“Negeri Khayal” memiliki potensi pariwisata yang beragam, dari keindahan alam, adat istiadat dan keramah tamahan penduduknya hingga kesiapan sarana dan prasarana pendukungnya. Melihat potensi tersebut pemerintah setempat mengundang konsultan terkondang dari “Negeri Impian” untuk merencanakan pariwisata di kawasan tersebut. Singkat kata konsultan menyelesaikan tugas perencanaan dengan baik. Seiring perjalanan waktu, dalam pelaksanaannya penguasa setempat sering kali mengintervensi perencanaan yang sudah dibuat. Kawasan yang mestinya dikonservasi dirubahnya menjadi kawasan villa mewah. Permukiman tradisional digusurnya menjadi “amenity core” dengan argumentasi antara lain bahwa hal ini dapat mendongkrak pemasukan “fulus” ke kas daerah.
Suatu saat anda diundang oleh “Universitas Halusinasi” untuk menjadi nara sumber dalam seminar akademis untuk membahas fenomena tersebut diatas dari sudut pandang “Perencanaan Pariwisata”
Coba paparkan materi apa yang anda akan paparkan menyikapi fenomena tersebut di atas (tentunya menggunakan pendekatan ilmiah utamanya teori-teori perencanaan yang telah didapatkan)
Penyelesaian :
Menyikapi fenomena tersebut, pendekatan ilmiah, khususnya teori-teri perencanaan yang digunakan antara lain :
1. Proses Perencanaan Pembangunan Kawasan Wisata
Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).
Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan fisik, ekonomi, social budaya,dan tenaga yang terbatas.
Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three brains) yaitu:
1. Kemampuan melihat ke depan.
2. Kemampuan menganalisis.
3. Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara permasalahan.
Bila kita rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan perencanaan terdapat unsur: suatu pandangan jauh ke depan, merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan alat – alat secara efektif dan ekonomis dan menggunakan koordinasi dalam pelaksanaan.
2. Pendekatan Perencanaan Pariwisata
A. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Metode Keterkaitan), yang meliputi;
1. Metode Makro-Meso-Mikro
2.Metode Partisipatif (participatory)
3.Metode Morfologi
B. Pendekatan Pengembangan Kawasan
1. Pendekatan Tipologi
2. Pendekatan Pembangunan Masyarakat
3. Pendekatan Ekowisata
4.Pendekatan Konservasi
3. Tahapan/Tingkatan Pembangunan Pariwisata
Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah pengunjung menggantikan penjualan sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah pariwisata yaitu; penemuan (discovery), inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan. Konsep tingkatan atau tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan salah satu permasalahan penting yang harus diantisipasi.
4. Multiplier Efek Kawasan Wisata
Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
1. Sales Multiplier
Peningkatan dalam pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan bagi dunia usaha
2. Output Multiplier
Peningkatan pengeluaran wisatawan akan berdampak pada barang dan jasa yang diproduksi masyarakat
3. Income Multiplier
Peningkatan pengeluaran wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan masyarakat
4. Government Revenue Multiplier
Tambahan pengeluaran wisatawan akan meningkatkan pendapatan pemerintah
5. Employment Multiplier
Kenaikan dalam pengeluaran wisatawan akan meningkatkan jumlah kesempatan kerja
5. Perencanaan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan (P3B) dilakukan dengan mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar diseluruh wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253), perlu dilakukan penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat . Verseci dalam A.Yoeti (2008 : 253) perencanaan strategis pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :
Keterangan :
1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan memperhatikan keempat factor lainnya : future generation, equity, partnership, dan carrying capacity
3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.
4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat kunjungan wisatawan ini.
5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.
6. Ecotourism sebagai Alat dalam Perencanaan Kawasan Wisata berkelanjutan
Ecotourism atau eko-wisata atau pariwisata ekologi di sub-kategorikan dari pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) atau salah satu segmen pasar dari pariwisata berbasis lingkungan alam (Daud, 2009). Pariwisata berbasis lingkungan alam (pariwisata hutan/pariwisata bahari) hanya merupakan aktivitas kunjungan ke tempat alamiah seperti melihat burung di hutan atau biota unik lainnya pada ekosistem pesisir (seperti rekreasi SCUBA diving). Sedangkan `ecotourism’ memberi keuntungan bagi lingkungan, budaya, dan ekonomi komunitas lokal seperti mengamati burung atau biota unik lainnya dengan `guide’ orang lokal, tinggal bersama penduduk lokal atau pondokan alami (eco-lodge) yang disediakan penduduk masyarakat dan memberi kontribusi ekonomi bagi penduduk local (eco-charge). Haruslah dibedakan antara konsep dari `ecotourism’ (wisata ekologi) dan `sustainable tourism’ (pariwisata berkelanjutan), dimana pengertian `ecotourism’ merujuk pada segmen dari sektor pariwisata, sedangkan prinsip `sustainability’ diterapkan pada segala tipe aktivitas, operasi, pembuatan/pendirian dan proyek pariwisata termasuk bentuk yang konvensional maupun alternatif.
`Ecotourism’ mutlak memperhatikan pemeliharaan lingkungan alam (conservation), bukan sebaliknya mengubah keaslian alam sehingga menganggu keseimbangan alam. Pemahaman pariwisata ekologi adalah untuk menyokong atau menopang keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Kualifikasi aktivitas dalam ecotourism senantiasa berorientasi terhadap cara-cara pengembangan dan pemeliharaan keutuhan alam yang berkelanjutan.
United Nations of Environment Programme (UNEP) telah merangkum karakteristik umum mengenai `ecotoursim’ yaitu :
1. Berdasar atas bentuk pariwisata alam dengan motivasi utama turis adalah untuk pengamatan dan mengapresiasi serta menghargai alam sama seperti budaya tradisional dalam kesatuan daerah alami, seperti kesatuan ekosistem pulau.
2. Berisi pendidikan dan interpretasi mengenai obyek alam yang dijadikan target (misalnya pada objek alam ekosistem hutan, gunung, pulau atau ekosistem pesisir dan laut).
3. Secara umum memiliki kelompok kecil turis yang diorganisasi oleh sekelompok kecil specialist dan bisnisnya dimiliki dan dijalankan orang lokal. Operator dari luar negeri dengan berbagai ukuran juga diatur, dioperasikan dan/atau dipasarkan dalam kelompok-kelompok kecil yang tentunya bekerjasama dengan penduduk setempat
4. Seminim mungkin mengurangi dampak negatif pada lingkungan alam dan sosial-budaya lokal.
5. Mendukung perlindungan daerah alam.
Sebagai sarana pengembangan, `ecotourism’ dapat memajukan 3 tujuan utama dari konvensi keanekaragaman biologi (Convention on Biological Diversity), yaitu:
1. Melestarikan keanekaragaman biologi (dan budaya), dengan penguatan sistem pengelolaan daerah yang dilindungi (public/private) dan meningkatkan nilai suatu ekosistem
2. Mempromosikan pemanfaatan keanekaragaman berkelanjutan, dengan pemerataan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam bidang `ecotourism’ dan jaringan usahanya ; dan
3. Membagi keuntungan yang sama dari pengembangan `ecotourism’ dengan komunitas dan penduduk lokal/asli, seperti dengan cara menerima persetujuan penduduk lokal dan partisipasi penuh dalam perencanaan dan pengelolaan usaha/bisnis `ecotourism’.
Dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik, `ecotourism’ telah terbukti menjadi alat yang efektif bagi konservasi jangka panjang bagi keanekaragaman hayati di samping usaha-usaha lainnya. Bagaimanapun `ecotourism’ telah bergerak maju bagi industri pariwisata di negara pesisir seperti di Malaysia, Australia, beberapa Negara Afrika, Meksiko, Jepang, Maldive dan Negara-negara di Karibia.
Bagi keberlangsungan aktivitas `ecotourism’ diperlukan pengaturan yang pantas dan penanganan khusus seperti pengaturan pada ekosistem yang asli dan dilindungi (Taman Nasional atau Cagar Alam). Karena dampak dari `ecotourism’ itu sendiri akan lebih parah dari batasan pariwisata pada umumnya . Hal ini termasuk pengalaman belajar/interpretasi operator `ecotourism’, pengaturan jumlah kelompok turis dalam skala kecil, dan sensitivitas terhadap ketegangan dengan pemilik dan penghuni komunitas setempat khususnya masyarakat lokal.
Beberapa penyimpangan dari tujuan `sustainable way’ dan ‘ecotourism’ itu sendiri sering terjadi hanya karena mengejar keuntungan ekonomi semata. Banyak praktisi pariwisata mengklaim dan membesar-besarkan kerjasamanya dalam perencanaan dengan menjamin dan mendukung keberlanjutan kelestarian lingkungan, namun pada kenyataanya mengancam budaya, perekonomian dan sumberdaya masyarakat lokal.
Beberapa kritik untuk eco-tourism seperti ini dikenal sebagai `eco-façade’ dalam praktek eksploitasi sumberdaya. Eco-tourism juga kedengarannya `ramah’, namun yang sering menerima dampak serius adalah pengambilalihan teritorial `alami’ dari Taman Nasional, Cagar Alam atau daerah perlindungan lainnya yang dipaketkan bagi `ecotourist’ sebagai pilihan utama tanpa alternatif produk sendiri. Seperti halnya aktifitas wisata pesisir dan laut ; skin/SCUBA diving yang mengantungkan obyek wisata alamnya hanya pada `diving-diving point’ yang memang secara alamiah telah ada. Ironisnya, banyak operator-operator diving menggunakan daerah konservasi seperti di Taman Nasional Bunaken sebagai ajang pelatihan selam. Di mana, penyelam-penyelam rekreasi ini menggunakan sumberdaya alam yang telah ada tersebut untuk aktivitas latihan atau `pre-dive’ bagi penyelam pemula.
Berbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat lokalpun telah diganti dengan aktivitas pariwisata. Pekerjaan yang ada hubungannya dengan pariwista memonopoli komunitas lokal dan masyarakat lokal sering hanya dibayar dengan gaji rendah sebagai `guide’, buruh, penjaja makanan dan souvenir, dan hal inipun tidak berlangsung sepanjang tahun. Yang diuntungkan sama seperti pariwisata konvensional lainnya yaitu jasa penerbangan luar negeri, operator wisata dan pengembang yang terkait yang umumnya datang dari negara maju. Mega-resorts, termasuk hotel yang `lux’, condominium (daerah yg dikuasai dan diperlakukan sebagai milik sendiri), dan shopping centres (Mall) meningkat pembangunannya dalam daerah perlindungan dengan mengatasnamakan `ecotourism’. Hal ini merupakan `eco-terrorism’, dan mengancam ekosistem dan lingkungan seperti pembangunan daratan buatan atau marina (reklamasi) yang jelas memusnahkan kehidupan tumbuhan dan organisme di dalamnya. Demikian pula pengrusakan budaya lokal yang sering terjadi seiring dengan kerusakan ekosistem lingkungan.
Memang, industri pariwisata dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat dan perekonomian negara, sekaligus berpotensi memproteksi lingkungan. Namun lebih dari itu, pariwisata dan aktivitas pembangunan lainnya dapat menjadi kekuatan besar yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk manusia di dalamnya
Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan, maka tidak mengherankan berbagai macam usaha dari organisasi pariwisata dunia dan juga organisasi lingkungan mendengung-dengungkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan. Badan dunia pun seperti PBB di tahun 2002 telah menerima usulan dan menjadikan tahun tersebut sebagai tahun bagi `Ecotourism’ (International Year of Ecotourism), hal ini juga sebagai wujud usaha perlindungan lingkungan.
Memang, pemanfaatan ekosistem yang berkelanjutan tidak hanya berhenti dan bergantung dari usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut. Kesadaran secara menyeluruh dari masyarakat, `yang berkepentingan’ dan teristimewa pemerintah untuk lebih menghargai lingkungannya akan memberi nilai bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
1. Eksplorasi (pertumbuhan spontan dan penjajakan)
Pada tahapan ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan wisata. Di samping jumlah wisatawan yang kecil, juga ditambah dengan fasilitas dan kemudahan yang kurang baik. Pada tahapan ini atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal akan tinggi.
2. Keterlibatan, Pada tahapan ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin tekanan pada publik untuk menyediakan infrastruktur.
3. Pengembangan dan Pembangunan,Pada tahapan ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara Nasional dan Regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional.
4. Konsolidasi dan InterelasiPada tahapan ini, tingkat pertumbuhan sudah mulau menurun walaupun total jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.
5. Kestabilan, Pada tahapan ini, ulah wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.
6. Penurunan kualitas (Decline) atau Kelahiran Baru (Rejuvenation).
Pada tahapan ini, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi “resort” baru. “Resort” menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti akomodasi akan berubah pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai “kelahiran baru”. Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut.
Relevansi tahapan tersebut di atas dalam konsep pembangunan pariwisata adalah bahwa setiap tahapan/tingkatan pembangunan mempunyai karakter yang berlainan, yang memerlukan perlakuan perencanaan yang berbeda pula. Bali misalnya yang telah berada pada tahapan “stagnation” oleh karenanya masalah-masalah evaluasi daya dukung (carrying capacity) memerlukan pencermatan kembali, di samping masalah manajerial lainnya yang secara keseluruhan perlu dituangkan dalam re-evaluasi tata ruangnya. Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.