Sabtu, Juli 11, 2009

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (5)

Kebijakan Pariwisata Dalam GBHN 1999-2004:
a. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
b. Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, untuk memberikan rujukan sistim nilai bagi totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyartakat.
c. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-ilai budaya dalam rangka memilah-milah nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan.
d. Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam kesenian untuk memberi inspirasi bagi kepekaan terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral, estetika dan agama serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalty bagi pelaku seni dan budaya.
e. Mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa kreatif untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan opini public yang positif, dan nilai tambah secara ekonomi
f. Melestarikan apresiasi kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan kebanggaan nasional.
g. Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa.
h. Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh, terpadu, interdisipliner, dan partisipatoris dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis, ergonomik, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan

Kebijakan kepariwisataan dalam Program Pembangunan Nasional 2004 - 2009
ditarik dari bidang Ekonomi, ke dalam bidang Sosial budaya, dengan titel Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata. Kebijakan tersebut tampak melepaskan kepariwisataan dari situasi sarat beban ke keadaan yang lebih rasional. Kebijakan kepariwisataan diletakkan pada dua gagasan kunci:
a. kepariwisataan berpijak pada kebudayaan tradisional ; dan
b. kepariwisataan sebagai wahana persahabatan antar bangsa.
Gagasan tersebut mengembalikan status dan fungsi kepariwisataan dari status dan fungsi ekonomi ke status dan fungsinya semula, kebudayaan, sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Pembangunan Semesta Berencana Tahap Pertama. Program Permbangunan Nasional juga mensyaratkan pendekatan system bagi pengembangan kepariwisataan, yaitu suatu pendekatan yang utuh, terpadu, multidispliner, partisipatoris, dengan criteria ekonomis, teknis, ergonomis, social budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan.
Pendekatan demikian terasa berlebihan di banding status dan fungsi kepariwisataan yang sekedar berstatus dan berfungsi kebudayaan. Akan menjadi berbeda, sekiranya kebijakan tersebut terlebih dahulu menggambarkan status dan fungsi kepariwisataan secara lengkap, mencakup status dan fungsi ekonominya. Saying penegasan demikian tidak dilakukan, sehingga pendekatan demikian cenderung bernilai berlebihan dantidak rasional.
Disisi lain, kemunculan kata kriteria ekonomi pada pendekatan tersebut, menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak berniat membebaskan kepariwisataan dari status dan fungsi ekonomi, dan karena itu, cara perumusan demikian justru dapat menimbulkan implikasi teknis, seperti kekaburan ruang lingkup kebijakan, lingkup kebijakan dalam perencanaan kebijakan, penetapan target dan desain kebijakan. Jika salah, perumusan demikian dapat menjerumuskan kebijakan kepariwisataan ke dalam beberapa kemungkinan:
1) motif budaya sangat dominan, motif ekonomi sangat tipis, atau bahkan diabaikan sama sekali;
2) motif kebudayaan seimbang dengan motif ekonomi ( proporsional);
3) motif ekonomi secara tidak disadari lebih dominan, mengalahkan motif budaya;
4) motif ekonomi mengakibatkan eksploitasi kebudayaan.
Alternatif demikian dapat dicegah dengan cara:
mempertegas status dan fungsi kepariwisataan dalam hubungan dengan potensi-potensi kepariwisataan, seperti lingkungan hidup, masyarakat pendukung, dan kebudayaan masyarakat setempat’
menata kembali motif, substansi dan arah kebijakan kepariwisataan;
.merumuskan secara akurat dan proporsional kebijakan kepariwisataan.
Perkembangan kebijakan tersebut mencerminkan:
dua pola dasar, yaitu kepariwisataan sebagai kegiatan kebudayaan dan ekonomi;
dua model pendekatan, yaitu kebudayaan dan ekonomi; dan
dua model target, yaitu target budaya dan target ekonomi.
Kebijakan pada perkembangan tahap pertama memiliki kesamaan dengan pada perkembangan tahap ketiga, yaitu sama-sama didasarkan pada pendekatan kebudayaan, dan sama-sama menempatkan kebudayaan sebagai kegiatan kebudayaan. Sedangkan pada tahap kedua memiliki cirri yang sangat kontras, yaitu didasarkan pendekatan ekonomi, berorientasi pada devisa dan pertumbuhan optimal.
Namun penting diperhatikan bahwa model perumusan kebijakan pada tahap ketiga dapat menjerumuskan kepariwisataan ke dalam keadaan lebih buruk disbanding akibat-akibat kebijakan kepariwisataan pada tahap kedua.
Belakangan disebutkan bahwa kebijakan kepariwisataan didasarkan pada pendekatan komunitas atau pendekatan kemasyarakatan, dimana kegiatan kepariwisataan tidak lagi diletakkan pada komunitas professional, atau masyarakat pelaku bisnis, melainkan lebih pada masyarakat asli daerah masing-masing dimana kepariwisataan tersebut dikembangkan. Pendekatan demikian sesungguhnya tidak ditemukan pada bagian kebijakan kepariwisataan, seni dan budaya, melainkan pada bidang kebijakan ekonomi yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi didasarkan system ekonomi kerakyatan, sebagai koreksi terhadap pendekatan ekonomi berbasis kekuasaan ke ekonomi berbasis kerakyatan.


B. Perkembangan Kebijakan Pariwisata Internasional
GATS
GATS (General Agreement on Trade in Services) atau Persetujuan Umum Perdagangan jasa, masuk ke dalam sistem hukum Indonesia melalui Undang-undaag Nomor 7 Tahun 1994, yaitu Undang-undang tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organisation (WTO Agreement) atau Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia. GATS merupakan bagian WTO Agreement dan terletak padaAnnex 1B Persetujuan tersebut.
GATS mencakup enam bagian:
Bagian I, Ruang lingkup dan definisi (Scope and Definition);
Bagian II, Kewajiban-kewajiban umum dan disiplin (General Obligations and Diciplines);
Bagian III, Komitmen Khusus (Spesific Commitments);
Bagian IV, Liberalisasi Progresif (Progressive Liberalisation);
Bagian V, Ketentuan Kelembagaan (Institutional Provisions);
BagianVl, Ketentuan Penutup (Final Provisions).

1.2. Ruang Lingkup GATS
GATS diterapkan terhadap setiap kebijakan perdagangan setiap anggota GATS yang berdampak terhadap perdagangan jasa. Perdagangan jasa menurut GATS adalah penyediaan jasa:
Dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya;
Di dalam wilayah suatu negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota lainnya;
Oleh penyedia jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran perusahaan jasa di dalam wilayah negara anggota lainnya
Oleh penyedian jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran natural person dari suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota lainnya.
Batas-batas penerapan GATS, termasuk prinsip-prinsip, standar standar, persyaratan-persyaratan, ketentuan-ketentuan, mekanisme dan prosedur, kemudahan, keuntungan dan serta sanksi-sanksinya, dengan demikian adalah: Pertama, hanya berlaku di antara negara-negara anggota GATS; Kedua, sepanjang berdampak terhadap pasokan jasa dari negara anggota lainnya.
Ketentuan-ketentuan GATS hanya berlaku di antara negara-negara anggota GATS. Tidak ada kewajiban bagi negara anggota GATS memberikan perlakuan serupa terhadap pemasok jasa bukan negara anggota GATS. Hal lainnya, adalah bahwa hanya kebijakan perdagangan jasa yang berdampak yang masuk ke dalam ruang lingkup GATS, di luar itu tidak. Untuk sampai pada jastifikasi berdampak atau tidak, harus ada verifikasi.
Ketentuan demikian mengisyaratkan bahwa setiap negara anggota mempunyai hak penuh, berdasarkan prinsip kedaulatannya, mengatur atau menerbitkan kebijakan perdagangan jasa, namun kebijakan demikian serta merta harus memperhatikan prinsip-prinsip GATS manakala bersentuhan dengan pasokan jasa dari negara-negara anggota GATS, dan terutama yang berdampak terhadap pemasokan jasa di dalam atau ke dalam wilayah negara penerbit kebijakan. Ketentuan ini secara analogis berlaku terhadap perdagangan jasa pariwisata.

1.3. Prinsip-prinsip GATS
a. Most Favoured Nation Treatment
Setiap negara harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan tidak berbeda terhadap jasa dan pemasok jasa dari negara lain sesuai perlakuan yang diberikan terhadap pemasok jasa dari negara anggota lainnya. Negara anggota diperbolehkan menerapkan kebijakan yang menyimpang dari prinsip tersebut, dengan syarat kebijakan tersebut dicantumkaa dan memenuhi persyaratan Annex Pasal II (Exeptions).
Annex ketentuan tersebut mengatur persyaratan bagi suatu negara anggota untuk dikecualikan dari kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal II. Misalnya, bahwa pengecualian dapat diberikan lebih dari 5 (lima) tahun. Tetapi, untuk periode pertama, tidak boleh lebih dari lima tahun sejak GATS berlaku.
Annex tersebut lebih jauh mengatur tencang cara melakukan penguj ian dan penghentian. Penghentian adalah keharusan untuk menghentikan pengecualian jika telah mencapai 10 (sepuluh) tahun. Prinsip ini, memberi peluang kepada pemerintah Indonesia untuk memperoleh pengecualian-pengecualian terhadap pemasok jasa tertentu, termasuk pemasok jasa dari dalam wilayahnya (pemasok jasa domestik, tetapi pengecualian demikian hams dihapuskan setelah kurun waktu sepuluh tahun sejak GATS berlaku. Setelah itu, pemasok jasa pariwisata Indonesia hams siap bersaing secara cerbuka (tanpa proteksi).

b. Transparasi
Setiap negara anggora wajib menerapkan, segera, semua peraturan pemndangan, termasuk undang-undang, peraturan-peraturan, pedoman pelaksanaan dan peraturan pemndangan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian ini, termasuk selumh perjanjian internasional di mana negara tersebut menjadi anggotanya.
Setiap negara harus secara periodik, paling tidak setahun sekali, memberitahu Council for Trade in Services (CTS), penerbitan atau perubahan peraturan pemndangan yang terjadi di negara bersangkutan. Setiap negara harus menjawab setiap pertanyaan negara lain berkaitan dengan informasi yang diperlukan.
Ketentuan ini menumt setiap pelaku bisnis pariwisata memahami peraturan perundangan yang diterbitkan pemerintahnya dan peraturan perundangan yang berlaku di dalam negara tujuan bisnisnya, untuk dapat memanfaatkan peluang dan fasilitas perlindungan yang disediakan peraturan perundangan tersebut, memenuhi kewajiban-kewajiban dengan sebaik-baiknya, untuk manfaat yang maksimal dan mencegah risiko bisnis yang dapat timbul dari akibat kelalaian terhadap peluang dan kewajiban tersebut.
Informasi-informasi harus diberitahukan secara terbuka untuk urnum, namun Pasal III bis tetap memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk menyimpan informasi-informasi yang bersifat rahasia, yang dapat menghambat penerapan GATS.

c. Perlakuan Khusus Untuk Negara Berkembang
Negara berkembang tetap mendapat kemudahan dalam pelaksanaan GATS, melalui komitmen khusus (specific commitment), sepanjang negara bersangkutan berkepentingan secara nyata untuk menata kapasitas, efisiensi dan daya saing sektor jasa, termasuk pariwisata, dan untuk itu negara-negara berkembang dapat meningkatkan akses terhadap jaringan informasi dan akses pasar.
Ketentuan ini dapat digunakan pelaku bisnis pariwisata Indonesia untuk menuntut pemerintah Indonesia memanfaatkan hak dan peluang tersebut, baik dalam rangka penataan kapasitas, efisiensi dan daya saing pelaku bisnis domestik, maupun dalam rangka memperoleh peluang akses pasar, tanpa hams memberikan kompensasi serupa bagi pelaku jasa dari pemilik pasar. Ketentuan ini sangat penting bagi pelaku bisnis Indonesia untuk menata diri, canpa kehilangan kesempatan mengakses pasar asing.

d. Kerjasama Dengan Negara Bukan Anggota
Kerjasama dengan negara bukan anggota tidak dilarang sepanjang tidak merugikan penerapan GATS. Karena itu, setiap negara anggota GATS tetap dapat membentuk atau menjadi anggota suatu kerjasama ekonomi, baik bilateral, regional, maupun universal.

e. Ketentuan Domestik
Setiap negara anggota, dalam membuat dan menerapkan ketentuan domestik, tidak boleh merugikan kepentingan penerapan GATS. Setiap regulasi hams diterapkan secara wajar, obyektif dan tidak memihak.
Ketentuan ini mengharuskan pelaku bisnis pariwisata melakukan kegiatan bisnis secara mandiri, berdasarkan kapasitas sendiri, tanpa subsidi atau pun perlakuan khusus dari pemerintah. Mereka tidak dapat meminta memberikan perlakuan demikian semata-mata untuk keuntungan mereka.
Pasal XV GATS menentukan bahwa subsidi harus didasarkan negosiasi multilateral, karena subsidi secara umum dapat mengakibatkan distorsi perdagangan.

f. Standar
Standar jasa dapat ditetapkan secara bilateral, regional, dan universal dan domestik, sepanjang penerapannya bersifat obyektif dan tidak diskriminatif.
Pelaku bisnis pariwisata dapat menggunakan ketentuan ini untuk menjelaskan kepada pemerintah keadaan mereka, dan meminta pemerintah menetapkan, atau merevisi, standar tertentu sesuai keadaan mereka. Hanya saja, mereka harus siap bersaing secara obyektif dengan pelaku bisnis asing dalam pemenuhan standar tersebut. Perlakuan khusus tidak dibenarkan dalam penerapan suatu standar.

g. Monopoli
Monopoli dalam pemasokaa jasa diperkenankan sepanjang pemegang monopoli tidak melakukan kegiatan di luar batas-batas monopoli yang diberikan pemerintahnya.
Ketentuan ini mengandung dua makna, pertama, monopoli dibolehkan, kedua, pemerintah harus secara tegas menentukan batas-batas monopoli bagi pelaku bisnis, dan menjamin bahwa monopoli diterapkan tidak melampaui batas-batasnya.

h. Hambatan
Suatu standar, monopoli dan praktek usaha tidak boleh dilakukan dengan maksud melakukan hambatan terhadap pemasok jasa lain.
Hambatan juga dilarang terhadap lalu lintas pembayaran, melalui komitmen khusus sesuai ketentuan komitmen khusus, kecuali berkenaan dengan anggaran dasar IMF bagi anggota-anggotanya, yang ditujukan untuk pengaturan devisa, dengan syarat negara bersangkutan tidak membebankan pembatasan terhadap transaksi modal yang tidak konsisten dengan komitmen khusus, kecuali atas permintaan IMF atau Pasal XII.
Pasal XII menentukan bahwa suatu negara anggota diperkenankan melakukan pembatasan-pembatasan perdagangan jasa terhadap pemasok jasa asing, dalam hal terjadi kesulitan yang serius terhadap neraca pembayaran luar negeri negara tersebut. Ketentuan ini sangat berguna bagi pelaku bisnis pariwisata, dalam suatu masa krisis, untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya.

i. Pengecualian Umum
Setiap negara mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan tindakan berhubungan dengan perlindungan moral dan kepentingan umum, kehidupan, kesehatan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, menjamin ketaatan terhadap undang-undang, pencegahan penipuan, pemalsuan, mengatasi pelanggaran perjanjian dalam perdagangan jasa, perlindungan rahasia pribadi, termasuk catatan dan rekening pribadi.
Ketentuan ini berguna untuk melindungi kepentingan pelaku bisnis pariwisata dari praktek curang dan perbuatan melanggar hukum pelaku bisnis asing yang mengakibatkan kerugian luas pada individu, masyarakat dan negara.

j. Akses Pasar
Sesuai dengan model-model pasokan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal I GATS, setiap negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama terhadap jasa atau pemasok jasa dari negara anggota lainnya, dan tidak boleh berbeda dengan ketentuan, pembataaan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan secara khusus dalam jadwal komitmen yang dibuat. Terhadap hal ini ditentukan dua kondisi, pertama, jika suatu negara menerapkan komitmen akses pasar berkaitan dengan model pasokan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2(a), dan jika pergerakan modal lintas batas negara sangat diperlukan dalam rangka pasokan jasa tersebut, maka negara tersebut hams memperkenankan pemindahan modal ke luar wilayahnya; kedna, jika komitmen akses pasar tersebut berkaitan dengan model pasokan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2 (c), pasokan jasa dari wilayah suatu negara di dalam wilayah negara lainnya, maka negara tersebut harus memperkenankan pemindahan modal ke dalam wilayahnya.
Prinsip-prinsip GATS menyediakan kemudahan dan peluang-peluang, termasuk peluang pasar yang lebih luas, untuk memasok jasa di dalam wilayah negara anggota GATS lainnya, dan juga tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan kehadiran pemasok jasa asing di dalam wilayah Indo­nesia. Keadaan ini tidak dapat dihindarkan sehubungan dengan peluang yang diperoleh Indonesia. Kendati pun demikian, pelaku bisnis pariwisata Indonesia masih memiliki peluang cukup luas untuk memanfaatkan berbagai i prinsip, seperti hak atas pengecualian (Pasal II ayat (2) dan (3)), kerjasama regional intra ASEAN (Pasal V), pengaturan domestik untuk keperluan penataan kapasitas pelaku bisnis domestik dalam rangka membangun kapasitas bersaing yang lebih baik (Pasal VI), atau juga ketentuan tentang monopoli (Pasal VII), untuk melindungi kepentingan pelaku bisnis domestik sampai saatnya mereka dapat bersaing secara lebih adil, dengan kapasitas yang lebih sebanding.
Hal yang paling penting yang hams dilakukan saat ini adalah, pertama, menata diri serta memenuhi persyaratan dan standar bisnis yang telah ada untuk mendapatkan kapasitas bisnis riil, untuk memasuki era persaingan riil, dan Kedua, mengembangkan komunikasi dua arah yang lebih baik antara pemerintah dengan komunitas bisnis pariwisata untuk memberi pengetahuan kepada pemerintah tentang kondisi riil komunitas bisnis pariwisata, sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan pertukaran peluang dengan negara lain.
Dalam perdagangan jasa GATS berlaku prinsip resiprositas, bahwa suatu negara hanya wajib memberikan akses kepada anggota GATS, hanya jika negara tersebut mendapat akses serupa dari negara anggota yang memperoleh akses serupa. Karena itu, sesungguhnya tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk membuka kran kedaulatannya bagi pemasok jasa asing, kecuali In­donesia memperoleh akses serupa dari negara penerima akses. Untuk keperluan keakurasian pembukaan akses pasar tersebut, pemerintah Indo­nesia memerlukan input dari komunitas bisnis, agar pemerintah tidak salah buka atau mempertukarkan akses.

II. Kebijakan Terhadap Lingkungan
Sesuai dengan Deklarasi Stockholm 1972 (Prinsip 1) yang menyatakan bahwa :
“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a duality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generations”. Artinya lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang dan karenanya manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan untuk generasi saat sekarang maupun generasi yang akan datang. Prinsip tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, sehingga dapat memberikan gugatan hukum kepada pihak/orang lain apabila hak atas lingkungan hidupnya yang baik dan sehat merasa diganggu.

III. Kebijakan Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan program dunia internasional yang dicetuskan dalam komisi lingkungan hidup PBB (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan pembangunan yang memperhatikan pelestarian alam sehingga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Jadi pembangunan berwawasan lingkungan merupakan sarana untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Harris, et al ( 2003:36), “Sustainable tourism is tourism that is developed and maintained in a manner, and at such a scale, that it remains economically viable over an indefinite period and does not undermine the physical and human environment that sustains and nurtures it. It needs to be economically sustainable, because if tourism is not profitable then it is a moot question to ask whether it is environmentally sustainable – tourism that is unprofitable and unviable will simply cease to exist”.
Artinya pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang dikembangkan dengan baik secara terus menerus, tidak merusak alam dan dapat memberikan keuntungan ekonomi dalam waktu yang tidak terbatas.
WTO mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: “Pembangunan pariwisata berkelanjutan mempertemukan kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini sekaligus mempertahankan dan meningkatkan peluang untuk masa depan. Semua ini dipertimbangkan sebagai pengaruh untuk mengelola semua sumber-sumber alam sedemikian rupa agar kebutuhan ekonomi, sosial dan nilai estetika terpenuhi sembari mempertahankan integritas budaya, proses ekologi dan keanekaragaman hayati.
Melalui konferensi tingkat tinggi di Santiago, Chili pada 1 Oktober 1999 ,WTO mengeluarkan kode etik pariwisata global yang bertujuan untuk melindungi alam dan lingkungan dari kegiatan pariwisata. Kode etik ini berisi 10 pasal tentang ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang berlaku bagi daerah tujuan wisata, pemerintah, biro perjalanan wisata, pekerja dan wisatawan di seluruh dunia. Kutipan pasal dan terjemahannya adalah sebagai berikut:

Pasal 1 : Kontribusi pariwisata dapat menciptakan rasa saling menguntungkan dan saling menghormati diantara individu dan masyarakat

Pasal 2 : Pariwisata merupakan sebuah alat untuk memenuhi keinginan pribadi maupun kolektif

Pasal 3 : Pariwisata merupakan pembangunan yang berkelanjutan

Pasal 4 : Pariwisata memanfaatkan budaya masyarakat yang dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan budaya masyarakat.

Pasal 5 : Pariwisata merupakan kegiatan yang menguntungkan masyarakat lokal

Pasal 6 : Kewajiban-kewajiban para pemegang keputusan dalam pembangunan
pariwisata

Pasal 7 : Hak-hak pariwisata

Pasal 8 : Kebebasan gerak wisatawan

Pasal 9 : Hak-hak pekerja industri pariwisata
Pasal 10 : Implementasi prinsip-prinsip kode etik global pariwisata

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (4)

Kebijakan Pariwisata dalam GBHN 1993:
a. Pembangunan Kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional.
b. Dalam pembangunan kepariwisataan harus dijaga tetap terpeliharanya kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor lain yang terkait dalam suatu keutuhan usaha kepariwisataan yang saling menunjang dan saling menguntungkan, baik yang berskala kecil, menengah maupun besar.
c. Pengembangan pariwisata Nusantara dilaksanakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan wisata mancanegara perlu ditingkatkan melalui upaya pemeliharaan benda dan khazanah bersejarah yang menggambarkan ketinggian budaya dan kebesaran bangsa, serta didukung dengan promosi yang memikat.
d. Upaya pengembangan objek dan daya tarik wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya, baik di dalam maupun di luar negeri terus ditingkatkan secara terencana, terarah, terpadu, dan efektif antara lain dengan memanfaatkan secara optimal kerjasama kepariwisataan regional dan global guna meningkatkan hubungan antar bangsa.
e. Pendidikan dan pelatihan kepariwisataan perlu makin ditingkatkan, disertai penyediaan sarana dan prasarana yang makin baik, dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk menjamin mutu dan kelancaran pelayanan serta penyelenggaraan pariwisata.
f. Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam kegiatan kepariwisataan perlu makin ditingkatkan melalui penyuluhan dan pembinaan kelompok seni budaya, industri kerajinan, serta upaya lain untuk meningkatkan kualitas kebudayaan dan daya tarik kepariwisataan Indonesia dengan tetap menjaga nilai-nilai agama, citra kepribadian bangsa, serta harkat vdan martabat bangsa. Dalam upaya pengembangan usaha kepariwisataan, harus dicegah hal-hal yang dapat merugikan kehidupan masyarakat dan kelestarian kehidupan budaya bangsa. Dalam pembangunan kawasan pariwisata keikutsertaan masyarakat setempat terus ditingkatkan.
Kebijakan kepariwisataan pada tahap kedua ini adalah penekanan kepariwisataan sebagai sumber devisa. Kebijakan kepariwisataan dirumuskan dalam fase memperbesar penerimaan devisa dari sektor pariwisata.

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (3)


Garis-Garis Besar Pembangunan Nasional semesta Berencana Tahap Pertama menempatkan kebijakan kepariwisataan di bawah bidang Distribusi dan Perhubungan, dengan titel Tourisme. Kebijakan ini mencakup tiga hal:
a.Gagasan mempertinggi mutu kebudayaan;
b.Meningkatan perhatian terhadap kesenian di daerah-daerah pusat pariwisata; dan
c.Memelihara kepribadian dan keaslian budaya, sesuai kepribadian daerah masing-masing.
Kebijakan demikian mencerminkan tiga ciri:
a. Penempatan kepariwisataan sebagai aspek kegiatan budaya;
b. Kepariwisataan sebagai media pembangunan budaya, nasional maupun universal;
c.Penempatan keaslian, kekhasan, dan nilai-nilai kepribadian kesenian dan kebudayaan daerah sebagai pijakan pengembangan kepariwisataan.
Pandangan, materi dan orientasi kebijakan demikian merupakan cerminan dominasi pendekatan kebudayaan terhadap kepariwisataan. Kebijakan demikian sangat jauh dari motif ekonomi dan devisa, dan lebih ditekankan pada fungsi kepariwisataan sebagai media interaksi antar bangsa dan dasar pembentukan tatanan kebudayaan universal.

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (2)


Pariwisata di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1954, sehingga pariwisata tidak merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Para pemimpin negara ini sangat menyadari peranan sektor ini terhadap sosial budaya maupun ekonomi bangsa. Hal ini sangat jelas tercermin pada kebijakan-kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh lembaga legislatif dan dijalankan oleh lembaga eksekutif Indonesia. Namun dalam perkembangannya sektor ini mengalami perubahan-perubahan tempat berpijaknya yang disebabkan oleh sifat multi dimensi yang dimiliki sektor ini. Perubahan letak tersebut mencerminkan kesulitan pengidentifikasian dan pendefinisian kepariwisataan, termasuk pendekatan dan target kebijakan yang diinginkan (Ida Bagus Wyasa Putra, dkk. 2003:2).
Menurut Ida Bagus Wyasa Putra, dkk. (2003) kebijakan kepariwisataan Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertama (1961-1969), tahap kedua (1969-1998), dan tahap ketiga (1999 sampai sekarang)

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (1)


Pariwisata merupakan industri yang menjadi salah satu motor perekonomian di Indonesia. Perkembangan pariwisata Indonesia kedepan sangatlah menjanjikan, hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dimana begitu banyak produk-produk wisata yang dapat ditawarkan kepada pasar. Oleh karenanya ‘kue’ pariwisata yang sangat diminati oleh banyak orang akan dapat menimbulkan berbagai macam potensi konflik, selain itu dampak negatif dari perkembangan pariwisata harus segera dapat diantisipasi oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga memperhatikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi dunia dibidang pariwisata dengan memperhatikan perkembangan kondisi pariwisata di dalam negeri. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan pariwisata dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan pasar internasional dengan memperhatikan konsep keberlanjutan (sustainabelity).