Post, Bali Travel News, Bali TV), baru-baru ini. Namun sekarang, katanya menambahkan, harga sejengkal tanah di sini mencapai ratusan ribu rupiah. ''Ya... paling murah Rp 100 juta untuk 100 meter persegi tanah, dan sulit mendapatkannya.''
Dulu, kawasan pesisir Tanjung Benoa tercatat sebagai wilayah miskin di Bali. Sampai-sampai ada orang yang malu mengaku berasal dari sana. Kini, kawasan ini telah menjadi salah satu daerah kaya di Bali dengan income utama masyarakatnya dari jasa pariwisata. Penghasilan bersih masyarakatanya -- setelah dipotong untuk kebutuhan sehari-hari -- paling rendah Rp 1.500.000/bulan, dua kali lipat dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Badung -- kabupaten terkaya di Bali -- yang hanya Rp 10.100.465,01/tahun (data statistik Kabupaten Badung tahun 2000).
Dilihat dari komposisi penduduknya, Kelurahan Tanjung Benoa termasuk wilayah yang sangat heterogen. Selain dihuni oleh sebagian besar etnis Bali, penduduk desa ini juga berasal dari Sulawesi dan Madura. Lebih-lebih belakangan ini, ketika pariwisata berkembang pesat di wilayah Tanjung Benoa, maka penduduknya tak hanya orang Indonesia, tetapi mereka datang dari seluruh penjuru dunia. Kini tidak hanya Kuta boleh memproklamasikan diri sebagai ''kelurahan internasional'', juga Tanjung Benoa. Bahkan, pernah dalam satu hotel, yaitu Club Mirage -- masuk kawasan wisata Tanjung Bnenoa -- dihuni wisatawan yang berasal dari 32 negara di dunia.
Selain heterogen, Kelurahan Tanjung Benoa juga memiliki keragaman agama: Hindu mayoritas, menyusul Buddha, Islam, Kristen dan Katolik. Di sana juga ada kelenteng, tempat ibadah kaum Kong Ho Chu. Melihat keunikan wilayah Tanjung Benoa sebagai salah satu resor wisata di Bali, Kelompok Media Bali Post mengangkat tema liputan Kawasan Tanjung Benoa sebagai liputan bersama. Kawasan ini diharapkan mampu berkembang lewat industri tak berasap, pariwisata ini. Bagaimana mereka berbenah diri sehingga tak muncul jadi daerah kumuh seperti kota-kota yang sedang berkembang lainnya di Bali dan Indonesia? Kami berusaha menghubungi pihak perencanaan kota di pemerintahan Kabupaten Badung. Kami juga mendapat summary dari Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Pesisir Pantai Tanjung Benoa. Yang jelas, di sana telah tersusun rencana masa depan Tanjung Benoa yang indah nan menawan.
Dibangunnya 12 hotel di kawasan eksklusif BTDC tahun 1980-an, memang sempat membuat para perencana kawasan ini bertanya-tanya, "Desa Tanjung Benoa yang menjadi tetangga utara BTDC akan diapakan?" Semula di Tanjung Benoa ini hanya diperkirakan cocok dibangun perumahan untuk menampung ribuan karyawan hotel yang bekerja di kawasan BTDC, di samping aktivitas wisata tirta kecil-kecilan. Kenyataannya 20 tahun kemudian, kawasan ini berkembang pesat. Tanah yang telah dikuasai investor kemudian dibangun hotel-hotel yang justru menjadi saingan BTDC.
Di kawasan ini sekarang, selain berdiri berbagai jenis hotel (melati, bintang 1, 2, 3, 4, 5, dan butik), atraksi wisata tirtanya yang terbesar dan terlengkap di Bali. Khusus wisata tirta BMR (Benoa Marine Recreation) -- ini yang mengagumkan -- sepenuhnya dikelola oleh penduduk.
Sisi baik dan buruk, positif dan negatif, memang sangat tipis batasnya manakala kita berbicara soal kepariwisataan. Ini terlihat juga di Tanjung Benoa. Dulu, akibat kurang terkendalinya pembangunan, sempat muncul kekumuhan di kawasan ini. Masyarakat membangun berbagai fasilitas kepariwisataan sekendak hati. Mereka tidak lagi mengikuti norma-norma aturan seperti tetangganya, BTDC. Dulu, Tanjung Benoa sama dan sebangun dengan Sanur, Kuta, Candidasa, Lovina, Seminyak, dan Legian.
Untung para pengusaha yang ada di lingkungan Tanjung Benoa cepat sadar, kemudian mereka membentuk Komite Tanjung Benoa tahun 1996. Tujuannya, selain untuk promosi bersama agar Tanjung Benoa sebagai resor wisata semakin dikenal, komite juga mengelola dan menata lingkungan sekitarnya. Masalah sampah dan kebersihan jadi sasaran utama pihak komite sehingga mampu mengubah suasana kumuh menjadi Tanjung Benoa yang bersih dan nyaman. Lalu, dibentuklah pasukan Green Team di masing-masing hotel.
Dampak Sosial Pariwisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:

Dampak terhadap sosial-ekonomi.
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:
1. Dampak terhadap penerimaan devisa,
2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,
3. Dampak terhadap kesempatan kerja,
4. Dampak terhadap harga-harga,
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
6. Dampak terhadap kepemilikan dan control
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Dampak Sosial Budaya
Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
1. Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
2. Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
3. Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’ (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
6. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10. Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.

Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):‘Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism’ (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan: “Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.

Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang” (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.










Analisis Dampak Sosial Pengembangan Pariwisata di Tanjung Benoa
Analisis Dampak Sosial Ekonomi
No Indikator Sebelum Pengembangan Sesudah Pengembangan dan dampak
1 Dampak terhadap penerimaan devisa Tidak ada penerimaan devisa Ada penerimaan devisa dalam jumlah signifikan (dampak baik)
2 Dampak terhadap pendapatan masyarakat Pendapatan rendah, dari menangkap ikan Pendapatan tinggi, dari berbagai sumber (dampak baik)
3 Dampak terhadap kesempatan kerja Kesempatan kerja rendah Kesempatan kerja tinggi, disektor pariwisata (dampak baik)
4 Dampak terhadap harga-harga Harga harga rendah Harga harga tinggi (dampak kurang baik)
5 Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan Manfaat belum ada Lebih banyak manfaat daripada kerugian (dampak baik)
6 Dampak terhadap kepemilikan dan control Dominan dikuasai masyarakat lokal Dikuasai sebagian pendatang dan investor (dampak tidak baik)
7 Dampak terhadap pembangunan pada umumnya Pembangunan fisik non fisik lambat Pembangunan fisik non fisik cepat disertai pencemaran (dampak cendrung baik)
8 Dampak terhadap pendapatan pemerintah. Sedikit Banyak dan berlipat Ganda (dampak baik)

Analisis Dampak Sosial Budaya
No Indikator Sebelum Pengembangan Sesudah Pengembangan dan dampak
1 Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya Ketergantungan rendah dengan masyarakat luar, karena kebutuhan dan keinginan masih sedikit Ketergantungan semakin tinggi karena kebutuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (dampak baik)
2 Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat Hubungan sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian Hubungan kurang erat akibat keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik)
3 Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial Organisasi dengan manajemen tradisional Organisasi cenderung mengarah pada manajemen modern (dampak baik)
4 Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata Migrasi masih sedikit Migrasi menjadi semakin banyak (dampak kurang baik)
5 Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat Ritme kehidupan masih lambat Ritme kehidupan meningkat (dampak baik)
6 Dampak terhadap pola pembagian kerja Pembagian kerja masih sederhana Pembagian kerja semakin kompleks (dampak baik)
7 Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial Stratifikasi sangat kental khususnya pemilik tanah sangat dihormati Persamaan derajat, seseorang dihormati atas dasar apa yang diperbuat, dan bukan atas dasar siapa orang tersebut (dampak baik)
8 Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan Pengaruh kekuasaan terpusat Kekuasaan terdistribusi dan terpecah (dampak baik)
9 Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial
Penyimpangan social rendah, masih tuduk pada norma adat Penyimpangan sosial semakin tinggi karena lebih menekankan pada kebebasan individu (dampak kurang baik)
10 Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Kesenian dan adat istiadat masih sangat konvensional Kesenian dan adat istiadat semakin berkembang (dampak baik)

Kesimpulan
Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri. Kondisi sosial masyarakat tanjung benoa berada dalam keadaan yang kondusif dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya, karena masyarakat tanjung benoa merasa bangga terhadap budaya yang mereka miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.
Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di Tanjung Benoa.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tanjung Benoa sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Tanjung Benoa. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di Tanjung Benoa. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Tanjung Benoa. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Tanjung Benoa memerlukan strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Tanjung Benoa ke depan akan mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan pariwisata di Tanjung Benoa.
Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local, Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :
 Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.
 Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.
 Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.
 Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor
Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi.. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.

DAFTARPUSTAKA
Anom, I Putu, 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.
Anom, I Putu, Michael Hitchcock and Sunarta I Nyoman. 2005. Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group. Paper Presented at “ 3rd Trans National Patners Meeting of the EU-ASEAN Project Building Research Capacity Pro Poor Tourism “Organized by National University of Laos Faculty of Forestry Department of Forest Management. April 4-7, 2005 in Vientiane Laos.
............. , Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.
............. , Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII.
Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah.
.................. , 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.
Bawa I Wayan, Ardika I Wayan, Suradnya I Made, Parimartha I Gede, Rai AA. Gede, Suratha I Ketut, Anom I Putu. 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.
Choy, Derrylow, 1997, Perencanaan Ekowisata, Belajar dari Pengalaman South East dalam Gunawan (ed) Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Prosedur Pelatihan dan Lokakarya, Penerbit ITB Bandung.
Colman, D, Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editur University of Manchester.
Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.
Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan R.I., 2006, Laporan Hasil Penelitian Pengembangan ODTW di Luar Jawa – Bali.
France, Lesley (ed), 1997, The earthscan Reader in Sustainable Tourism, London. Earthscan Publicitions Limited
Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.
Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.
Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.
Oka, A. Yoeti, 1982, Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Angkasa, Bandung
Paturusi, Syamsul Alam, 2001, Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York
Pitana, I Gede. 1991, Community Management dalam pembangunan Pariwisata, dalam Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999.
Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”,Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.
Sukarsa, dkk I Made., 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Wahab, Salah. 1999. Manajemen Kepariwisataan, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha.