Kamis, Oktober 29, 2009

Mengukur Kepuasan Konsumen

Menurut Kotler (dalam Tjiptono, 2002 : 148 -50) cara mengukur kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Sistem keluhan dan saran (complaint and sugestion system)
Perusahan yang berhubungan dengan langganan membuka kontak saran dan menerima keluhan-keluhan yang dialami oleh langganan yang ditempatkan ditempat-tempat strategis. Ada juga perusahaan membeli amplop yang telah dituis nama dan alamat perusahaan-perusahaan untuk digunakan menyampaikan saran atau keluhan serta kritik stelah mereka sampai ketempat asalnya. Saran-saran tersebut dapat juga disampaikan melalui kartu komentar. Informasi ni dapat memberikan ide-ide dan masukan kepada perusahaan yang memungkinkan perusahaan mengantisipasi terhadap kritik dan saran tersebut. Namun cara ini dapat dikatakan cenderung bersifat pasif, karena tidak semua pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan keluahannya. Juga sebaliknya tidak banyak pelanggan yang mau memberikan saran yang berkualitas terlebih lagi tanpa adanya imbal balik yang memadai kepada mereka yang bersusah payah menyumbang ide atau saran kepada perusahaan.
2. Survei kepuasan pelanggan (customer satisfaction survey)
Tingkat keluhan disampaikan oleh konsumen tidak bisa disimpulkan secara umum untuk kepuasan konsumen pada umumnya. Umumnya penelitian mengenai kepuasan konsumen dilakukan melalui survey, melalui pos, elepon atau wawancara pribadi, mengirimkan angket-angket kosong ke orang-orang erentu. Melalui survai perusahaan akan memperole tyanggapan dan umopan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus memberikan tanda (signal positif) bahwa perusahaan menaruh perhatian terhaedap pelanggannya. Metde ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya :
a. Kepuasan yang dilaporkan secara langsung (directly reported satisfaction), yakni suatu pengukuran yang dilakukan secara langsung melalui pertanyaan, seperti ungkapan “seberapa puas saudara terhadap pelayanan PT. Phyrus Jaya, pada skala berikut : sangat puas, netral, puas, sangat tidak puas”
b. Ketidakpuasan yang irasakan (derived dissatisfaction), pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.
c. Analisis masalah (problem analysis), pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok.Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan.
d. Analisis pentingnya kinerja (informance-performance analysisis), cara ini diungkapkan oleh Martilla dan James dalam artikel yang dimuat dalam jurnal of marketing pada bulan Januari 1977, mereka diminta me-rangking berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu diminta me-rangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen/atribut tersebut.
3. Pembeli bayangan (guest shopping), perusahaan menyuruh orang tertentu pada perusahaan rtertentu atau perusahaannya sendiri untuk berperan sebagai pembeli/pelanggan ptensial produk perusahaan dan pesaing.
4. Analisis pelanggan yang beralih (lost customer analysis), perusahaan yang kehilangan langganan mencoba menmghubungi langganan tersebut dengan cara membujuk kenapa dia tidak menjadi pelanggan lagi. Yang diharapkan adalah diperolehnya informasi tentang penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi yang diperoleh akan sangat bermanfaat bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan.
Hal-hal yang menyebabkan timbulnya ketidakpuasan konsumen (Alma, 2000:233), antara lain :
1. Tidak sesuai harapan dengan kenyataan yang dialami
2. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan
3. Perilaku personil kurang menyenangkan
4. Suasana dan kndisi fisik lingkungan tidak menunjang
5. Biaya terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang, harga terlalu tinggi
6. Promosi atau iklan terlalu muluk, tidak sesuai dengan kenyataan.

Penggolongan Kelas Hotel dan Kriteria Penggolongan Kelas Hotel

Penggolongan atau jenis-jenis hotel dijelaskan oleh United States Lodging Industry dalam Sulastiono (2001:26) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Residential Hotel, adalah hotel dimana wisatawan tinggal lama (menetap) dan biasanya bangunannya menyerupai apartemen , menyediakan layanan yang diperlukan oleh penghuni, tersedia pula ruang makan dan bar.

2. Transit Hotel, adalah hotel yang diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan untuk bisnis, sehingga sering disebut commercial hotel, hotel ini biasanya terletak di dalam kota atau dipusat-pusat perdagangan.

3. Resort Hotel, adalah hotel yang bisanya menampung orang-orang yang melakukan perjalanan untuk berlibur (weekend) dan biasanya terletak ditempat-tempat peristirahatan seperti di pegunungan dan di daerah pantai.

Menurut Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No KM.3/HK.001/MKP.02 tentang penggolongan kelas hotel, hotel di Indonesia menurut jenisnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : golongan kelas hotel berbintang dan golongan hotel kelas melati. Golongan kelas hotel menurut peraturan ini dapat dibedakan menjadi lima perjenjangan kelas, yaitu : hotel bintang satu sampai dengan hotel bintang lima. Golongan kelas hotel dapat ditingkatkan dan diturunkan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Setiap hotel berbintang maupun hotel melati dapat diberikan penghargaan (award) tambahan setelah memenuhi persyaratan dasar dalam kriteria penggolngan kelas hotel, yaitu “hotel berlian”. Dengan dikeluarkannya peraturan terbaru ini, maka akan ada hotel melati dengan kategori berlian, karena memenuhi persyaratan tambahan yang telah ditetapkan.

Adapun penghargaan tambahan tersebut meliputi aspek-aspek : (i) ramah lingkungan, (ii) sanitasi dan higiene, (iii) sumber daya manusia,(iv) penggunaan produk dalam negeri dan (v) pemberdayaan masyarakat sekitar.

Kriteria penggolongan kelas hotel menurut KEPMEN No KM.03/HK 001/MKP.02 dibagi menjadi dua, yaitu: atas dasar panilaian persyaratan dasar, dan atas dasar penilaian persyaratan teknis operasional.

1. Persyaratan dasar, merupakan unsur persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap hotel untuk dapat beroperasi. Unsur perlindungan publik ini diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyatakan dan kelayakan teknis operasional. Unsur ini meliputi:

a. Semua perijinan untuk suatu hotel, antara lain: ijin mendirikan hotel, dan usaha perhotelan.

b. Kelayakan teknis instalasi atau peralatan yang digunakn hotel, antara lain: lift dan instalasi listrik.

c. Sanitasi dan hygiene, pemeriksaan kualitas dan kuantitas air, pemeriksaan yang berkaitan dengan pengolahan makanan (food processing). Termasuk pemeriksaan kesehatan karyawan pengolahan makanan, sistem penyimpanan makanan/minuman.

2. Persyaratan teknis perasional, merupakan unsur persyaratan yang akan membentuk kualitas produk hotel dalam upaya pencapaian golongan kelas hotel. Unsur ini terdiri dari unsur (i) fisik, (ii) pengelolaan dan (iii) pelayanan, masing-masing unsur akan mempunyai persyaratan mutlak maupun tambahan. Persyaratan mutlak merupakan unsur yang harus dipenuhi sebagai persyaratan pokok bagi hotel untuk mendapatkan golongan kelas hotel bintang. Persyaratan tambahan merupakan unsur yang apabila dipenuhi akan memberikan nilai tambah untuk mencapai status golongan kelas lebih tinggi.

Pengertian Wisatawan

Menurut Undang-undang no 10 thn 2009 tentang kepariwisataan disebutkan wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. Sedangkan Sihite (2000:49) pengertian wisatawan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Wisatawan nusantara adalah wisatawan dalam negri atau wisatwan domestik.

2. Wisatawan mancanegara adalah warga negara suatu negara yang mengadakan perjalanan wisata keluar lingkungan dari negaranya (memasuki negara lain).

Menurut IUOTO (International Union of Official Travel Organization), dalam Gamal Suwantoro (2009:4) menggunakan batasan mengenai wisatawan secara umum: pengunjung (visitor) yaitu setiap orang yang datang ke suatu negara atau tempat tinggal lain dan biasanya dengan maksud apapun kecuali untuk melakukan pekerjaan yang menerima upah. Jadi ada dua kategori mengenai sebutan pengunjung, yakni:

1. Wisatawan (tourist) adalah pengunjung yang tinggal sementara, sekurang-kurangnya 24 jam di suatu negara. Wisatawan dengan maksud perjalanan wisata dapat digolongkan menjadi :

a. Pesiar (leisure), untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, study, keagamaan, dan olahraga.

b. Hubungan (relationship), dagang, sanak saudara, kerabat, MICE, dsb.

2. Pelancong (ekscursionist) adlah pengunjung sementara yng tinggal dalam suatu negara yng dikunjungi dalam waktu kurang dari 24 jam.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa wisatawan adalah orang-orang yang melakukan kegiatan perjalanan dengan tujuan memperoleh kesenangan, tidak untuik bekerja, menetap, dan mencari nafkah.

Rabu, Oktober 28, 2009

NILAI PELANGGAN

Kotler (2000) mendefinisikan total customer value sebagai kumpulan manfaat yang diharapkan diperoleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Pembeli akan membeli dari perusahaan yang mereka anggap menawarkan customer delivered value yang tertinggi. Customer delivered value merupakan selisih antara total customer value atau jumlah nilai bagi pelanggan dan total customer cost. Total delivered value terdiri dari dua dimensi utama yaitu benefit atau total customer value. Gambar 2.1 menunjukkan total customer value meliputi nilai produk, nilai pelayanan, nilai citra dan nilai karyawan. Dan kedua total customer cost meliputi biaya moneter, biaya waktu, biaya tenaga dan biaya psikologikal.
Berdasarkan teori yang sudah dikembangkan baik SERVQUAL dan SERVPERF, maka penelitian mi mencoba menggulirkan konsep Perceived value untuk mengukur kepuasan pelanggan. Konsep ini lebih relevan dalam mengukur kepuasan pelanggan, karena merupakan selisih antara manfaat yang diterima dengan biaya yang dibayarkan konsumen. Berdasarkan konsep ini, konsumen akan puas jika manfaat yang diterima lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Dimensi dari total customer value terdiri dari 4 komponen:
Nilai produk merupakan keunggulan atau kelebihan jasa dibandingkan jasa yang ditawarkan pesaing.
1. Nilai karyawan merupakan segi sumber manusia dari perusahaan yang menawarkan jasa kepada konsumen.
2. Nilai pelayanan merupakan pelayanan yang diberikan perusahaan ketika menawarkan jasanya kepada konsumen.
3. Image merupakan kesan yang diperoleh konsumen terhadap jasa yang ditawarkan perusahaan. Dimensi biaya terdiri-dari 4 komponen yaitu;
a. Biaya moneter adalah harga nominal yang harus dibayarkan konsumen untuk memperolehjasa tersebut.
b. Biaya waktu adalah banyaknya waktu yang dibutuhkan konsumen untuk berinteraksi dengan perusahaan j asa.
c. Biaya tenaga adalah pengorbanan secara fisik berupa tenaga yang harus dikeluarkan konsumen untuk memperoleh jasa tersebut.
4. Biaya psikologis adalah pengorbanan secara psikologis yang dirasakan konsumen untuk memperoleh dan menikmati jasa tersebut.

Perceived Value

Parasuraman, Zeithami dan Berry (1985,1988) menyatakan bahwa tingginya kualitas jasa yang diterima konsumen akan mampu meningkatkan kepuasannya. Hal ini didukung Cronin dan Taylor (1992) bahwa kepuasan konsumen akan dipengaruhi oleh tingkat kualitas jasa yang mereka terima dan disempurnakannya lagi bahwa kinerja suatu jasa akan menjadi faktor penentu kepuasan konsumen. Assael (1998) mengatakan bahwa konsumen lebih berorientasi pada nilai atau value yaitu kondisi dimana konsumen melihat harga lebih pada nilai yang dimilikinya. Pendapat serupa dikemukan oleh Zeithami (1998) yang mendefinisikan perceived value sebagai penilaian konsumen secara keseluruhan terhadap kegunaan suatu produk atau jasa berdasarkan persepsi atas apa yang telah diberikan dan atas apa yang telah didapat. Perceived value merupakan trade off antara evaluasi pelanggan terhadap benefits dan costs dari jasa yang digunakannya (Bolton dan Drew 1991). Penilaian pelanggan terhadap value tergantung pada pengorbanan (biaya moneter dan non moneter yang berhubungan dengan penggunaan jasa) dan kerangka referensi dari pelanggan (Zeithami 1988; Bolton dan Drew 1991).

HARAPAN PELANGGAN

Harapan pelanggan diyakini mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan pelanggan. Pada dasarnya ada hubungan yang erat antara penentuan kualitas dan kepuasan pelanggan. Dalam mengevaluasinya, pelanggan akan menggunakan harapannya sebagai standar atau acuan. Dengan demikian, harapan pelangganlah yang melatarbelakangi mengapa dua organisasi pada bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh pelanggannya. Dalam konteks kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya (Zeithami, et al, 1993). Pengertian ini didasarkan pada pandangan bahwa harapan merupakan standar prediksi. Selain standar prediksi, ada pula yang menggunakan harapan sebagai dari ideal.
Umumnya faktor-faktor yang menentukan harapan pelanggan meliputi kepatuhan pribadi, pengalaman masa lampau, rekomendasi dan mulut ke mulut dan an. Zeithami, et al. (1993) melakukan penelitian khusus dalam sektor jasa dan mengemukakan bahwa harapan pelanggan terhadap kualitas suatu jasa terbentuk oleh beberapa faktor berikut:
1. Enuring Service Intensifiers
Faktor in'i merupakan faktor yang bersifat stabil dan mendorong pelanggan untuk meningkatkan sensitivitasnya terhadap jasa. Faktor mi meliputi harapan yang disebabkan oleh orang lain dan filosofi pribadi seseorang tentang jasa. Seorang pelanggan akan berharap bahwa ia patut dilayani dengan balk pula apabila pelanggan lainnya dilayani dengan baik oleh pemberi jasa. Selain itu, filosofi individu (misninya seorang nasabah bank) tentang bagaimana memberikan manfaat yang benar akan menentukan harapannya pada sebuah bank.
2. Personal Needs
Kebutuhan yang dirasakan seseorang mendasar bagi kesejahteraannya juga sangat menentukan harapannya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisik, sosial dan psikologis.
3. Transitory Service Intensifiers
Faktor ini menipakan faktor individual yang bei sifat sementara (jangka pendek) yang meningkatkan sensitivitas pelanggan terhadap jasa. Faktor ini meliputi;
• Situasi darurat pada saat pelanggan sangat membutuhkan jasa dan ingin perusahaan bisa membantunya.
• Jasa terakhir yang dikonsumsi pelanggan dapat pula menjadi acuannya untuk menentukan baik-buruknya jasa berikutnya.
4. Perceived service Alternatives
Perceived service alternatives menipakan persepsi pelanggan terhadap tingkat atau derajat pelayanan perusahaan lain yang sejenis. Jika konsumen memiliki beberapa alternatif, maka harapannya terhadap suatu jasa cenderung akan semakin besar.
5. Self Perceived service Roles
Faktor ini adalah persepsi pelanggan tentang tingkat atau derajat keterilibatannya dalam mempengaruhi jasa yang diterimanya. Jika konsumen terlibat dalam proses pemberian jasa dan jasa yang terjadi temyata tidak begitu baik, maka pelanggan tidak bisa menimpakan kesalahan sepenuhnya pada si pemberi Jasa. Oleh karena itu, persepsi tentang derajat keterlibatannya ini akan mempengaruhi tingkat jasa yang bersedia diterimanya.
6. Explicit Service Promises
Faktor ini merupakan pernyataan (secara personal atau nan personal) oleh organisasi tentang jasanya kepada pelanggan. Janji mi bisa berupa ikian, personal selling, perjanjian atau komunikasi dengan karyawan organisasi tersebut.
7. Implisit Service Promises
Faktor ini menyangkut petunjuk yang berkaitan dengan jasa, yang memberikan kesimpulan bagi pelanggan tentang jasa yang bagaimana yang seharusnya dan yang akan diberikan. Petunjuk yang memberikan gambaran jasa ini meliputi biaya untuk memperolehnya (harga) dan alat-alat pendukung jasanya. Pelanggan biasanya menghubungkan harga dan peralatan (tangible assets) pendukung jasa dengan kualitas jasa. Harga yang mahal dihubungkan secara positif dengan kualitas yang tinggi.
8. Word of Mouth
Word of Mouth merupakan pernyataan (secara personal atau non personal) yang disampaikan oleh orang lain selain organisasi (service provider) kepada pelanggan. Word of Mouth ini biasanya cepat diterima oleh pelanggan karena yang menyampaikannya adalah mereka yang dapat dipercayaiiiya. Di samping itu, word of mouth juga cepat diterima sebagai referensi karena pelanggan jasa biasanya sulit mengevaluasi jasa yang belum dibelinya atau belum dirasakannya sendiri.
9. Past Experience
Pengalaman masa lampau meliputi hal-hal yang telah dipelajari atau diketahui pelanggan dari yang pernah diterimanya dl masa lalu.
Harapan-harapan pelanggan ini dari waktu ke waktu berkembang, selring dengan semakin banyaknya informasi (nonexperimential information) yang diterima pelanggan serta semakin bertambahnya pengalaman pelanggan. Pada gilirannya, semua ini akan berpengaruh terhadap tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan.

Selasa, Oktober 27, 2009

KONSEP KUALITAS JASA

Persaingan yang semakin kompetitif di industri jasa msnyebabkan industri jasa tersebut diharuskan menerapkan cara-cara atau strategi yang menguntungkan untuk mendeferensiasikan diri mereka terhadap pesaing. Salah satu strategi yang dapat menunjang keberhasilan bisnis dalam industri jasa ini adalah dengan menawarkan jasa dengan kualitas tinggi (Parasuraman, Zeithami dan Berry, 1985). Suatu industri jasa yang memiliki kualitas jasa yang tinggi akan menjadi prasyarat bagi keberhasilan bisnis pada saat ini dan yang akan datang.

Tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa tidak seperti kualitas barang yang dapat digambarkan dan diukur secara obyektif dengan beberapa indikator seperti keawetan dan jumlah kerusakannya, kualitas jasa secara luas tidak mudah terdefinisikan (Garvin, dalam Lovelock, 1994). Penelitian Berry yang dikutip oleh Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1985), kualitas jasa adalah sebuah konsep yang sulit dipahami dan kabur maka seringkali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat kualitas sebagai goodness atau luxury ataupun weight. Sehingga kecermatan dalam pengukuran kualitas jasa juga menghadirkan masalah bagi peneliti sehingga mereka sering menggunakan definisi dan dimensi yang berlebihan dalam mengungkap konsep ini (Cronin dan Taylor, 1992; Gotlieb, Grewal dan Brown, 1994; Tavlor dan Baker, 1994).

Terdapat tiga karakteristik jasa yang harus dicermati untuk memahami konsep kualitas jasa secara menyeluruh (Parasuraman, Zeithami dan Berry, 1985,1988). Ketiga karakteristik yang dimaksud adalah:

1. Jasa adalah tidak berwujud (intangibility). Karena wujud jasa merupakan kinerja dari suatu obyek, maka ketepatan dan keseragaman spesifikasi dalam pabrikasi seringkali tidak berwujud dalam satu kesatuan. Umumnya jasa tidak dapat dihitung, diukur, disimpan, dirasakan dan dibuktikan dalam peningkatan penjualan sebagai jaminan atas kualitasnya. Mengingat sifat ketidakterwujudannya tersebut maka perusahaan jasa seringkali menemukan kesulitan untuk mengetahui bagaimana konsumen mempersepsikan jasa mereka dan mengevaluasi kualitasnya (Zeithami, Parasuraman, dan Berry, 1985).

2. Jasa terutama yang padat karya adalah heterogen (heterogenity): kinerja mereka sering bervariasi dari produsen satu ke produsen lain, dari konsumen satu ke konsumen lain. Konsistensi perilakujasa sulit untuk dijamin, karena itu apa yang dikirimkan perusahaan kepada konsumen mungkin secara keseluruhan berbeda dari apa yang diterima konsumen.

3. Proses yang terjadi di antara produksi dan konsumsi jasa tidak biasa dipisahkan (inseparatibility of production and consumption). Sebagai konsekuensinya kualitas jasa tidak dibuat dilokasi pabrikasi kemudian baru dikirimkan secara utuh kepada konsumen. Dalam suatu jasa yang padat karya, kualitas muncul selama proses pengiriman yang biasanya terjadi dalam sebuah interaksi antara konsumen dan personal perusahaan jasa (Garvin, dalam Lovelock, 1994), Perusahaan jasa bisa kehilangan kontrol manajerial atas kinerja jasanya dalam situasi konsumen berpartisipasi secara aktif dan intern karena konsumen akan mempengaruhi proses tersebut. Dalam situasi seperti itu, masukan konsumen menjadi elemen penting yang akan mempengaruhi kinerja suatu jasa.

Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1988) menyarankan tiga tema pokok dalam menentukan kualitas jasa, yaitu: (i) bagi konsumen kualitas jasa adalah sulit diukur dibandingkan dengan kuatitas barang; (ii) persepsi terhadap kualitas jasa adalah hasil dari perbandingan antara apa yang diharapkan konsumen dengan kinerja jasa yang sesungguhnya; (iii) evaluasi terhadap kualitas jasa bukan hanya pada hasil jasa semata, melainkan juga mencakup evaluasi terhadap proses pengirimannya.

SERVQUAL (service quality) secara formal didefinisikan Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1985) sebagaimana dipersepsikan pelanggan sebagai perbandingan dan perbedaan secara langsung antara persepsi jasa bagi pelanggan dan harapannya. Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1985, 1988) membagi dalam 10 dimensi, yaitu:

1. Tangibles adalah penampilan fasilitas fisik, peralatan. personil dan komunikasi personal.

2. Realibility adalah kemampuan menjalankan jasa yang dinginkannya secara akurat.

3. Responsiveness adalah kesediaan membantu pelanggan dan menyediakan jasa yang tepat.

4. Assurances adalah jaminan yang diberikan penyedia jasa kepada pelanggannya.

5. Emphaty merupakan pengertian penyedia jasa terhadap perasaan pelanggannya.

Meskipun SERVQUAL alat yang teruji validitas dan reliabilitasnya untuk mengukur kualitas jasa namun ada 3 masalah potensial yang muncul (Clow dan Kurtz, 1998):

1. SERVQUAL mengukur harapan pelanggan terhadap perusahaan ideal dalam suatu industri jasa tertentu sehingga memperlebar gap antara penyedia jasa ideal yang diharapkannya dengan penyedia jasa aktual yang diterimanya. Hal ini karena ketika konsumen jasa menentukan pilihannya maka harapannya adalah jasa yang diterimanya terbaik dan memenuhi semua harapan dan keinginannya sehingga ketika jasa yang diterimanya kurang dari harapannya maka ada kesenjangan kekecewaan pada diri konsumen jasa tersebut.

2. SERVQUAL adalah generic (umum) dan tidak- mengukur variabel dalam suatu industri tertentu, Serqual signifikan pada 2 industri (pest control dan fast food) sedangkan Servperf signifikan pada 3 industri: banking, pest control and dry cleaning (Cronm dan Taylor 1994). Sehingga berimplikasi perlunya alat pengukur kualitas jasa yang disesuaikan dengan bidang jasa tertentu.

3. Metodologi gap yang digunakan untuk mengukur tingkat kualitas jasa menimbulkan bias tanggapan konsumen karena pengukuran harapan konsumen dilakukan setelah mengkonsumsi Jasa (Clow danVorlves 1993).

Sementara itu Cronin dan Taylor (1992) menyatakan bahwa dalam ketiadaan ukuran yang obyektif sebuah pendekatan yang tepat untuk memperkirakan kualitas dari suatu perusahaan jasa adalah dengen mengukur kineija dari jasa yang dikonsumsi oleh konsumen.

SERVPERF: Pengukuran Kualitas Jasa berdasarkan Kinerja. Prosedur dalam pengembangan skala SERVQUAL dilakukan dengan mengukur validitas dari 22 item skala. Namun demikian bagaimana ukuran kualitas jasa harus disusun dan apakah ke 22 item menggambarkan kelima dimensi kualitas jasa masih menjadi masalah (Cronin dan Taylor, 1992). Dalam kenyataannya banyak bukti yang menyebutkan bahwa gambaran kelima yang ada tidak konsisten bila digunakan untuk analisis cross-sectional (Carman, 1990). Carman menemukan beberapa dari item yang ada tidak mengandung komponen yang sama ketika dibandingkan di antara berbagai jasa yang berbeda.

SERVPERF (service performance) merupakan pengukuran kualitas jasa berdasarkan kinerja yang dikembangkan Cronin dan Taylor (1992) yang menyatakan bahwa ukuran kualitas jasa merupakan kinerja dari jasa yang diterima oleh konsumen itu sendiri karena konsumen hanya akar. dapat merasakan dan menilai kualitas jasa dari jasa yang benar-benar mereka rasakan bukan pada persepsi mereka atas kualitas jasa pada umumnya.

Kinerja jasa merupakan perbaikan atau penyempumaan dari teori SERVQUAL dan salah satu keunggulan SERVPERF merupakan keefisienannya dibandingkan skala SERVQUAL karena 50 % item dari 44 menjadi 22 dan SERVPERF lebih konsisten (Cronin dan Taylor 1992). Kritik utama terhadap SERVQUAL yang menggunakan metodologj gap, dicoba diperbaiki oleh SERVPERF yang mengukur kualitas jasa hanya berdasarkan kinerjanya saja. Parasuraman, Zeithami dan Berry (1988) juga membedakan antara persepsi dengan harapan, Persepsi merupakan kenyakinan konsumen atas jasa yang mereka terima dalam mengkonsumsi jasa. Sedangkan harapan ialah keinginan konsumen yaitu tentang apa yang mereka inginkan dan harus ditawarkan oleh penyedia jasa. Hal ini dikritik Teas (1993) mestinya tidak menggunakan kata harus tetapi seharusnya. Taylor selain memperkenalkan SERVPERF bersama Baker (1994) juga mengemukakan perbedaan kunci antara kualitas dan kepuasan konsumen sebagai berikut:

1. Dimensi kualitas jasa lebih spesifik dibanding dimensi kepuasan konsumen.

2. Harapan terhadap kualitas jasa didasarkan persepsi ideal keunggulan jasa sedangkan kepuasan konsumen berdasar beberapa isu yang mungkin tidak unggul. Hal ini dikarenakan hal-hal yang membuat konsumen puas atau tidak bersifat subyektif dan setiap orang mempunyai sebab-sebab kepuasan yang mungkin bagi orang lain hal tersebut tidak mempengaruhi kepuasannya.

3. Persepsi terhadap kualitas jasa tidak membutuhkan pengalaman dengan penyedia jasa sedangkan kepuasan konsumen memerlukan pengalaman dengan penyedia jasa. Pada dasamya SERVPERF tidak berbeda skalanya dengan SERVQUAL yaitu terdiri dari 5 dimensi utama Tangibles, Reliability. Responsiveness, Assurance, dan Emphaty tetapi menggunakan 22 item performance dan menghilangkan 22 item expectation

Perubahan Sumber-sumber Pendanaan Terhadap Perubahan Laba Bersih Perusahaan Sektor Hotel dan Travel Service di Bursa Efek Indonesia

Oleh : I Made Bayu Wisnawa, A.Par, MM
Yth. Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VIII
Ketua Aptisi
Ketua Yayasan Triatma Surya Jaya
Direktur AKPAR Triatma Jaya selaku Ketua Senat beserta seluruh Anggota Senat AKPAR Triatma Jaya
Para Undangan Perguruan Tinggi Swasta se-Bali
Direktur, Pimpinan dan Dosen Yayasan Triatma Surya Jaya
Para Undangan dari Industri Pariwisata
Kepala Cabang Bank Niaga Denpasar
Kepala Cabang Bank Bukopin Denpasar
Kepala Cabang Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Denpasar
Seluruh Civitas Akademika AKPAR Triatma Jaya
Seluruh Wisudawan/Wisudawati beserta keluarga
Seluruh hadirin yang berbahagia

Om Swastiastu,
Salam Sejahtera untuk Kita Semua,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Mengawali orasi ilmiah ini, marilah kita panjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat-Nya lah, kita dapat berkumpul bersama untuk menghadiri rapat senat terbuka dalm rangka Wisuda VIII AKPAR Triatma Jaya.
Dalam perjalanan karir akademis, merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi saya untuk dapat menyampaikan orasi ilmiah di hadapan para undangan yang berbahagia. Oleh karenanya, saya mengucapakan terimakasih kepada yang terhormat Senat AKPAR Triatma Jaya atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan orasi ilmiah pada hari ini.
Orasi ilmiah pada hari ini berjudul ” Pengaruh Perubahan Sumber-sumber Pendanaan Terhadap Perubahan Laba Bersih Perusahaan Sektor Hotel dan Travel Service di Bursa Efek Indonesia”. Judul ini kami ambil dengan alasan ketertarikan untuk mengamati kinerja perusahaan yang bergerak di bidang hotel dan travel service dalam mencapai laba bersih yang optimal dengan memperhatikan perubahan sumber-sumber pendanaannya.

Hadirin yang saya hormati,
Perkembangan dunia usaha, khususnya pariwisata di Indonesia dewasa ini sudah banyak mengalami perbaikan-perbaikan menuju kebangkitan perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk akibat krisis ekonomi dan ketidak stabilan politik. Kondisi perekonomian Indonesia yang semakin membaik tercermin pada makin maraknya perusahaan-perusahaan yang berdiri dan ikut serta dalam pasar modal, hal ini disebabkan karena daya beli masyarakat sudah mulai pulih yang mengakibatkan permintaan akan barang dan jasa juga semakin meningkat. Tingkat bunga yang menurun juga mendukung ke arah perbaikan ekonomi dan hal ini menggairahkan kembali pasar modal di Indonesia sebagai salah satu instrumen ekonomi yang menyediakan sumber-sumber pendanaan bagi perusahaan – perusahaan.
Perekonomian Indonesia sampai saat ini masih dalam proses untuk mencapai keadaan yang di cita-citakan. Setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 dan gejolak politik, pemerintah terus berusaha memperbaiki keadaan ekonomi melalui berbagai macam kebijakan kebijakan. Kondisi ekonomi saat ini sudah mulai membaik dimana iklim investasi di Indoneia sudah mulai bergairah.
Meskipun suku bunga deposito pada tahun 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan trend meningkat, yakni 7,43%, 9,18% dan 11,83% akan tetapi pada akhir periode tahun 2006 yakni pada bulan desember menunjukkan penurunan yakni 9,50%. Hal ini menunjukkan pemerintah berupaya untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada pasar modal di Indonesia yang semakin bergairah tercerminpada perkembangan jumlah emiten yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia terus mengalami peningkatan. Jumlah emitent, emisi saham dan nilai emisi saham terus meningkat dari tahun 2004 s/d tahun 2006 yang menunjukkan iklim investasi semakin bergairah. Kondisi ini mencerminkan kegiatan ekonomi di Indonesia mengalami peningkatan .
Pariwisata merupakan satu sektor yang berperan dalam meningkatan perekonomian di Indonesia. Hal ini disebabkan karena sektor pariwisata mampu menjadi motor perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja dan menghidupkan usaha kecil dan menengah. Namun demikian, sektor pariwisata memiliki kelemahan, yakni sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi. Tragedi bom di Bali I dan II menyebabkan perkembangan sektor pariwisata menjadi terhambat perkembangannya. Tabel menunjukkan perkembangan sektor pariwisata di Indonesia.
Tabel 1 Beberapa Indikator Perkembangan Pariwisata
2004 2005 2006
Jumlah Devisa (US$ Milyar) 4,80 4,52 4,45
Kontribusi Pariwisata thd Total Ekspor (%) 10,42 9,32 11,64
Kunjungan Wisman ke Indonesia (ribuan orang) 5.321 5.002 5.000
Sumber : Pusat Data dan Informasi Depbudpar (2006)
Dari data pada Tabel 1.1 diatas, dalam kurun waktu 2004 s/d 2006, dapat dilihat bahwa jumlah devisa yang diterima dari sektor pariwisata mengalami penurunan dari US$ 4,8 milyar, 4,5 milyar dan 4,45 milyar. Demikian juga kunjungan wisatawan mancanegara mengalami penurunan. Namun demikian kontribusi pariwisata terhadap total ekspor mengalami peningkatan pada tahun 2005-2006 yakni dari 9,32% menjadi 11,64%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sektor pariwisata secara umum mengalami pertumbuhan yang menurun tetap mampu memberikan kontribusi yang semakin meningkat terhadap perekonomian Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,
Untuk menjalankan suatu usaha setiap perusahaan yang berada pada suatu negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi/rendah tetap memerlukan analisa yang tepat untuk menentukan sumber pendanaan yang nantinya dapat membantu untuk menjalankan operasinya. Perusahaan memerlukan sejumlah dana, baik dana jangka pendek ataupun jangka panjang. Dewasa ini kebutuhan dana untuk membiayai pengeluaran perusahaan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Secara garis besar kebutuhan dana tersebut diperoleh dari dua sumber : intern dan ekstern, penyediaan sumber dana jangka pendek didapat dari pasar uang dan sumber dana jangka panjang dari sumber intern didapat melalui laba ditahan dan depresiasi, sedangkan penyediaan sumber dana jangka panjang yang berasal dari sumber eksternal berupa hutang jangka panjang atau modal saham (Keown, Scott, Martin dan Petty (1997)
Pencapaian laba bersih yang optimal merupakan salah satu tolak ukur yang penting bagi penilaian kinerja pengelola perusahaan, khususnya bagi manajer keuangan. Hal ini terkait dengan tujuan perusahaan (Martono & Harjito, 2001) yaitu : (i) Mencapai atau memperoleh laba maksimal untuk kemakmuran pemilik perusahaan, (ii) Menjaga kelangsungan hidup perusahaan (going concern) dan (iii) Mencapai kesejahteraan masyarakat sebagai tanggung jawab sosial. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba yang meningkat akan meningkatkan harga saham (Husnan, 1994).
Untuk mencapai laba bersih yang optimal, maka sungguh merupakan suatu hal yang cukup mendasar bagi pengelola perusahaan untuk mampu menganalisa sejauh mana pengaruh perubahan sumber-sumber pendanaan terhadap perubahan laba bersihnya, karena perubahan sumber-sumber pendanaan akan mempengaruhi perusahaan dalam melakukan aktivitasnya (Gill & Chatton : 2003)
Industri sektor hotel dan travel service merupakan perusahaan yang memanfaatkan keberadaan pasar modal untuk mendapatkan sumber dana untuk mendukung aktivitasnya dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaannya



Hadirin yang saya hormati,
Dalam orasi ilmiah ini kami bermaksud ingin menyampaikan hasil penelitian kami mengenai pengaruh variabel independen sumber-sumber pendanaan perusahaan, yakni hutang jngka pendek, hutang jangka panjang, modal saham, laba ditahan dan depresiasi terhadap variabel dependen laba bersih perusahaan.
Baumol, Heim, malkiel dan Quandt (dalam Ichsanuddin Nur, 1997 : 14), dengan berbagai perlakuan ukuran pada sumber-sumber pendanaan dan risiko pada perusahaan industri tape recorder di Inggris, ternyata sumber-sumber pendanaan seperti : hutang jangka pendek, hutang jangka panjang, modal dan laba ditahan memiliki pengaruh terhadap laba bersih perusahaan.
Whittington (dalam Muniroh Said, 1996 :16), dalam penelitiannya mengenai profitbilitas laba ditahan pada perusahaan manufaktur dan distribusi di Inggris , menemukan bahwa terdapat pengaruh pertumbuhan eksternal, pertumbuhan asset dan laba ditahan terhadap Return on Assets perusahaan dimana laba di tahan kurang menguntungkan di bandingkan sumber pendanaan eksternal.
Weston dan Copeland (1992) mengemukakan bahwa ukuran yang didasarkan atas asset perusahaan sebagai denominator (pembagi) mencerminkan rasio yang didasarkan atas praktek pengukuran akuntansi tradisional. Dimana ukuran berdasarkan atas historical cost. Sudut pandang di atas terkadang kurang tepat bila manajemen melakukan analisis untuk mengetahui dampak perubahan (penambahan atau pengurangan) sumber dana terhadap kinerja perusahaan (dalam hal ini dilihat dari perubahan profitnya). Salah satu cara untuk mengukur efektifitas dari keputusan manajemen untuk merubah sumber dana (baik dari segi kombinasi atau jumlahnya) terhadap laba perusahaan adalah melalui analisis incremental atau marginal. Analisis ini dapat secara tepat mencerminkan nilai incremental, artinya besarnya biaya atau manfaat yang timbul oleh karena adanya pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen.
Dalam kondisi tertentu, peralatan atau mesin yang relatif lama kadang kala dapat diperbaiki dan berfungsi sebagai mesin baru. Namun dalam neraca, perbaikan ini hanya mencerminkan sejumlah biaya yang relatif rendah dalam depresiasi netto. Hal ini menyebabkan tingginya profitabilitas perusahaan yang bersangkutan. Pengunaan rasio yang didasarkan pada asset perusahaan dalam kondisi ini menjadi kurang akurat, dan sulit untuk dilakukan perbandingan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama.
Weston dan Copeland (1995),Penggunaan konsep marginal lebih tepat untuk menganalisa keputusan manajemen untuk merubah sumber dana (baik dari segi kombinasi atau jumlahnya) terhadap laba perusahaan. Analisis ini dapat secara tepat mencerminkan nilai incremental , artinya besarnya biaya atau manfaat yang timbul oleh karena adanya pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen dari pada penggunaan analisa rasio. Sehingga dari fenomena tersebut nemunculkan permasalahan penelitian. Mengacu pada masalah yang ada, diperlukan metodologi penelitian yang tepat mulai dari identifikasi variabel, definisi operasional, penentuan sampel, pengumpulan data dan teknik analisis yang sesuai.


Hadirin yang kami hormati,
Pertumbuhan penjualan atau profit perusahaan pada periode yang akan datang dengan perubahan sumber-sumber pendanaan bersifat dua arah (Husnan,2004), dimana hal ini tergantung dari sudut pandang mana analisis akan dilakukan. Artinya pertumbuhan penjualan atau profit dimasa yang akan datang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumber dana perusahaan tergantung dari sudut pandang analisis dan tujuan analisis.
Weston dan Copeland (1992) dan Husnan (2004) mengemukakan pada akhirnya penentuan tingkat hutang (leverage) dan modal akan mempenaruhi profit perusahaan periode mendatang.Karena pada hakekatnya perubahan baik jumlah maupun komposisi sumber-sumber pendanaan mencerminkan keputusan investasi atau divestasi dari pemilik modal dan atau kebijakan penentuan hutang oleh manajemen berkaitan dengan expected return.

Hadirin yang kami mulyakan,
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis terhadap perusahaan sektor hotel dan travel service pada Bursa Efek Indonesia, yang secara kontinyu terdaftar selama sepuluh periode (1993-2002) seperti Tabel 2 berikut :
Tabel 2 Perusahaan Jasa Perhotelan dan Travel Service Yang Konsisten Memiliki Laporan Keuangan Dari Tahun 1993 – 2002

Nomor Nama Perusahaan
PT. Bayu Buana Travel Service Tbk.
PT. Sahid Jaya Hotel Tbk.
PT. Hotel Prapatan Tbk.
PT. Plaza Indonesia Realty Tbk.
PT. Sona Topas Tourism Industry Tbk.
Sumber : Laporan keuangan masing-masing perusahaan yang ada di BEJ sejak tahun 1993 hingga tahun 2002
Untuk menghasilkan data BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), (Gujarati,1999) dilakukan uji assumsi klasik yang meliputi uji multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, Dengan Teknik analisis statisitik inferensial multiple regression, diperoleh hasil seperti Tabel 3 berikut :


Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Pada Perusahaan Sektor Hotel dan Travel Service di BEI Periode 1993 – 2002

Variabel Bebas
Koefisien
Regresi t Sig Parsial
r
Perubahan :
Hutang Jangka Pendek (X1) 0,0938 0,4976 0,6216 0,0794
Hutang Jangka Panjang (X2) -0,0911 -2,0373 0,0484 -0,3101
Modal Saham (X3) 0,2567 0,6367 0,5280 0,1014
Laba Ditahan (X4) 0,5623 4,5265 0,0001 0,5869
Depresiasi (X4) 0,0328 0,8997 0,3738 0,1426
Konstanta 0,2898
R2 0,4175
F ratio 5,5914
Signifikansi 0,0006
Durbin Watson 1,5056
a. Dependent Variable: LABA BERSIH

Dengan interpretasi sebagai berikut :
1. Perubahan hutang jangka pendek berpengaruh secara positif tapi tidak signifikan, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan hutang jangka pendek tidak begitu menguntungkan bagi perusahaan.
2. Perubahan hutang jangka panjang pada umumnya berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap laba bersih, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan hutang jangka panjang akan dapat mengurangi laba bersih perusahaan.
3. Perubahan modal saham pada perusahaan perhotelan pada umumnya berpengaruh secara positif, tapi tidak signifikan.
4. Perubahan laba ditahan pada perusahaan perhotelan umumnya berpengaruh secara positif dan signifikan, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan laba ditahan akan menguntungkan perusahaan
5. Perubahan depresiasi berpengaruh positf tetapi tidak signifikan
6. Perubahan hutang jangka pendek, hutang jangka panjang, modal saham, laba ditahan dan depresiasi berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba bersih perusahaan jasa perhotelan, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber-sumber pendanaan tersebut dapat mempengaruhi penerimaan laba bersih yang akan diterima.


Hadirin yang kami mulyakan,
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan terdapat pengaruh perubahan sumber-sumber pendanaan terhadap perubahan laba bersih perusahaan sektor hotel dan travel service di Bursa Efek Indonesia. Dengan demikian, pengelola perusahaan sektor hotel dan travel service sebaiknya memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada hutang jangka panjang, jangka pendek, modal saham dan depresiasi untuk mampu memberikan hasil optimal terhadap pencapaian laba bersih perusahaan.
Hadirin yang berbahagia,
Orasi ilmiah ini saya akhiri dengan sebuah pengharapan, semoga orasi ilmiah ini mampu memberikan sebuah ide yang mampu memperkaya khasanah berfikir bagi seluruh civitas akademika maupun praktisi yang berkecimpung pada industri pariwisata.
Sekian, Terimakasih
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Salam Sejahtera untuk Kita Semua,
Wassalamualaikum Wr.Wb








Daftar Pustaka

Baumol, William J., and Peggy Heim, and Burton G. Malkiel, and Richard E.Quandt, (1970) Earning Retension, New Capital and The Growth of The Firm, The Review of Economics and Statistics. Vol.LII November, No.4, p. 345-355
Brigham, Eugene F.,and Louisse C. Gapenski (1985) financial Management : Theory and Practice. Fourth Edition, The Dryden Press International Edition, USA
Djodjosoedarso, Soesino (2003) Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Asuransi. Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta
Gitman, Lawrence J.(1994) Principle og Managerial Finance. Seventh Edition, Harper Collins College Publishers, New York.
Gujarati, D (2004) Ekonometrika Dasar, Diterjemahkan Oleh : Sumarno Zein,Erlangga, Jakarta.
Hanafi, Mamduh M., dan Abdul Halim (1996) Analisis Laporan Keuangan. Edisi Pertama, UPP)AMP YKPN, yogyakarta.
Herman Darmawi (1999) Manajemen Risiko. Edisi Kesatu, Cetakan Kelima, Bumi Aksara, Jakarta.
Husnan, Suad, (2004) Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi Kedua, AMP YKPN, Yogyakarta.
___________, (2004) Manajemen Keuangan - Teori dan Penerapan. (Investasi Jangka Panjang). Buku 2, Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta.
___________,(2004) Manajemen Keuangan ; Teori dan Penerapan. Buku 1, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta.
___________, (1994) Manajemen Keuangan ; Teori dan Penerapan. Buku 2, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta.
Munn’s, Glen G (1973) Encyclopedia of Banking and Finance. Seventh Edition, bankers Publishing, Boston.
Newman,P., Milgate,M, and John Eatwell (1997) The New Palgrave Dictionary of Money and Finance. Third Edition, MacMillan Press, New York –USA.
Wisnawa, I Made Bayu (2004) Pengaruh Perubahan Sumber-sumber Pendanaan Terhadap Perubahan Laba Bersih Perusahaan Sektor Hotel dan Travel Service.Jurnal Manajemen Pariwisata, Vol 4, Nomor 2 Desember 2005, hal 18-38
Riyanto, Bambang (1995) Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta.
Sartono, R., Agus (1995) Manajemen Keuangan. Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta.
Schall, Lawrence D., and Charles W.Halley (1988) Introduction to Financial Management. Fifth Edition, McGraw-Hill, Singapore.
Van Horne, James C (1994) Finance Management and Policy, Ninth Edition, Dryden Press.
Van Horne, James C (1996) Dasar-dasar Manajemen Keuangan, Diterjemahkan oleh : Marianus Sinaga, Edisi Keenam, Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Wisnawa, I Made Bayu (2004) Pengaruh Perubahan Sumber-sumber Pendanaan Terhadap Perubahan Laba Bersih Perusahaan Sektor Hotel dan Travel Service.Jurnal Manajemen Pariwisata, Vol 4, Nomor 2 Desember 2005, hal 18-38
Weston, J.Fred, and Thomas E. Copeland (1992) Managerial Finance. Eight Edition, Dryden Press.
Weston, J.Fred, and Thomas E. Copeland (1992) The Profitability of Retained Earnings. The review of Economics and Statistics, p 152-160.
Yuliati, Sri H, Handoyo Prasetyo dan Fandy Tjiptono (1996) Manajemen Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Pertama, Andi Offset, Yogyakarta.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : I Made Bayu Wisnawa, A.Par, MM
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/ 06 Desember 1975
Alamat : Br. Mendek, Desa Wanagiri Kauh, Kec. Bajera, Tabanan
Telp. 081353300610
Pendidikan :
1981 – 1987 : Pendidikan dasar di SDK Swastiastu I Denpasar, Bali
1987 – 1990 : Pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri I
Denpasar
1990 – 1993 : Pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri I
Denpasar
1993 – 1998 : Pendidikan diploma empat di Jurusan Pariwisata konsentasi
Manajemen Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua

2002 – 2004 : Pendidikan Pasca Sarjana di Program Pasca Sarjana
Magister Manajemen konsetrasi Manajemen Keuangan
Universitas Udayana
2008 – saat ini : Pendidikan Pasca Sarjana di Program Pasca Sarjana
Kajian Pariwisata Universitas Udayana

DAMPAK SOSIAL PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP MASYARAKAT LOKAL DI KAWASAN TANJUNG BENOA

Pembangunan Pariwisata

Garis - Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa, meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).

Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1999).

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak sosial- pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis.

Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.

Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).

Tanjung Benoa Dahulu dan Sekarang

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susiadi et al. pada tahun 2001, masyarakat Tanjung Benoa sekitar 17,01 % dari total usia kerja bermatapencaharian di sektor perikanan terutama perikanan penyu, pedagang perikanan ini terdiri dari beraneka suku di Indonesia (Bugis, Flores, Sulawesi, Madura, dan lain-lain) tetapi mayoritas (87,5 per sen) adalah suku Bali (Susiadi et al., 2001: 31 dan 36).

Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Krippen­dorf (1987) lebih lanjut melaporkan bahwa pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Burns and Holden (1995) juga menyebutkan bahwa pariwisata memberikan keun­tungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.

Dua puluh lima tahun lalu, desa ini terkenal sebagai desa nelayan yang miskin. Penduduknya hanya mengandalkan lahan kering sebagai mata pencaharian. Tanaman jagung, singkong dan kedelai adalah makanan sehari-hari warga Tanjung Benoa. "Dulu, tak ada yang mau tinggal di sini, meski diberi tanah secara gratis," ujar Lurah Tanjung Benoa I Wayan Dibia Adnyana kepada rombongan Kelompok Media Bali Post (Bali Post, Bali Travel News, Bali TV), baru-baru ini. Namun sekarang, katanya menambahkan, harga sejengkal tanah di sini mencapai ratusan ribu rupiah. ''Ya... paling murah Rp 100 juta untuk 100 meter persegi tanah, dan sulit mendapatkannya.''

Dulu, kawasan pesisir Tanjung Benoa tercatat sebagai wilayah miskin di Bali. Sampai-sampai ada orang yang malu mengaku berasal dari sana. Kini, kawasan ini telah menjadi salah satu daerah kaya di Bali dengan income utama masyarakatnya dari jasa pariwisata. Penghasilan bersih masyarakatanya -- setelah dipotong untuk kebutuhan sehari-hari -- paling rendah Rp 1.500.000/bulan, dua kali lipat dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Badung -- kabupaten terkaya di Bali -- yang hanya Rp 10.100.465,01/tahun (data statistik Kabupaten Badung tahun 2000).

Dilihat dari komposisi penduduknya, Kelurahan Tanjung Benoa termasuk wilayah yang sangat heterogen. Selain dihuni oleh sebagian besar etnis Bali, penduduk desa ini juga berasal dari Sulawesi dan Madura. Lebih-lebih belakangan ini, ketika pariwisata berkembang pesat di wilayah Tanjung Benoa, maka penduduknya tak hanya orang Indonesia, tetapi mereka datang dari seluruh penjuru dunia. Kini tidak hanya Kuta boleh memproklamasikan diri sebagai ''kelurahan internasional'', juga Tanjung Benoa. Bahkan, pernah dalam satu hotel, yaitu Club Mirage -- masuk kawasan wisata Tanjung Bnenoa -- dihuni wisatawan yang berasal dari 32 negara di dunia.

Selain heterogen, Kelurahan Tanjung Benoa juga memiliki keragaman agama: Hindu mayoritas, menyusul Buddha, Islam, Kristen dan Katolik. Di sana juga ada kelenteng, tempat ibadah kaum Kong Ho Chu. Melihat keunikan wilayah Tanjung Benoa sebagai salah satu resor wisata di Bali, Kelompok Media Bali Post mengangkat tema liputan Kawasan Tanjung Benoa sebagai liputan bersama. Kawasan ini diharapkan mampu berkembang lewat industri tak berasap, pariwisata ini. Bagaimana mereka berbenah diri sehingga tak muncul jadi daerah kumuh seperti kota-kota yang sedang berkembang lainnya di Bali dan Indonesia? Kami berusaha menghubungi pihak perencanaan kota di pemerintahan Kabupaten Badung. Kami juga mendapat summary dari Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Pesisir Pantai Tanjung Benoa. Yang jelas, di sana telah tersusun rencana masa depan Tanjung Benoa yang indah nan menawan.

Dibangunnya 12 hotel di kawasan eksklusif BTDC tahun 1980-an, memang sempat membuat para perencana kawasan ini bertanya-tanya, "Desa Tanjung Benoa yang menjadi tetangga utara BTDC akan diapakan?" Semula di Tanjung Benoa ini hanya diperkirakan cocok dibangun perumahan untuk menampung ribuan karyawan hotel yang bekerja di kawasan BTDC, di samping aktivitas wisata tirta kecil-kecilan. Kenyataannya 20 tahun kemudian, kawasan ini berkembang pesat. Tanah yang telah dikuasai investor kemudian dibangun hotel-hotel yang justru menjadi saingan BTDC.

Di kawasan ini sekarang, selain berdiri berbagai jenis hotel (melati, bintang 1, 2, 3, 4, 5, dan butik), atraksi wisata tirtanya yang terbesar dan terlengkap di Bali. Khusus wisata tirta BMR (Benoa Marine Recreation) -- ini yang mengagumkan -- sepenuhnya dikelola oleh penduduk.

Sisi baik dan buruk, positif dan negatif, memang sangat tipis batasnya manakala kita berbicara soal kepariwisataan. Ini terlihat juga di Tanjung Benoa. Dulu, akibat kurang terkendalinya pembangunan, sempat muncul kekumuhan di kawasan ini. Masyarakat membangun berbagai fasilitas kepariwisataan sekendak hati. Mereka tidak lagi mengikuti norma-norma aturan seperti tetangganya, BTDC. Dulu, Tanjung Benoa sama dan sebangun dengan Sanur, Kuta, Candidasa, Lovina, Seminyak, dan Legian.

Untung para pengusaha yang ada di lingkungan Tanjung Benoa cepat sadar, kemudian mereka membentuk Komite Tanjung Benoa tahun 1996. Tujuannya, selain untuk promosi bersama agar Tanjung Benoa sebagai resor wisata semakin dikenal, komite juga mengelola dan menata lingkungan sekitarnya. Masalah sampah dan kebersihan jadi sasaran utama pihak komite sehingga mampu mengubah suasana kumuh menjadi Tanjung Benoa yang bersih dan nyaman. Lalu, dibentuklah pasukan Green Team di masing-masing hotel.

Dampak Sosial Pariwisata

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:


Dampak terhadap sosial-ekonomi.

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:
1.
Dampak terhadap penerimaan devisa,

2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,

3. Dampak terhadap kesempatan kerja,

4. Dampak terhadap harga-harga,

5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,

6. Dampak terhadap kepemilikan dan control

7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan

8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.


Dampak Sosial Budaya

Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):

  1. Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
  2. Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
  3. Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.

Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.

Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’ (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).

Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:

  1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
  2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
  3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
  4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
  5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
  6. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
  7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
  8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
  9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
  10. Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.


Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.

Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):‘Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism’ (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan: “Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.

Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang” (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.

Analisis Dampak Sosial Pengembangan Pariwisata di Tanjung Benoa

Analisis Dampak Sosial Ekonomi

No

Indikator

Sebelum Pengembangan

Sesudah Pengembangan dan dampak

1

Dampak terhadap penerimaan devisa

Tidak ada penerimaan devisa

Ada penerimaan devisa dalam jumlah signifikan (dampak baik)

2

Dampak terhadap pendapatan masyarakat

Pendapatan rendah, dari menangkap ikan

Pendapatan tinggi, dari berbagai sumber (dampak baik)

3

Dampak terhadap kesempatan kerja

Kesempatan kerja rendah

Kesempatan kerja tinggi, disektor pariwisata (dampak baik)

4

Dampak terhadap harga-harga

Harga harga rendah

Harga harga tinggi (dampak kurang baik)

5

Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan

Manfaat belum ada

Lebih banyak manfaat daripada kerugian (dampak baik)

6

Dampak terhadap kepemilikan dan control

Dominan dikuasai masyarakat lokal

Dikuasai sebagian pendatang dan investor (dampak tidak baik)

7

Dampak terhadap pembangunan pada umumnya

Pembangunan fisik non fisik lambat

Pembangunan fisik non fisik cepat disertai pencemaran (dampak cendrung baik)

8

Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Sedikit

Banyak dan berlipat Ganda (dampak baik)

Analisis Dampak Sosial Budaya

No

Indikator

Sebelum Pengembangan

Sesudah Pengembangan dan dampak

1

Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya

Ketergantungan rendah dengan masyarakat luar, karena kebutuhan dan keinginan masih sedikit

Ketergantungan semakin tinggi karena kebutuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (dampak baik)

2

Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat

Hubungan sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian

Hubungan kurang erat akibat keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik)

3

Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial

Organisasi dengan manajemen tradisional

Organisasi cenderung mengarah pada manajemen modern (dampak baik)

4

Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata

Migrasi masih sedikit

Migrasi menjadi semakin banyak (dampak kurang baik)

5

Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat

Ritme kehidupan masih lambat

Ritme kehidupan meningkat (dampak baik)

6

Dampak terhadap pola pembagian kerja

Pembagian kerja masih sederhana

Pembagian kerja semakin kompleks (dampak baik)

7

Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial

Stratifikasi sangat kental khususnya pemilik tanah sangat dihormati

Persamaan derajat, seseorang dihormati atas dasar apa yang diperbuat, dan bukan atas dasar siapa orang tersebut (dampak baik)

8

Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan

Pengaruh kekuasaan terpusat

Kekuasaan terdistribusi dan terpecah (dampak baik)

9

Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial

Penyimpangan social rendah, masih tuduk pada norma adat

Penyimpangan sosial semakin tinggi karena lebih menekankan pada kebebasan individu (dampak kurang baik)

10

Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Kesenian dan adat istiadat masih sangat konvensional

Kesenian dan adat istiadat semakin berkembang (dampak baik)

Kesimpulan

Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri. Kondisi sosial masyarakat tanjung benoa berada dalam keadaan yang kondusif dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya, karena masyarakat tanjung benoa merasa bangga terhadap budaya yang mereka miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.

Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di Tanjung Benoa.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tanjung Benoa sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Tanjung Benoa. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di Tanjung Benoa. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Tanjung Benoa. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Tanjung Benoa memerlukan strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Tanjung Benoa ke depan akan mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan pariwisata di Tanjung Benoa.

Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local, Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :

Ø Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.

Ø Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.

Ø Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.

Ø Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor

Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi.. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.

DAFTARPUSTAKA

Anom, I Putu, 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.

Anom, I Putu, Michael Hitchcock and Sunarta I Nyoman. 2005. Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group. Paper Presented at “ 3rd Trans National Patners Meeting of the EU-ASEAN Project Building Research Capacity Pro Poor Tourism “Organized by National University of Laos Faculty of Forestry Department of Forest Management. April 4-7, 2005 in Vientiane Laos.

............. , Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.

............. , Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII.

Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah.

.................. , 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.

Bawa I Wayan, Ardika I Wayan, Suradnya I Made, Parimartha I Gede, Rai AA. Gede, Suratha I Ketut, Anom I Putu. 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.

Choy, Derrylow, 1997, Perencanaan Ekowisata, Belajar dari Pengalaman South East dalam Gunawan (ed) Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Prosedur Pelatihan dan Lokakarya, Penerbit ITB Bandung.

Colman, D, Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editur University of Manchester.

Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.

Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan R.I., 2006, Laporan Hasil Penelitian Pengembangan ODTW di Luar Jawa – Bali.

France, Lesley (ed), 1997, The earthscan Reader in Sustainable Tourism, London. Earthscan Publicitions Limited

Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.

Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.

Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.

Oka, A. Yoeti, 1982, Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Angkasa, Bandung

Paturusi, Syamsul Alam, 2001, Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.

Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York

Pitana, I Gede. 1991, Community Management dalam pembangunan Pariwisata, dalam Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999.

Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”,Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.

Sukarsa, dkk I Made., 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.

Wahab, Salah. 1999. Manajemen Kepariwisataan, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha.