Minggu, September 22, 2013

Relasi Kekuasaan di Balik Reklamasi Teluk Benoa

Interaksi Kekuasaan

Kalau kita amati apa yang terjadi pada kawasan Teluk Benoa saat ini, bagai bongkahan emas yang diintip dan ingin dimiliki berbagai kalangan. Boleh juga kalau kita sebut sebagai Emas Keramat yang sangat angker, apabila salah memperlakukannya akan mendapat kutukan dari yang Maha Kuasa. Kalau benar kita berbuat, maka "emas" ini menjadi berkilau, memancarkan "taksu" bagi kemuliaan, keagungan, kesejahteraan rakyat Bali, dan betul-betul Bali mencapai jaman keemasannya. Sebaliknya, apabila tidak benar membawa pusaka ini, maka "emas" itu berubah menjadi kuning, dan kuning itu seperti ampas yang berbau tidak sedap,

Sebenarnya proses demokrasi sudah terjadi semenjak Gubernur Pastika menjabat. Beliau sangat demokratis. Mungkin kita perlu melirik latar belakang Gubernur kita sekarang ini, seorang Jenderal, Perwira Tinggi Polisi, memiliki reputasi nasional,cerdas, dan nasionalis. Beliau menerima pendapat yang bersebrangan dengan pendapat dirinya. Dari sisi perseorangan, memang beliau sangat layak untuk memimpin Bali, putra Bali terbaik yang dimiliki saat ini.

Demikian pula para pecinta lingkungan hidup yang tergabung dalam WALHI, dengan lantang dan heroik berupaya menggalang kekuatan untuk menggagalkan rencana reklamasi. Kenyataannya upaya yang ditempuh berhasil, sampai saat ini melalui jalur hukum, upaya pak Wayan "Gendo"Suardana menuai simpati masyarakat dan kalangan akademisi. Sampai saat ini Pak Wayan mampu memberikan pelajaran bagi sang Gubernur mengenai kasus Tahura, dimana Gubernur Pastika kalah di PTUN. Saat ini Pak Wayan masih ngotot agar SK Reklamasi Jilid 2 di cabut, yakni SK 1727/01-B/HK/2013 secara prinsip memiliki kesamaan dengan SK 2138/02-C/HK/2012 yang telah dicabut.

Bahkan RAJA MAJAPAHIT XIX juga menolak reklamasi (hmmm.....kayak di sinetron aja jadinya), bahkan ikut berseteru dengan Gubernur Pastika. Sang Raja menolak reklamasi berdasarkan kajian ilmiah dari UNUD,yakni dari aspek sosial budaya, teknis, lingkungan dan ekonomi finansial. Sang Raja yang juga mantan anggota Boy Band FBI bersama presenter Indra Bekti siap "bertarung" empat mata melawan Pak Gubernur dalam berargumen soal Reklamasi. Ditambah lagi, Kekuatan media nomor 1 di Bali, dengan moto"kenali dan nikmati dunia ini" bersama segenap pasukannya yang sejak awal sudah alergi dengan Geubernur sekarang turut serta setiap jam menghembuskan opini opini dari kontra reklamasi. Waaaaddduuuuhhhhhhh.........

Artinya, kekuatan dari Tokoh Masyarakat (Raja Maja Pahit), LSM (WALHI), Media, dan Masyarakat masing-masing sudah memiliki wakil  untuk "menjegal" putusan Gubernur soal Reklamasi. Kita anggap kelompok ini merupakan kaum intelektual organik progresif. Selanjutnya dari Akademisi yang diwakili UNUD dan forum rektor (intelektual tradisional) juga menolak reklamasi dengan tegas.


GAMBAR 1
INTERAKSI KEKUASAAN DALAM  REKLAMASI TELUK BENOA


 

Pandangan Foucoldian terhadap Kasus Reklamasi
Mungkin kalau Machavelli dan Marx masih hidup, mereka bakal sedikit  berdebat dengan Nietzche atau Michael Foucault. Machiavelli dan Marx memandang kekuasaan bersifat dikotomi, dua arah ada yang tertekan dan ada yang ditekan. Sementara Foucault melihat kekuasaan itu menyebar ke segala arah, ada di mana-mana, kekuasaan melahirkan pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan.

Disini, dapat dilihat bahwa relasi kekuasaan dalam kasus reklamasi Teluk Benoa bersifat menyebar dari segela arah. Gubernur Bali sebagai EXECUTIVE dalam hal ini yang membuat peraturan dengan alasan yang sangat rasional untuk memajukan Bali ke depan melalui reklamasi, menerima kenyataan dalam sistem, dimana tidak semua ide briliannya dapat dieksekusi. Demikian juga komponen yang lain juga memainkan peranan yang baik dalam sistem, sehingga fungsi pengawasan terhadap pengembangan pariwisata Bali dapat terlaksana. Artinya pembangunan yang dilaksanakan tidak terlalu kebablasan, mengingat ketimpangan Bali Selatan dan Bali Utara yang sangat amat (dampak negatif seperti urbanisasi, kemacetan, sampah dan berbagai masalah sosial) dirasakan mulai mengganggu kehidupan masyarakat Bali Selatan.

Pendekatan yang Sebaiknya Dilakukan

GAMBAR 2
PENDEKATAN PENGEMBANGAN DESTINASI

Jika dilihat pada Gambar 2 , secara konseptual memang harus ada keseimbangan antara aspek Lingkungan, sosial dan ekonomi, demi tercapainya GREEN TOURISM, atau Sustainable Tourism Development. Kajian yang  sudah dilakukan oleh Universitas Udayana, alangkah baiknya dipublikasi pada publik, paling tidak pada forum-forum ilmiah.
Artinya, jangan sampai keputusan mengenai reklamasi ini berubah-ubah, karena dapat menurunkan wibawa hukum dan pemerintah. Akibatnya sungguh memalukan dan memilukan nantinya, apabila ranah hukum dipermainkan untuk kepentingan sekelompok orang.
Ada kekhawatiran kasus reklamasi diredam sementara, mengingat di Bali saat ini berlangsung perhelatan akbar bersekala internasional, demi menjaga stabilitas keamanan. Setelah perhelatan selesai, maka kembali Reklamasi jilid 2 berlanjut.
Masalahnya bukan takut berlanjut, disini kalau memang Reklamasi memberi manfaat yang lebih besar untuk Bali ke depan, mengapa tidak? Singapura, Maldives, Jepang, melakukan reklamasi dan tampaknya baik-baik saja. Disisi lain, kekhawatiran yang dimunculkan WALHI dan Raja Majapahit juga sangat beralasan. Solusinya ya itu tadi, mari di buka ke hadapan publik mengenai hasil kajian terhadap reklamasi secara ilmiah dan objektif, atau perlu alternatif kajian dari pihak kedua sebagai pembanding???
Kembali, masalah di sini, bukan takut reklamasi jalan atau tidak. Yang penting kejelasan mengenai dampak negatif dan antisipasi terhadap dampak negatif yang dihasilkan.Kalau memang dampak negatif dapat diatasi dengan baik, ya.....silakan jalan.
TAPI---Kenapa PEMPROV atau Pemerintah Pusat tidak membangun akses yang sangat baik ke Bali Utara, sehingga investor tertarik untuk mengembangkan pariwisata di  sana? atau.... STOP Pembangunan fisik untuk fasilitas pariwisata, dana dialihkan untuk pengembangan ECOTOURISM dengan konsep Community Based Tourism?
***BAY***
Link
http://posbali.com/tolak-reklamasi-forbali-kembali-demo/
http://regional.kompas.com/read/2013/09/11/1722296/Raja.Majapahit.XIX.Tolak.Reklamasi.Teluk.Benoa.Bali
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=80195

Senin, September 02, 2013

Sejarah Pariwisata Bali

Kalau pada zaman Romawi orang melakukan perjalanan wisata karena kebutuhan praktis, dambaan ingin tahu dan dorongan keagamaan, maka pada zaman Hindu di Nusantara / Indonesia khususnya di Bali telah terjadi pula perjalanan wisata karena dorongan keagamaan.


Perjalanan Rsi Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11 kemudian Dang Hyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke 16 datang ke Bali sebagai misi keagamaan dengan titik berat pada konsep Upacara.

Perjalanan wisata internasional di Bali telah dimulai pada permulaan abad 20 dimana sebelumnya bahwa Bali diketemukan oleh orang Belanda tahun 1579 yaitu oleh ekspedisi (Cornellis de Houtman) dalam perjalanannya mengelilingi dunia untuk mencari rempah-rempah lalu sampai di Indonesia.

Dari Pulau Jawa misi tersebut berlayar menuju ke Timur dan dari kejauhan terlihatlah sebuah pulau yang merimbun. Dikiranya pulau tersebut menghasilkan rempah-rempah. Setelah mereka mendarat, mereka tidak menemukan rempah-rempah.

Hanya sebuah kehidupan dengan kebudayaannya yang menurut pandangan mereka sangat unik, tidak pernah dijumpai di tempat lain yang dikunjungi selama mereka mengelilingi dunia, alamnya sangat indah dan mempunyai magnet/daya tarik tersendiri. Pulau ini oleh penduduknya dinamakan Bali. Inilah yang mereka laporkan kepada Raja Belanda pada waktu itu.

Kemudian pada tahun 1920 mulailah wisatawan dari Eropa datang ke Bali. Hal ini terjadi berkat dari kapal-kapal dagang Belanda yaitu KPM (Koninklijke Paketcart Maatsckapy) yang dalam usahanya mencari rempah-rempah ke Indonesia dan juga agar kapal-kapal tersebut mendapat penumpang dalam perjalanannya ke Indonesia lalu mereka memperkenalkan Bali di Eropa sebagai (the Island of God).

Dari para wisatawan Eropa yang mengunjungi Bali terdapat pula para seniman, baik seniman sastra, seniman lukis maupun seniman tari. Dalam kunjungan berikutnya banyak para seniman tersebut yang menulis tentang Bali seperti :

Seniman Sastra

Dr Gregor Krause adalah orang Jerman yang dikirim ke Wetherisnds East Idies (Indonesia) bertugas di Bali pada tahun 1921 yang ditugaskan untuk membuat tulisan-tulisan dan foto-foto mengenai tata kehidupan masyarakat Bali. Bukunya telah menyebar ke seluruh Dunia pada tahun 1920 yang bersangkutan tinggal di Bangli.
Miguel Covarrubias dengan bukunya the Island of Bali tahun 1930
Magaret Mead
Collin Mc Phee
Jone Bello
Mrs Menc (Ni Ketut Tantri) dengan bukunya Revolt In Paradise
Roelof Goris dengan bukunya Prasasti Bali menetap di Bali tahun 1928
Lovis Conperus (1863-1923) dengan bukunya Easwords (Melawat ke Timur) memuji tentang Bali terutama Kintamani.
Seniman Lukis

R. Bonet mendirikan museum Ratna Warta
Walter Spies bersama Tjokorde mendirikan yayasan Pita Maha. Disamping dikenal sebagai pelukis ia juga mengarang buku dengan judul Dance dan Drama in Bali. Pertama kali ke Bali tahun 1925.
Arie Smith yang membentuk aliran young artist
Le Mayeur orang Belgia mengambil istri di Bali tinggal di Sanur tahun 1930 dengan Museum Le Mayeur di Bali 5. Mario Blanco orang Spanyol juga seorang pelukis beristrikan orang Bali dan menetap di Ubud.
Dan banyak lagi seniman baik asing maupun Nusantara disamping menetap, mengambil obyek baik lukisan maupun tulisan mengenai Bali. Dan tulisan-tulisan mengenai Bali mulai tahun 1920 sudah menyebar keseluruh Eropa dan Amerika.

Para Wisatawan asing yang sudah pernah ke Bali lalu menceritakan pengalaman kunjungannya selama di Bali kepada teman-temannya. Penyebaran informasi mengenai Bali baik karena tulisan-tulisan tentang Bali maupun cerita dari mulut ke mulut menyebabkan Bali dikenal di manca negara. Bahkan sampai saat ini nama Bali masih lebih dikenal umum dibandingkan dengan nama Indonesia di mancanegara.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka penyebaran informasi mengenai daerah tujuan wisata (DTW). Bali selalu mengutamakan nama Indonesia, baik itu penyebaran informasi melalui brosur-brosur maupun pada pameran-pameran yang diadakan di negara asing. Sehingga dengan demikian diharapkan nama Indonesia lebih dikenal dan dipahami bahwa Bali adalah salah satu propinsi yang ada di Indonesia dan merupakan bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Untuk menampung kedatangan wisatawan asing ke Bali maka pada tahun 1930 didirikanlah hotel yang pertama di Bali yaitu Bali Hotel yang terletak di jantung kota Denpasar, disamping itu juga ada sebuah pesanggrahan yang terletak di kawasan wisata Kintamani.

Pesanggrahan sangat strategis untuk dapat melihat pemandangan alam Kintamani yang unik dan mempunyai daya tarik tersendiri di mata wisatawan, bahkan pesanggrahan tersebut sangat strategis untuk menyaksikan saat Gunung Batur meletus maupun mengeluarkan asap.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, saat Gunung Batur meletus banyak roh-roh halus menyebar di sekitar Kintamani, karena itu masyarakat setempat membuat upacara agar ketentraman Desa terpelihara.

Pada saat Gunung Batur meletus pada tahun1994 yang lalu kawasan Kintamani makin banyak dikunjungi wisatawan yang ingin menyaksikan atraksi kegiatan Gunung Batur. Dan masyarakat setempat pun kebagian rezeki dari kunjungan tersebut.

Nama Bali makin terkenal setelah pada tahun 1932 rombongan Legong Peliatan melanglang buana ke Eropa dan Amerika atas prakarsa orang-orang asing dan pada tahun berikutnya makin banyak saja seni tari Bali yang diajak melanglang buana ke mancanegara. Selama pementasan selalu pertunjukan tersebut mendapat acungan jempol.

Makin terkenalnya nama Bali di mancanegara, kunjungan wisatawan asing makin banyak datang ke Bali. Berbagai julukan diberikan kepada Bali antara lain :

The Island of Gods
The Island of Paradise
The Island of Thousand Temples
The Morning of The World oleh Pandit Jawahral Nehru
The Last Paradise on Earth dan lain sebagainya.
Kesemarakan Pariwisata Bali pernah terhenti karena meletusnya Perang Dunia I tahun 1939 - 1941 dan Perang Dunia II tahun 1942-1945 dan dilanjutkan dengan Revolusi Kemerdekaan RI tahun 1942-1949.

Baru pada tahun 1956 kepariwisataan di Bali dirintis kembali. Pada tahun 1963 didirikan Hotel Bali Beach (Grand Bali Beach sekarang) dan diresmikan pada bulan November 1966. Hotel Bali Beach (Grand Bali Beach) mempunyai sejarah tersendiri dimana merupakan satu-satunya hotel berlantai 9 (sembilan) tingginya lebih dari 15 meter.

Hotel ini dibangun sebelum ada ketentuan bahwa bangunan di Bali maksimal tingginya 15 meter, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Bali tanggal 22 November 1971 Nomor 13/Perbang. 1614/II/a/1971. Isinya antara lain bahwa bangunan di Daerah Bali tingginya maksimal setinggi pohon kelapa atau 15 meter.

Hotel Bali Beach dibangun atas biaya dari rampasan perang Jepang. Hotel tersebut pernah terbakar pada tanggal 20 Januari 1993, pada saat hotel tersebut terbakar terjadi keanehan yaitu kamar nomor 327, satu-satunya kamar yang tidak terbakar sama sekali.

Setelah Hotel Bali Beach diresmikan pada bulan November 1966 maka bulan Agustus 1969 diresmikan Pelabuhan Udara Ngurah Rai sebagai pelabuhan internasional. Kepariwisataan di Bali dilaksanakan secara lebih intensif, teratur dan terencana yaitu ketika dimulai dicanangkan Pelita I pada April 1969.

Sumber : baliaga.com