Tulisan ini dibuat pada Tanggal 22 Maret 2013, 01.15 Am.
"Sebentar lagi pemilihan Kepala Daerah Tk 1 Bali, segera
dilaksanakan. Katanya ini adalah Pesta Demokrasi, yang jatuh pada 15 Mei 2013. Sayup-sayup
saat ini sudah mulai terdengar genderang demokrasi dikumandangkan disana-sini.
Disetiap sudut jalan terpampang foto kandidat dengan senyum manis, slogan dan
program-program yang menjanjikan kesejahteraan masyarakat Bali. Ya, para cagub
(calon gubernur) sedang ‘jualan’, sedang
promosi, sedang menebar janji-janji manis."
Dalam satu kesempatan obrolan di
warung kopi, sempat terdengar argumen yang saling mengelus jagoannya
masing-masing. Yang milih jagoan incumbent
mengatakan bahwa jagonya sudah berpengalaman, memiliki track record memimpin yang tidak perlu diragukan lagi, idenya
cemerlang, penuh gagasan dan saat ini semua programnya sudah dirasakan
masyarakat. Demikianpula yang milih jagoan ‘penantang
incumbent’ mengklaim bahwa Bali tidak butuh pemimpin pintar, yang penting
pemimpin yang mau peduli sama kelestarian Bali dan kesejahteraan masyarakat
Bali. Namun adapula yang ‘GOLPUT-GOLHIT’
(Golongan Putih-Golongan Hitam-orang-orang skeptis) yang punya alibi, tidak
perlu memilih karena sama saja-toh Bali segini-segini aja, dari dulu sampai
sekarang, bukannya malah makin baik, malahan makin uwug (hancur). Coba lihat,
sekarang Bali sudah habis dijual-pantai pantai di kawasan Bali Selatan mulai
dari Jimbaran sampai Tanah-Lot, silakan di cek berapa persen milik orang Bali
asli. Coba lihat, tarian sakral Bali yang sudah tidak sakral lagi karena dijual
di hotel-hotel untuk menghibur wisatawan. Coba lihat, betapa sulitnya menjadi
PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang ‘wani piro?’. Coba lihat tingginya biaya
pendidikan dan kurang berartinya nilai pendidikan pada saat mencari pekerjaan.
Coba lihat, tidak meratanya pembangunan yang melulu terkonsentrasi di kawasan
Bali Selatan yang mengakibatkan kemacetan, urbanisasi dan mahalnya biaya hidup.
Coba lihat, berapa persen sekarang ini
penduduk asli Bali dibandingkan pendatang? dan trend kedepannya semakin
memperkecil persentase jumlah penduduk Bali. Coba lihat, berapa persen
kepemilikan lahan di kawasan Bali Selatan?, coba pelototin hutan mangrove yang
susah payah kita pelihara sekarang benyah di bangun jalan layang. Coba fikir pengembangan
pariwisata yang katanya mengarah pada “sustainable tourism development’ kok
yang paling kenceng malah membangun hotel, restaurant, mall? (lha ini bukannya
konsep mass tourism kah?)
Muncul pertanyaan,
Apakah semua ini memiliki hubungan dengan proses
pilkada sebelumnya ?ada apa?kenapa?
Masyarakat sampai saat ini belum
dapat menikmati proses demokrasi yang benar. Semestinya, setiap partai
mengumumkan kekayaannya, darimana sumber pendanaannya. Demikianpula calon
Gubernur dan Wakil Gubernur, semestinya juga melaporkan berapa kekayaan yang
dimiliki dan darimana saja sumber-sumbernya. Seharusnya ada lembaga independen
yang mengurusi kekayaan para cagub.
Satu hal lagi bagaimana caranya
agar Janji Manis yang diucapkan saat kampanye oleh cagub tidak akan diingkari
setelah jadi gubernur? Jawabannya, mungkin memang perlu setiap organisasi,
lembaga masyarakat yang peduli kepada Bali
agar segera melakukan kontrak politik kepada para cagub-cagub yang berfungsi untuk mengawal pembangunan
Bali pada rel yang benar. Jadi apabila suatu saat mereka menyimpang, paling
tidak sudah ada landasan yang kuat untuk ‘menjewer’ mereka .