Kalau dipikir-pikir, dahulu jaman orde baru, jamannya Pak Harto, Pariwisata di Bali berkembang dengan pesat. Masih teringat di benak saya, sekitar tahun 80 an sampai 97 an, sebelum Pak Harto lengser, Pariwisata di Bali mencapai jaman keemasannya. Pada jaman itu bagi mahasiswa yang kuliah di BPLP Nusa Dua (Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata) sekarang STP Bali, sebelum tamat sudah mendapat pekerjaan di Hotel, bahkan pekerjaan yang mencari mahasiswa. Pokoknya pada jaman itu, sungguh bangga rasanya menjadi mahasiswa perhotelan dan pariwisata, karena untuk masuk menjadi mahasiswa perhotelan dan pariwisata dilakukan seleksi yang ketat, bahkan pendidikannya setengah militer!
Namun di era reformasi, sekitar tahun 1998 yang melengserkan Pak Harto, nasib pariwisata di Bali sangat terpuruk. Begitu banyak proyek-proyek pariwisata yang mandeg, misalnya saja BTID (Bali Turtle Island Development) di Serangan. Di kampung saya di Tabanan, rencananya akan dibangun jalan tembus dari Penebel- Sarinbuwana-Belimbing dan akan dilakukan pengembangan pariwisata di sana. Namun semua proyek itu gatot...dan butot...artinya gagal total dan bubar total!!!
Saya pribadi tidak menyalahkan reformasi, demokrasi dsb...semua itu baik untuk mengubah kondisi politik di Indonesia yang pada jaman Pak Harto cenderung tersentralisasi. Semua keputusan mesti datang dari pusat, pokoknya Jakarta adalah penentu nasib seluruh daerah di Indonesia. Saya juga masih ingat, jamannya Pak Harto ada istilah PETRUS (Penembak Misterius) yang tugasnya membungkam para residivis, penjahat kambuhan yang mengganggu keamanan. Barang siapa yang bersebrangan Ide dengan Pejabat Senayan, dijamin hidupnya bakal susah. Kita juga tidak pernah lupa bagaimana nasib keluarga Bung Karno yang sangat diintimidasi pada jaman Pak Harto. Pada intinya di jaman itu masyarakat mesti hati-hati bicara, 'otherwise' nasibnya bakal sama dengan Pak Budiman Sujatmiko, Dr.Syahrir (Alm) Pak Sri Bintang Pamungkas, Bu Megawati Sukarno Putri yang pada masa itu sangat ditekan kebebasannya mengeluarkan pendapat. Tetapi pada jaman itu suasana sangat aman, orang-orang pada takut untuk berbicara ngawur, apalagi mau ngebom...yayaya...jaman orde baru sepengetahuan saya tidak pernah ada bom seperti Bom Bali, Bom Mak Erot...salah..BomMariot..dsb..dsb... Hmmm sepertinya pada masa Pak Harto, para teroris berpikir 1000 kali untuk mau ngebom, boro boro mau ngebom, baru beli bahan peledak aja suda di PETRUSIN kaleee....
Heran, heran dengan jaman repormasi sekarang ini dimana semua orang bebas berbicara, saling memojokkan satu dengan lain...(ini kali yaa, yang dinamakan demokrasi)...saya sendiri bukan pakar politik, kata demokrasi aja yang saya tau dari bahasa balinya itu : Demokrasi = De Mekerasin yang artinya jangan keras-kerasan, yaah cukup pakai mulut dan otak, ga perlu marah marah dan teriak-teriak seperti anggota DPR sekarang, ga perlu pake berantem sama polisi...Demokrasi yang saya tahu adalah, kalau ada masalah selesaikanlah dalam satu meja, atau duduk mesila di dampingi sebungkus rokok, secangkir kopi hangat dan godoh anget..lalu bicara dengan sopan santun, santai pakai otak...lalu kalo ada adu pendapat yang mulai bikin sesak, ya tarik nafas panjang......lepas....tarik, tahan lepas....yah...melakukan 'pranayama' supaya ga marah-marah....
Pariwisata sendiri adalah sebuah industri 'bersenang-senang', Pariwisata membuat orang senang, semua senang....wisatawan senang, pengusaha, pemerintah dan rakyat bali juga senang...hmmm semua senang....termasuk saya sendiri bisa hidup senang karena pariwisata yang ada di Bali. Dengan adanya wisatawan yang datang ke Bali, membutuhkan sarana akomodasi, restaurant dan sarana serta prasarana penunjang lainnya. Nah setiap hotel dan restaurant butuh tenaga kerja yang terdidik dan terampil, disinilah peranan saya adalah membantu Pemerintah dan Lembaga dimana saya bekerja untuk menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan terampil untuk dapat bekerja di dunia internasional.
Semenjak Bom Bali, penerimaan mahasiswa Pariwisata dan Perhotelan turun drastis. Pendapatan dosen pariwisata dan perhotelan jeblok. Sekarang ini pun, meskipun sekolah pariwisata masih diminati, namun menyisakan kekhawatiran karena tingkat persaingan yang semakin tinggi diantara sekolah-sekolah pariwisata yang ada di Bali, belum lagi trend kuliah sedang mengarah pada ilmu keperawatan, kependidikan dan Informasi teknologi yang semakin membuat sendu wajahsekolah-sekolah pariwisata.
Mungkin sebagai insan pariwisata, berharap agar demokrasi yang sedang kita bangun sekarang ini, jangan sampai kehilangan makna. Jangan sampai masyarakat awam dan masyarakat akar rumput, masyarakat pinggir sungai kumuh, masyarakat sampah, masyarakat pada golongan menengah kebawah yang jumlahnya paling banyak menjadi jengkel dengan kata demokrasi. Jangan sampai anggota DPR, penegak hukum, mahasiswa, pemerintah mengatasnamakan demokrasi untuk saling mencerca, menghina satu sama lainnya. Jangan sampai demokrasi yang salah kaprah membuat kita lupa akan pentingnya stabilitas keamanan untuk pengembangan pariwisata di Indonesia, khususnya di Pulau Bali.
Mari kita bersama sama menjaga Bali tercinta dengan cara kita masing-masing. Sebentar lagi Pilkada.....sebuah ajang pesta demokrasi, mari kita rayakan pesta demokrasi ini dengan membawa atribut seni dan budaya Bali yang unik sehingga menjadi potensi wisata Bali.(Peace).
Namun di era reformasi, sekitar tahun 1998 yang melengserkan Pak Harto, nasib pariwisata di Bali sangat terpuruk. Begitu banyak proyek-proyek pariwisata yang mandeg, misalnya saja BTID (Bali Turtle Island Development) di Serangan. Di kampung saya di Tabanan, rencananya akan dibangun jalan tembus dari Penebel- Sarinbuwana-Belimbing dan akan dilakukan pengembangan pariwisata di sana. Namun semua proyek itu gatot...dan butot...artinya gagal total dan bubar total!!!
Saya pribadi tidak menyalahkan reformasi, demokrasi dsb...semua itu baik untuk mengubah kondisi politik di Indonesia yang pada jaman Pak Harto cenderung tersentralisasi. Semua keputusan mesti datang dari pusat, pokoknya Jakarta adalah penentu nasib seluruh daerah di Indonesia. Saya juga masih ingat, jamannya Pak Harto ada istilah PETRUS (Penembak Misterius) yang tugasnya membungkam para residivis, penjahat kambuhan yang mengganggu keamanan. Barang siapa yang bersebrangan Ide dengan Pejabat Senayan, dijamin hidupnya bakal susah. Kita juga tidak pernah lupa bagaimana nasib keluarga Bung Karno yang sangat diintimidasi pada jaman Pak Harto. Pada intinya di jaman itu masyarakat mesti hati-hati bicara, 'otherwise' nasibnya bakal sama dengan Pak Budiman Sujatmiko, Dr.Syahrir (Alm) Pak Sri Bintang Pamungkas, Bu Megawati Sukarno Putri yang pada masa itu sangat ditekan kebebasannya mengeluarkan pendapat. Tetapi pada jaman itu suasana sangat aman, orang-orang pada takut untuk berbicara ngawur, apalagi mau ngebom...yayaya...jaman orde baru sepengetahuan saya tidak pernah ada bom seperti Bom Bali, Bom Mak Erot...salah..BomMariot..dsb..dsb... Hmmm sepertinya pada masa Pak Harto, para teroris berpikir 1000 kali untuk mau ngebom, boro boro mau ngebom, baru beli bahan peledak aja suda di PETRUSIN kaleee....
Heran, heran dengan jaman repormasi sekarang ini dimana semua orang bebas berbicara, saling memojokkan satu dengan lain...(ini kali yaa, yang dinamakan demokrasi)...saya sendiri bukan pakar politik, kata demokrasi aja yang saya tau dari bahasa balinya itu : Demokrasi = De Mekerasin yang artinya jangan keras-kerasan, yaah cukup pakai mulut dan otak, ga perlu marah marah dan teriak-teriak seperti anggota DPR sekarang, ga perlu pake berantem sama polisi...Demokrasi yang saya tahu adalah, kalau ada masalah selesaikanlah dalam satu meja, atau duduk mesila di dampingi sebungkus rokok, secangkir kopi hangat dan godoh anget..lalu bicara dengan sopan santun, santai pakai otak...lalu kalo ada adu pendapat yang mulai bikin sesak, ya tarik nafas panjang......lepas....tarik, tahan lepas....yah...melakukan 'pranayama' supaya ga marah-marah....
Pariwisata sendiri adalah sebuah industri 'bersenang-senang', Pariwisata membuat orang senang, semua senang....wisatawan senang, pengusaha, pemerintah dan rakyat bali juga senang...hmmm semua senang....termasuk saya sendiri bisa hidup senang karena pariwisata yang ada di Bali. Dengan adanya wisatawan yang datang ke Bali, membutuhkan sarana akomodasi, restaurant dan sarana serta prasarana penunjang lainnya. Nah setiap hotel dan restaurant butuh tenaga kerja yang terdidik dan terampil, disinilah peranan saya adalah membantu Pemerintah dan Lembaga dimana saya bekerja untuk menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan terampil untuk dapat bekerja di dunia internasional.
Semenjak Bom Bali, penerimaan mahasiswa Pariwisata dan Perhotelan turun drastis. Pendapatan dosen pariwisata dan perhotelan jeblok. Sekarang ini pun, meskipun sekolah pariwisata masih diminati, namun menyisakan kekhawatiran karena tingkat persaingan yang semakin tinggi diantara sekolah-sekolah pariwisata yang ada di Bali, belum lagi trend kuliah sedang mengarah pada ilmu keperawatan, kependidikan dan Informasi teknologi yang semakin membuat sendu wajahsekolah-sekolah pariwisata.
Mungkin sebagai insan pariwisata, berharap agar demokrasi yang sedang kita bangun sekarang ini, jangan sampai kehilangan makna. Jangan sampai masyarakat awam dan masyarakat akar rumput, masyarakat pinggir sungai kumuh, masyarakat sampah, masyarakat pada golongan menengah kebawah yang jumlahnya paling banyak menjadi jengkel dengan kata demokrasi. Jangan sampai anggota DPR, penegak hukum, mahasiswa, pemerintah mengatasnamakan demokrasi untuk saling mencerca, menghina satu sama lainnya. Jangan sampai demokrasi yang salah kaprah membuat kita lupa akan pentingnya stabilitas keamanan untuk pengembangan pariwisata di Indonesia, khususnya di Pulau Bali.
Mari kita bersama sama menjaga Bali tercinta dengan cara kita masing-masing. Sebentar lagi Pilkada.....sebuah ajang pesta demokrasi, mari kita rayakan pesta demokrasi ini dengan membawa atribut seni dan budaya Bali yang unik sehingga menjadi potensi wisata Bali.(Peace).