Jumat, September 28, 2012

Ekowisata di Bali

Bali adalah pulau kecil yang memiliki daya tampung yang terbatas. Entah mengapa sampai detik ini masih saja terdengar pembangunan hotel-hotel berbintang lima, pembangunan villa villa, pembangunan lapangan golf, yang pada intinya 'memperkosa' lahan-lahan kosong yang ada di Pulau Bali. Walaupun pembangunan kamar-kamar hotel dan fasilitas-fasilitas pariwisata dipandang memberikan dampak ekonomi yang menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat, hendaknya perlu lebih lanjut memikirkan lebih jauh dan lebih holistik.
Apabila pemerintah terus menerus memberikan ijin pembangunan hotel-hotel di wilayah Pulau Bali (khususnya Bali Selatan), maka akan terus menerus pula permasalahan sosial, lingkungan, budaya tidak pernah teratasi. Ironis memang, di satu sisi pemerintah mendukung pengembangan kepariwisataan berdasarkan konsep "sustainable tourism development", di sisi lain pola konsep "mass tourism" masih dipertahankan.
Satu jawaban yang sungguh melegakan hati adalah dengan adanya konsep "Ecotourism" yang sudah mulai dikembangkan di beberapa desa di Bali. Sebagai contoh : Tenganan Pegringsingan-Karangasem, Banjar Adat Kiadan-Badung, Dukuh-Sibetan-Karangasem, dan Nusa Ceningan-Klungkung. Keempatnya masuk Jaringan Ekowisata Desa (JED).(situs desa ekowisata di Bali). 
Konsep Ekowisata (ecotourism) yang berlandaskan konsep keberlanjutan, pelestarian alam dan lingkungan, keterlibatan masyarakat, aspek pemasaran dengan tanggung jawab sosial, diharapkan kedepannya mampu memberikan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi Pulau Bali saat ini akibat Pariwisata. 
Prinsip-prinsip ekowisata sebagai berikut  (The International Ecotourism Standard, dalam Arida (2009)) :
  1. Memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya, dengan indikator sebagai berikut : (i)tercapai keseimbangan pemanfaatan lahan, (ii)penggunaan teknologi ramah lingkungan (iii) pemanfaatan areal warisan budaya sebagai objek ekowisata dissesuaikan dengan daya dukung, (iv)melestarikan keanekaragaman hayati dan cagar budaya, dan (v) memperhatikan keberadaan endemis.
  2. Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaannya terhadap alam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara : (i)menyediakan pramuwisata profesional dan berlisensi, (ii) menyediakan fasilitas pendukung dan informasi yang memadai terkait dengan objek ekowisata, (iii) melibatkan lembaga adat setempat.
  3. Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat serta memberdayakan masyarakat setempat, dengan cara : (i) memprioritaskan pemanfaatan tenaga kerja lokal sesuai dengan keahlian, (ii) memprioritaskan pemanfaatan produk lokal untuk operasional objek ekowisata dan (iii) melibatkan lembaga adat setempat.
  4. Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya  dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, dengan indikator sebagai berikut : (i) pembangunan dan operasional disesuaikan dengan tata krama, norma setempat dan kearifan lokal, (ii) keberadaan dan kegiatan objek wisata tidak mengganggu aktivitas keagamaan masyarakat setempat
  5. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti : (i)mentaati undang-undang dan perangkat peraturan lainnya yang terkait, (ii) mentaati awig-awig (peraturan) desa setempat.
  6. Pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat setempat, dengan indikator : (i) pembangunan perlu mendapat persetujuan masyarakat dan lembaga adat setempat, (ii) menjalin komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat dan lembaga adat setempat dalam pengembangan objek.
  7. Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen, dengan indikator (i)menyediakan fasilitas dan memberikan pelayanan prima dan memuaskan kepada konsumen, (ii) menyediakan media untuk memperoleh umpan balik dari konsumen.
  8. Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan dan kenyataan, dengan indikator : (i)materi pemasaran harus akurat, jelas dan berkualitas dan (ii) materi pemasaran yang jujur dan harus sesuai dengan kenyataan.
  9. Sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, dengan kriteria : (i) memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan  Tuhan (Parahyangan), (ii) memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan (iii) memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan (palemahan)
Kedepannya dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata, maka dapat mewujudkan tujuan dari pengembangan pariwisata berkelanjutan. Sayang sekali, sesungguhnya hampir semua desa di Bali memiliki potensi untuk dikembangkannya ekowisata, namun hanya beberapa saja yang tergarap. Kondisi ini menuntut pemerintah segera turun tangan untuk  mengucurkan dana segar bagi pembentukan desa-desa wisata dengan konsep ekowisata. Dana yang dikucurkan tentunya diperuntukkan untuk : (i) melatih tenaga akademisi dan praktisi untuk mampu menerapkan pengembangan ekowisata desa dalam satu konsep, visi dan misi, (ii)mengidentifikasi potensi desa-desa di Bali untuk dapat dikembangkan dalam ekowisata desa dan (iii) membangun sarana, prasarana dalam pembentukan dan pengembangan ekowisata desa.

Apabila konsep ekowisata dapat dikembangkan dengan baik di seluruh Pulau Bali, maka penulis meyakini, anak-anak muda tidak akan tertarik untuk pergi ke Kuta, Denpasar atau wilayah Bali Selatan untuk mencari pekerjaan. Mereka akan tinggal di desanya masing-masing untuk mengembangkan ekowisata. Tapi, bilakah itu semua terwujud?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar