Berbicara tentang pariwisata, memang sebuah hal yang menarik yang tiada habisnya. Jujur saja, menyimak pemberitaan di media massa, diskusi di kalangan akademisi maupun pentolan masyarakat,menunjukkan betapa besarnya perhatian masyarakat terhadap pariwisata. Memang betul jika dikatakan bahwa pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian, sangat betul. Tanpa adanya pariwisata, mungkin dan sangat mungkin akan banyak muncul orang miskin baru di Pulau Bali tercinta ini.
Hingar bingar pariwisata Bali yang sangat gemerlap, bagai firdaus di kathulistiwa menjanjikan senyum keuntungan bagi investor untuk datang menanamkan dan mengembangkan modalnya di Bali. Masyarakat Balipun menikmati banyak dari pariwisata, mulai dari peningkatan kesejahteraan, peningkatan wawasan dan pertukaran budaya, sampai sampai muncul perpaduan budaya Bali dengan budaya western. Ya, sisi lain yang dirasakan saat ini sungguh terasa bahwa nilai kekeluargaan, "nyama braya"di Bali, sudah tidak seperti dua puluh tahun yang lalu. Tapi satu pertanyaan besar saat ini, dengan meningkatnya standar hidup orang Bali (khususnya di kantong-kantong Pariwisata, menunjukkan masyarakat Bali menjadi lebih merasa sejahtera?). Mungkin fenomena ini perlu untuk dikaji mendalam dengan pendekatan ilmu sosial dan budaya.
Konsep "Rwa-Bhineda" yang merupakan local genius pemikiran cendikiawan dan menjadi falsafah hidup orang Bali yang menganggap segala sesuatunya berpasangan dan berdampingan dalam keharmonian juga berlaku untuk Pariwisata Bali yang kita banggakan ini. Pariwisata Bali yang menjadi "tulang-punggung"perekonomian Bali di sisi lain menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat dipungkiri. Sering kali Pariwisata Bali dituding sebagai biang kerok terjadinya kemacetan, penyakit sosial, komodifikasi dan lainya. Namun kalau mau direnungkan secara mendalam, sesungguhnya bukan pariwisatanya yang salah, tapi memang sumber daya manusia yang berperan dalam pariwisata Bali masih belum bijaksana dalam mengelola. Masih terasa kesan ketamakan dari unsur pemerintah dan investor serta segelintir masyarakat dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan budaya Bali.
Selanjutnya, kita tidak tahu pasti seberapa besarkah kinerja pariwisata terhadap kesejahteraan orang Bali? Bagaimana cara mengukurnya? masih perlu penelitian dan kajian yang mendalam terhadap hal ini. Jangan-jangan Pariwisata lebih menguntungkan orang luar Bali daripada orang Bali.
Tugas Bali bagi pariwisata nasional, sesungguhnya amat berat, selain wajib terus meningkatkan keuntungan demi pembangunan dan kesejahteraan Bali dan Indonesia, Bali juga mengemban kewajiban untuk mempromosikan daerah tujuan wisata lainnya yang sedang berkembang di Indonesia. Namun rasanya tidak mudah untuk mengemban tugas kedua, karena kebanyakan daerah tujuan wisata selain Bali, belum memiliki keunggulan seperti yang dimiliki Pulau Bali. Apa saja yang menjadi keunggulan Pulau Bali? jelas saja (i) Bali Pulau kecil dan memiliki banyak objek wisata yang jaraknya berdekatan, sehingga dalam satu hari melaksanakan tour, wisatawan seudah dapat mengunjungi beberapa objek wisata yang menarik, (ii)Bali kaya akan daya tarik serta atraksi wisata, khususnya wisata budaya dan alam yang indah, (iii) Keunikan budaya Bali yang tidak ada duanya di dunia, (iv) Orang Bali mendukung pengembangan pariwisata di Bali, (v) Wisata ke Bali cendrung lebih mrah. Hal-hal inilah yang ridak dimiliki oleh daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia.
Pembangunan pariwisata menyisakan setumpuk urusan yang tidak dapat diselesaikan oleh hanya satu orang ahli. Pariwisata adalah ilmu yang sedang berkembang di Indonesia, dimana didalamnya tercakup berbagai macam persoalan yang membutuhkan dukungan dari berbagai macam disiplin ilmu, mengingat pariwisata sendiri adalah ilmu yang multidisipliner. Oleh karena itu, permasalahan yang ada di dalam pariwisata dapat dikatakan sebagai fenomena benang kusut yang tak jelas ujung-pangkalnya dan jalan keluar untuk meluruskan kekusutan sebagai cermin carut marutnya permasalahan yang timbul akibat pengembangan pariwisata. Penyelesaian yang dilakukan saat ini seperti halnya melempar dadu, bersifat trial and error. Kemacetan yang terjadi di kawasan Bali Selatan bukanlah masalah sebenarnya, melainkan sekumpulan akibat dari berbagai sebab multi sektoral yang terjadi di dalamnya. Permasalahan yang timbul dari pariwisata dapat dikatakan seperti fenomena sarang laba-laba, saling kait mengait, dimana jika salah mengambil putusan maka dapat menghancurkan pariwisata itu sendiri, misalnya saja pada saat terjadi bom bali tahun 2002, hancurnya sektor pariwisata pada saat itu mengakibatkan hancurnya pariwisata di seluruh Indonesia, di Bali sendiri, perekonomian menjadi sangat lesu dan mengakibatkan masalah sosial lainnya merebak diakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi.
Dari kaca mata politik, pariwisata dapat dipandang sebagai pemersatu bangsa, karena semakin banyak kita mengunjugi daerah tujuan wisata yang ada dinegeri ini, maka semakin cintalah kita kepada Indonesia. Semakin sering kita menjelajahi negeri ini, maka semakin pahamlah diri kita sebagai Bangsa Indonesia. ""The more I Can See My Country, The More I Love It!". Namun demikian di sisi lain sering orang menganggap bahwa Indonesia hanyalah Interlay dari Singapore, seperti halnya Bali dengan NTB, bahkan ada hotel di kawasan Pulau Bintan yang tidak mau menerima Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, dan ini sangat menyedihkan. Bagaimana dengan Pulau Sipadan dan Ligitan yang saat ini sudah menjadi milik Malaysia?. Indonesia memiliki 17.508 pulau, dimana belum semua pulau tersebut memiliki nama. Jadi, bagaimana bangsa kita mampu mematenkan pulau-pulau tersebut, wong namanya aja ga ada?; belum lagi keterlambatan bangsa kita dalam memetenkan warisan budaya yang menjadi aset leluhur, masih teringat betapa alotnya usaha Malaysia untuk mengklaim Batik sebagai budaya warisan nenek moyangnya.
Dari kaca mata ekonomi, Pariwisata memang diakui sebagai penghasil devisa dan meningkatkan PAD. Namun demikian, tidak 100% keuntungan pariwisata masuk ke kantong negeri, paling-paling haya 50% yang dinikmati orang Indonesia, sisanya ya masuk ke kantong investor di luar negeri sana.
Bali for Tourism or Tourism for Bali???
Konsep "Rwa-Bhineda" yang merupakan local genius pemikiran cendikiawan dan menjadi falsafah hidup orang Bali yang menganggap segala sesuatunya berpasangan dan berdampingan dalam keharmonian juga berlaku untuk Pariwisata Bali yang kita banggakan ini. Pariwisata Bali yang menjadi "tulang-punggung"perekonomian Bali di sisi lain menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat dipungkiri. Sering kali Pariwisata Bali dituding sebagai biang kerok terjadinya kemacetan, penyakit sosial, komodifikasi dan lainya. Namun kalau mau direnungkan secara mendalam, sesungguhnya bukan pariwisatanya yang salah, tapi memang sumber daya manusia yang berperan dalam pariwisata Bali masih belum bijaksana dalam mengelola. Masih terasa kesan ketamakan dari unsur pemerintah dan investor serta segelintir masyarakat dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan budaya Bali.
Selanjutnya, kita tidak tahu pasti seberapa besarkah kinerja pariwisata terhadap kesejahteraan orang Bali? Bagaimana cara mengukurnya? masih perlu penelitian dan kajian yang mendalam terhadap hal ini. Jangan-jangan Pariwisata lebih menguntungkan orang luar Bali daripada orang Bali.
Tugas Bali bagi pariwisata nasional, sesungguhnya amat berat, selain wajib terus meningkatkan keuntungan demi pembangunan dan kesejahteraan Bali dan Indonesia, Bali juga mengemban kewajiban untuk mempromosikan daerah tujuan wisata lainnya yang sedang berkembang di Indonesia. Namun rasanya tidak mudah untuk mengemban tugas kedua, karena kebanyakan daerah tujuan wisata selain Bali, belum memiliki keunggulan seperti yang dimiliki Pulau Bali. Apa saja yang menjadi keunggulan Pulau Bali? jelas saja (i) Bali Pulau kecil dan memiliki banyak objek wisata yang jaraknya berdekatan, sehingga dalam satu hari melaksanakan tour, wisatawan seudah dapat mengunjungi beberapa objek wisata yang menarik, (ii)Bali kaya akan daya tarik serta atraksi wisata, khususnya wisata budaya dan alam yang indah, (iii) Keunikan budaya Bali yang tidak ada duanya di dunia, (iv) Orang Bali mendukung pengembangan pariwisata di Bali, (v) Wisata ke Bali cendrung lebih mrah. Hal-hal inilah yang ridak dimiliki oleh daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia.
Pembangunan pariwisata menyisakan setumpuk urusan yang tidak dapat diselesaikan oleh hanya satu orang ahli. Pariwisata adalah ilmu yang sedang berkembang di Indonesia, dimana didalamnya tercakup berbagai macam persoalan yang membutuhkan dukungan dari berbagai macam disiplin ilmu, mengingat pariwisata sendiri adalah ilmu yang multidisipliner. Oleh karena itu, permasalahan yang ada di dalam pariwisata dapat dikatakan sebagai fenomena benang kusut yang tak jelas ujung-pangkalnya dan jalan keluar untuk meluruskan kekusutan sebagai cermin carut marutnya permasalahan yang timbul akibat pengembangan pariwisata. Penyelesaian yang dilakukan saat ini seperti halnya melempar dadu, bersifat trial and error. Kemacetan yang terjadi di kawasan Bali Selatan bukanlah masalah sebenarnya, melainkan sekumpulan akibat dari berbagai sebab multi sektoral yang terjadi di dalamnya. Permasalahan yang timbul dari pariwisata dapat dikatakan seperti fenomena sarang laba-laba, saling kait mengait, dimana jika salah mengambil putusan maka dapat menghancurkan pariwisata itu sendiri, misalnya saja pada saat terjadi bom bali tahun 2002, hancurnya sektor pariwisata pada saat itu mengakibatkan hancurnya pariwisata di seluruh Indonesia, di Bali sendiri, perekonomian menjadi sangat lesu dan mengakibatkan masalah sosial lainnya merebak diakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi.
Dari kaca mata politik, pariwisata dapat dipandang sebagai pemersatu bangsa, karena semakin banyak kita mengunjugi daerah tujuan wisata yang ada dinegeri ini, maka semakin cintalah kita kepada Indonesia. Semakin sering kita menjelajahi negeri ini, maka semakin pahamlah diri kita sebagai Bangsa Indonesia. ""The more I Can See My Country, The More I Love It!". Namun demikian di sisi lain sering orang menganggap bahwa Indonesia hanyalah Interlay dari Singapore, seperti halnya Bali dengan NTB, bahkan ada hotel di kawasan Pulau Bintan yang tidak mau menerima Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, dan ini sangat menyedihkan. Bagaimana dengan Pulau Sipadan dan Ligitan yang saat ini sudah menjadi milik Malaysia?. Indonesia memiliki 17.508 pulau, dimana belum semua pulau tersebut memiliki nama. Jadi, bagaimana bangsa kita mampu mematenkan pulau-pulau tersebut, wong namanya aja ga ada?; belum lagi keterlambatan bangsa kita dalam memetenkan warisan budaya yang menjadi aset leluhur, masih teringat betapa alotnya usaha Malaysia untuk mengklaim Batik sebagai budaya warisan nenek moyangnya.
Dari kaca mata ekonomi, Pariwisata memang diakui sebagai penghasil devisa dan meningkatkan PAD. Namun demikian, tidak 100% keuntungan pariwisata masuk ke kantong negeri, paling-paling haya 50% yang dinikmati orang Indonesia, sisanya ya masuk ke kantong investor di luar negeri sana.
Bali for Tourism or Tourism for Bali???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar