Sabtu, Februari 04, 2012

Model Pengembangan Pariwisata Pedesaan Sebagai Alternatif Pariwisata Bali Berkelanjutan (3)




Pembangunan pariwisata pedesaan diharapkan menjadi suatu model pembangunan pariwisata berkelanjutan sesuai dengan kebijakan pemerintah di bidang pariwisata. Pembangunan berkelanjutan diformulasikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Adhisakti, 2000). Pembangunan dan pengembangan pariwisata yang telah dilakukan hendaknya mampu berkelanjutan dan dipertahankan di masa depan. Keberlanjutan pariwisata tidak mesti diwacanakan saja tanpa adanya suatu komitmen dari berbagai pihak untuk mempertahankan keberlanjutan alam, sosial ekonomi maupun budaya masyarakat sebagai modal dasar pariwisata. (Pitana 2002:53) menyatakan dalam pariwisata berkelanjutan, penekanan keberlanjutan bahkan tidak cukup hanya berkelanjutan ekologis dan keberlanjutan pembangunan ekonomi, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah keberlanjutan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan.

Implementasi dari konsep-konsep ini diaplikasikan dalam program pengembangan pariwisata pedesaan, sehingga pengembangan desa wisata tersebut harus tetap mampu menjaga kelestarian lingkungan. Disamping strategi dan program yang dihasilkan dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat, meningkatkan taraf hidupnya, sehingga masyarakat akan berusaha mempertahankan keberlanjutan pariwisata tersebut.

Sebagai contoh Desa tradisional Baha merupakan desa perjuangan, sesungguhnya memiliki berbagai potensi kepariwisataan. Desa Baha ini terletak sekitar 26 km dari kota denpasar antara objek dan daya tarik wisata Taman Ayun dan Sangeh atau sekitar 5 km ke utara dari Desa Gulingan, Mengwi. Kehidupan budaya masyarakat dan pola penataan pemukimannya masih tetap melestarikan budaya dan arsitektur tradisional Bali, seperti sebagian besar peataan ruang temoat tinggal masih tetap memakai ukuran yang didasarkan ukuran kosala-kosali di samping pintu masuk rumah penduduk (angkul-angkul). Pola menetap masyarakat di Desa Pekraman Baha tetap mencerminkan konsepsi pembagian tata ruang wilayah menjadi tiga bagian demi terjaganya keharmonisan hubungan alam niskala dengan alam sekala, yaitu : 1 ada ruang utama adalah areal yang disucikan sebagai tempat suci baik berupa pura, sanggah atau merajan, 2 ruang madya adalah areal untuk rumah tempat tinggal, dan 3 ruang nista atau teben adalah areal untuk membuang sampah rumah tangga.

Penduduk Desa Baha berjumlah 3511 jiwa, yang terdiri atas 1742 (49,6%) laki-laki dan 1769 (50,4%) perempuan. Mereka terbagi dalam 968 kepala keluarga (KK) dan seluruh penduduknya beragama hindu. Menurut Sekretaris Desa Baha, untuk menjaga ketentraman sesuai dengan hak otonomi yang dimiliki oleh desa pekraman, jumlah penduduk dengan perbedaan jenis kelamin dan kewarganegaraan itu, telah diikat dengan awig-awig desa adat baha.

Desa tradisional Baha memiliki potensi kepariwisataan seperti keasrian alam pedesaan dengan hamparan persawahan di sepanjang wilayah desa, panorama alam yang indah dan sejuk, serta masih adanya system pengairan dengan system subak. Berbagai potensi sumber daya menjadikan suatu pertimbangan desa baha dicanangkan menjadi salah satu desa wisata. Hal tersebut menjadikan daerah ini perlu dijaga dan dilestarikan sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 tahun 1999 tentang tata ruang wilayah propinsi bali, serta Peraturan Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005 tentang penetapan objek dan daya tarik wisata.

Ditetapkannya desa Baha menjadi desa wisata tahun 1994, tepatnya melalui Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor 2028 tahun 1994, berbagai persiapan perencanaan pengembangan pariwisata di desa ini telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung melalui dinas pariwisatanya. Masyarakat desa baha sendiri sangat antusias menyambut pencanangan desa mereka sebagai desa wisata, dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan mereka.

Sebagai desa tradisional yang masyarakatnya masih tergantung pada sector pertanian dengan areal persawahan yang ada seluas 271,3 hektar dengan tekstur tanah yang subur sangat cocok untuk daerah pertanian dan terbentang disepanjang ruas jalan menuju ke lingkungan internal Baha. Desa wisata Baha telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti tempat parker, WC umum, bale wantilan yang sering dipergunakan untuk tempat pertemuan adat secara rutin disamping untuk menjamu tamu-tamu negara yang berkunjung ke desa Baha. Sedangkan sarana akomodasi direncanakan atau diusahakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan sebagian rumah-rumah penduduk sebagai homestay.

Wisatawan yang berkunjung dan melintasi desa wisata Baha sebagian besar merupakan wisatawan yang hanya mempunyai karakter petualang, seperti off road dengan menggunakan mobil safari pulang ke Ubud atau kedatangan mereka kebanyakan secara individu, ada juga antara dua orang sampai sepuluh orang dengan menggunakan mini bus atau mobil safari yang dipandu oleh pemandu wisata (guide).

Sebagaimana telah diuraikan diatas , bahwa sector pertanian amsih dilestarikan terutama system bertaninya menggunakan cara-cara bertani tradisioanal dengan organisasi subaknya masih tetap dipertahankan. Salah satu bentuk subak yang dijadiakn percontohan dalam pengembangan desa wisata Baha adalah Subak Lepud yang sudah beberapa kali mendapat juara pada kompetisi subak baik tingkat daerah maupun nasional. Desa wisata Baha sering mendapat kunjungan-kunjungan baik pejabat dalam negeri maupun pejabat negara sahabat, disamping juga banyak dikunjungi oleh wisatawan domestic maupun wisatawan mancanegara.

Pada awal pengembangan desa Baha sebagai desa wisata, sudah dibentuk suatu lembaga pariwisata desa berupa kelompok sadar wisata (Darwis). Kelompok ini diketahui oleh Made Derik Jaya, seorang tokoh masyarakat desa Baha yang pada saat itu menjadi anggota DPRD Kabupaten Badung. Tujuan utama lembaga tersebut adalah untuk membuat perencanaan bersama pemerintah daerah dan mensosialisasikan keberadaan pariwisata dikalangan masyarakat, sehingga masyarakat desa Baha dapat menerima kehadiran pariwisata di desa mereka. Terbentuknya kelompok sadar wisata telah mampu menjembatani program pemerintah khususnya Pemkab Badung melalui dinas pariwisatanya dengan masyarakat desa Baha. Atas koordinasi kelompok ini, maka beberapa program telah dilakukan seperti mendekati masyarakat agar mau membebaskan tanah milik mereka untuk pengembangan agrowisata, pembuatan jalan untuk jalur tracking, mempelopori jalan tembus desa gulingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar