I Putu Budiarta
(Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali)
Abstrct:
The aim of this review is to introduce alternative tourism as a future tourism of Bali. Alternative tourism could give solutions to some negative issues such as traffic jam, pollution, urbanization, social jealoucy, poverty, unbalanced tourism development among South, North, East and West of Bali. The alternative tourism could be implemented into development of Ecotourism, Agro tourism and Village tourism. Its implementation could give positive impact to Bali tourism physically, culturally and economically. For its success, the participation or involment from whole tourism sectors such as government, society and tourism industries are needed.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali telah mendorong pembangunan sarana industri pariwisata yang semakin banyak sehingga menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan maupun sosial dan budaya masyarakat Bali. Menurut Manuaba (2009) sejak tahun 1986 pariwisata Bali memiliki beberapa isu seperti permintaan terhadap sumber-sumber yang terbatas, tekanan terhadap lingkungan, distribusi perolehan ekonomi yang tidak seimbang, pergeseran budaya, koordinasi dan pengelolaan yang kurang baik, dan dana pembangunan jangka pendek yang sangat tergantung pada investor.
Dalam sebuah seminar nasional di Universitas Udayana (2009), Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, mengatakan bahwa pembangunan pariwisata Bali tidak merata. Bali Selatan seperti Kabupaten Badung, Kodya Denpasar, dan Kabupaten Gianyar (Ubud) telah melampaui ambang batas (over load ), namun Bali Utara, Barat dan Timur masih jauh di bawah ambang batas (under load).
Sandi Adnyana dan Suarna (2007) mengatakan permasalahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi semakin kompleks baik dalam tatanan lingkungan global, regional, dan lokal. Kerusakan lingkungan meliputi hal-hal sebagai berikut.
Erosi pantai
Pada tahun 2003 ada 16 % atau 70,11 km dari total 430 km panjang pantai Bali mengalami erosi atau ada 34 titik erosi pantai yang teridentifikasi mulai dari pantai Padanggalak hingga pantai Suana di Nusa Penida. Penyebabnya antara lain penambangan batu karang, pengaruh alam (arus dan gelombang), dan penurunan suplai sedimen akibat kerusakan ekosistem terumbu karang. Intervensi manusia yang tidak memberi ruang yang cukup terhadap keseimbangan proses-proses dinamis di pantai serta aktivitas lainnya yang telah merubah pola arus dan gelombang telah mempercepat laju kemunduran garis pantai.
Permasalahan Sampah
Peningkatan jumlah penduduk, kurangnya kesadaran terhadap lingkungan dan tingginya penggunaan kemasan yang menggunakan kantong plastik dan kaleng yang bersifat undegradable menyebabkan peningkatan produksi sampah di Bali. Di lain pihak, sistem penanganan dan pengelolaan sampah yang belum mengalami kemajuan berarti menyebabkan peningkatan volume sampah semakin tinggi. Kesadaran masyarakat untuk mengurangi (reduce) dan memilah sampah dari sumbernya masih jauh dari harapan. Akibatnya produksi beberapa kota di Bali, yang meliputi Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) untuk tahun 2002 mencapai 3000 m3 atau 1.000 ton per hari.
Kemacetan dan pencemaran udara
Sumber utama kemacetan dan pencemaran udara di Bali berasal dari sumber bergerak, yaitu transportasi, sedangkan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak, misalnya industri kecil dan rumah tangga relatif kecil. Aktivitas transportasi di Bali yang mengalami peningkatan sekitar 7,53 % per tahun tentu dapat meningkatkan pencemaran udara dan kemacetan. Daerah yang memiliki tingkat kemacetan paling tinggi adalah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Isu Kemiskinan
Walaupun relative kecil, telah terjadi peningkatan jumlah keluarga miskin di Bali. Pada tahun 2001 berjumlah 88.885 KK (12,16 %) dari keseluruhan KK di Bali, meningkat menjadi 98.189 KK (12,81 %) pada tahun 2002. Sesuai hasil penelitian Susrami Dewi (2009), di kawasan pariwisata Nusa Dua pun masih terdapat 105 rumah tangga miskin. Hal ini disebakan oleh peran Bali Tourism Development Center (BTDC) yang masih rendah dan berjangka pendek.
Isu Keamanan
Keramaian kunjungan wisatawan sering memicu para pencuri dan penjambret barang bawaan wisatawan. Mereka biasanya beraksi secara berkelompok dengan menggunakan sepeda motor jenis Yamaha RX King agar sulit di kejar warga. Keberadaan kafe, pub, klub malam dan diskotik juga sebagai pemicu kekerasan dan bahkan sampai pembunuhan. Pada tanggal 12 April 2009 seorang wisatawan warga Negara New Zealand bernama Sean Keith William ditemukan tewas mengenaskan di dalam hotel Sari Yasa Samudra di Jalan Legian, Kuta setelah dikeroyok sejumlah orang ketika dugem (minum dan mabuk) di diskotik Bounty.
Isu Sosial
Wilayah Sanur memiliki segudang tempat penampungan para pekerja seks komersial (PSK), misalnya Semawang, Padanggalak, dan Jalan Danau Tempe. Tempat-tempat tersebut sebagai supplier PSK yang setiap saat siap didistribusikan bagi wisatawan yang tinggal di Bali dan termasuk masyarakat lokal. Dan banyak para pemilik tanah dan rumah di daerah Sanur yang menekuni usaha ini karena dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak sedikit.
Ketimpangan ekonomi antara pelaku pariwisata dengan masyarakat Ubud serta pembauran sarana pariwisata dengan pemukiman masyarakat lokal sering menimbulkan kecemburuan sosial. Isu seperti suara itik dan bau kotoran babi dari kandang ternak di sekitar hotel dan atap seng yang sengaja dipasang oleh masyarakat sering mengganggu kenyamanan wisatawan yang sedang berlibur sehingga dapat memicu konflik antara manajemen hotel dengan masyarakat.
PARIWISATA ALTERNATIF
Berdasarkan latar belakang dan isu di atas maka perlu dicarikan jalan keluar agar Pulau Bali tetap mendapat sebutan The Island of God, The Island of Thousand Temples, The Last Paradise dan tetap sebagai pulau wisata terbaik dunia (http://www.balitourismboard.org/), (cited 20 February 2009). Sesuatu yang perlu dilakukan adalah dengan pengembangan pariwisata alternatif. Pariwisata alternatif adalah suatu bentuk pariwisata yang mengutamakan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat serta menikmati pengalaman secara bersama-sama (Eadington & Smith, 1992:3)
Pariwisata alternatif dapat memberikan sesuatu yang berbeda dengan pariwisata konvensional yang identik dengan pariwisata masal yang telah menyebabkan kebisingan, polusi, dan hal-hal negatif lainnya. Kegiatan-kegiatan pariwisata alternatif dapat berupa: mempelajari sosial budaya orang lokal seperti belajar menari, bahasa, memasak makanan lokal, jalan-jalan menikmati keindahan suasana kehidupan alam pedesaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang jauh dari suasana bising dan polusi (Eadington &Smith, 1992:135 ).
Beberapa bentuk pariwisata alternatif mencakup kegiatan ekowisata, agrowisata, desa wisata dan wisata spiritual.
1. Ekowisata
Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif (khusus) yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya wisata atau perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES, 2000 dalam Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006:37). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bersifat sustainable atau berkelanjutan yang dapat membawa keuntungan pada semua aspek baik lingkungan, sosial budaya maupaun ekonomi masyarakat lokal.
Menurut Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. (2006: 37) ekowisata memiliki tujuh prinsip, yakni:
1) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal
2) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya.
3) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi DTW.
4) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.
5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai lokal.
6) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di DTW.
7) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan kebebasan bagi wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.
Berdasarkan hasil lokakarya Pelatihan Ekowisata Nasional di Bali (2006), ekowisata memiliki sembilan prinsip yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Bali yaitu:
1) Memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya;
2) Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaanya terhadap alam;
3) Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat serta memberdayakan masyarakat setempat;
4) Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat;
5) Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6) Pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat setempat;
7) Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen;
8) Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab);
9) Sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.
Melihat prinsip-prinsip tersebut Bali mempunyai banyak keunggulan dibandingkan daerah lain karena Bali memiliki semuanya seperti: pantai berpasir putih, laut bergelombang tinggi, karang laut dan ikan hias, gunung, danau, hutan, sawah, kebun, satwa langka (jalak putih, ikan lumba-lumba, sapi) dan sebagainya. Namun dari segi ukuran Bali sangat kecil, karena itu pembangunan pariwisata harus merakyat, selektif, terbatas, dan berkualitas agar bisa berkelanjutan sampai ke generasi berikutnya.
Kegiatan-kegiatan Ekowisata yang bisa dikembangkan berupa kegiatan: menyaksikan satwa khas Bali seperti burung jalak putih di Taman Nasional Bali Barat, ikan lumba-lumba di pantai Lovina, sapi Bali liar (yang di keramatkan) di Desa Tambakan-Buleleng, lembu (sapi putih yang di keramatkan) di Desa Taro-Gianyar, monyet di Alas Kedaton, burung kokokan di Petulu-Ubud dan konservasi penyu hijau di pulau Serangan. Kegiatan lainnya berupa menyaksikan hutan tropis di Jembrana, tanaman langka, anggrek dan bunga di kebun raya Bedugul, trekking atau mendaki gunung Batur atau gunung Agung, menyelam dan snorkeling di pantai Tulamben dan pulau Menjangan.
Ekowisata mesti memperhatikan tingkat kemampuan atau daya dukung (carrying capacity) kawasan terhadap jumlah kunjungan wisatawan yang datang. Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu: interaksi wisatawan dengan alam maupun dampak pengunjung terhadap alam atau lingkungan itu sendiri. Sehingga dalam pengelolaannya perlu mempertimbangkan hal-hal seperti menjaga tingkat kealamian kondisi lingkungan dengan memberikan informasi tentang aktivitas yang tidak boleh dilakukan di areal tersebut. Misalnya: melarang membuang sampah sembarangan, tidak mencabut atau memotong tanaman secara sembarangan, dan tidak mengganggu hewan atau satwa yang ada, membatasi jumlah pengunjung, dan pemakaian bahan bakar alat transportasi yang ramah lingkungan. Ekowisata sangat mengutamakan pemberdayaan masyarakat setempat baik dalam perencanaan, pengelolaan dan kontrol sehingga mereka mendapatkan keuntungan ekonomi yang nantinya menumbuhkan kesadaran mereka untuk ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap alam tersebut.
2. Pariwisata Agro
Pariwisata Agro adalah suatu kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap sektor pertanian dan perkebunan seperti: berwisata ke kebun strawberry, apel, jeruk, kopi, anggur, dan sebagainya. Dalam kegiatan pariwisata agro menekankan pada pengalaman dan belajar tentang tanaman dan dikelola secara baik sehingga dapat membawa dampak positif bagi masyarakat lokal.
Ke depan Bali sangat tepat dikembangkan menjadi DTW Agro karena Bali memiliki lahan yang cukup luas dan subur, curah hujan yang cukup dan cocok dengan beraneka ragam jenis tanaman tropis. Misalnya, daerah Kintamani sangat cocok untuk pengembangan wisata agro tanaman jeruk dan kopi, Buleleng bagian timur untuk wisata agro tanaman mangga dan rambutan, dan Buleleng bagian barat untuk wisata agro tanaman anggur. Untuk wisata agro tanaman kopi di Desa Pupuan-Tabanan, salak di Desa Selat-Karangasem, dan strawberry di Bedugul. Di lokasi wisata agro wisatawan bisa belajar mulai dari proses penanaman, pemeliharaan sampai dengan panen. Selain itu wisatawan juga dapat membeli produk jadi yang berasal dari buah-buahan tersebut baik yang berupa permen (rasa durian, jeruk, mangga, salak), juice (jeruk, durian, mangga, tomat, salak), kopi luwa, teh beras merah, buah kemasan dan minuman wine.
Dengan diversifikasi produk unggulan yang dimiliki masing-masing daerah maka penyebaran pariwisata Bali menjadi lebih merata. Partisipasi masyarakat yang lebih tinggi tentu akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani di masing-masing daerah dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap sektor pertanian. Dengan demikian sektor pertanian dan perkebunan Bali bisa berlanjut serta berkurangnya kecemburuan sosial dan urbanisasi ke Bali Selatan.
3. Pariwisata Pedesaan (Desa Wisata)
Pariwisata Pedesaan merupakan kegiatan wisata yang ditujukan bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana pedesaan sebagai tempat untuk istirahat, sebagai tempat belajar budaya suatu daerah (seperti belajar menari, melukis, memahat), dan tempat untuk mendapatkan pengalaman hidup yang berbeda dari daerah asalnya. Menurut Picard (1992) keunikan dan keanekaragaman budaya Bali yang tersebar di desa-desa dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (Picard, 1992).
Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki beraneka ragam budaya yang unik dan tidak ada duanya di dunia, mulai dari tari-tarian, kerajinan, adat-istiadat, kebiasaan, agama, yang tidak ada tandingannya di dunia. Sudah terbukti dari jaman dahulu hingga sekarang budaya Bali sangat kesohor keunikannya ke manca negara. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat Bali bisa mempertahankan budayanya agar tetap terpelihara dengan baik sehingga pariwisata dapat berkelanjutan.
Melihat animo wisatawan (terutama Eropa) yang sangat tertarik dengan budaya Bali yang dikatakan unik, masyarakat seyogyanya mengusahakan potensi budaya yang dimiliki masing-masing desa sebagai daya tarik wisata. Misalnya dengan membuka kursus budaya seperti kursus menari, memasak makanan Bali, menabuh, mekidung, melukis, memahat, membuat canang dan sesajen, kursus bahasa Bali bagi wisatawan. Dengan begitu ekonomi masyarakat akan meningkat disamping juga akan menambah rasa bangga dan cinta terhadap budaya sendiri, mengangkat martabat bangsa di tingkat internasional, dan dapat menjaga kelestarian budaya.
Dengan pemanfaatan warisan budaya sebagai daya tari wisata maka bisa berdampak positif terhadap budaya Bali itu sendiri. Kontak dua budaya atau lebih dapat meningkatkan saling pengertian dan tukar budaya antara budaya wisatawan dengan budaya masyarakat lokal. Dengan pertukaran budaya akan dapat meningkatkan rasa simpati dan pengertian di antara wisatawan dan masyarakat lokal, mengurangi perasaan atau prasangka buruk terhadap budaya lain sehingga dapat menciptakan rasa perdamaian dunia. Selain itu dapat memperkuat masyarakat lokal dan mengurangi perpindahan masyarakat dari desa ke kota, dapat meningkatkan perannya dalam perkembangan pariwisata, dan memperbaiki pekerjaan dan dapat mengembangkan kegiatan-kegiatan budaya di masyarakat yang sesuai dengan keinginan wisatawan
Pariwisata pedesaan di kelola dalam skala kecil dan melibatkan seluruh anggota masyarakat desa yang bersangkutan. Misalnya beberapa anggota masyarakat desa membuat sebuah homestay sederhana dengan beberapa jumlah kamar yang mempekerjakan masyarakat dari desa tersebut. Juga dengan memanfaatkan kelompok-kelompok kesenian setempat sebagai entertainer bagi wisatawan yang menginap di desa tersebut. Untuk kebutuhan makanan dan minuman wisatawan sedapat mungkin di beli dari para pedagang dan petani setempat sehingga petani dan pedagang pun ikut mendapatkan cipratan rejeki dari wisatawan.
4. Pariwisata Spiritual
Rogers (2002:3) menyatakan spiritual merupakan jalan kembali ke dasar pluralitas bentuk agama yang menjadi dasar rasional bagi keberagaman tanpa batas pada jalan seseorang di dunia. Spiritualitas adalah hal alami dan universal dan oleh karenanya tidak dapat hanya dikaitkan dengan budaya agama tertentu. Selanjutnya Dana (2008:21) mendifinisikan wisata spiritual sebagai perjalanan wisata menuju tempat-tempat suci untuk melaksanakan kegiatan spiritual berupa sembahyang, yoga, semadi, meditasi, konsentrasi, dekonsentrasi, dan istilah lainnya sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Keberadaan ribuan pura yang tersebar di desa-desa di Bali menjadi aset utama dalam kegiatan pariwisata spiritual. Pura-pura tersebut dapat dijadikan tempat untuk sembahyang, bersemadi, dan meditasi. Kegiatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan para pemangku (pendeta) yang bertanggung pada masing-masing pura sehingga bisa berjalan dengan lancar.
Selain pura di Bali juga terdapat beberapa pasraman dan asram sebagai tempat melakukan wisata spiritual. Di Bali, ashram telah dikenal sejak abad ke-9 dengan istilah pasraman. Salah satu Pasraman, sesuai penelitian arkeologi situs Pura Gajah, di Desa Bedahulu, Gianyar, dahulu adalah Pasraman Siwa Budha, tempat para pendeta memberikan pelayanan kerohanian kepada masyarakat (Suantra dan Muliarsa, 2006). Di Pasraman Guru Kula - Bangli para siswa disediakan asrama dan khusus bagi siswa miskin, biaya pendidikan dan biaya hidup selama di asrama ditanggung pihak yayasan. Kurikulum yang diajarkan sama dengan sekolah formal namun lebih bernuansa Hindu. Di luar jam sekolah siswa diberikan pengetahuan tambahan seperti budi pekerti, agama Hindu, seni, cara bercocok tanam, cara beternak, dan lainnya. Dengan konsep kesederhanaan dan nuansa Hindu dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari, Pasraman Guru Kula dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Ada empat Ashram yang dikelola oleh Indra Udayana Vedanta Community yaitu Ashram Gandhi Puri Sevagram yang terletak di jalan raya Sidemen, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Ashram Gandhi Puri Chatralaya di jalan Gandapura, Denpasar, Ashram Gandhi Puri Satya Dharma, Singaraja, dan Ashram Gandhi Puri Vidyagiri di Mataram. Di Ashram tersebut banyak warga asing yang belajar kegiatan spiritual. Dari beberapa kegiatan spiritual tersebut yang paling menarik bagi wisatawan adalah meditasi, yoga, malukat, agnihotra, dan berdoa dengan mantra Gayatri. Hasil penelitian Ruki (2008) mengatakan bahwa yoga, meditasi, dan kegiatan lainnya bila dipraktekkan dengan benar akan bermanfaat sebagai terapi yang bisa membuat wisatawan merasa lebih bahagia, rileks dan tenang dalam waktu cepat.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas, pariwisata alternatif akan dapat menjawab tantangan dan ancaman pariwisata massal yang selama ini telah banyak menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap alam dan sosal budaya Bali. Pariwisata alternatif dapat melestarikan dan meningkatkan kecintaan terhadap alam dan budaya Bali, serta meningkatkan ekonomi masyarakat pedesaan. Keanekaragaman produk wisata yang tersebar luas di seluruh kabupaten di Bali akan menjadi kekuatan daerah masing-masing dalam pembangunan pariwisata Bali yang nota bene lebih meratakan pembangunan pariwisata sehingga urbanisasi dan kecemburuan sosial antar daerah dapat berkurang. Bagi wisatawan, pariwisata alternatif akan dapat memberikan pengalaman dan belajar berupa alam dan budaya Bali yang tidak bisa ditemukan di belahan dunia manapun. Keunikan alam dan budaya tersebut akan bisa menjaga kestabilan kunjungan wisatawan ke Bali.
SARAN
Pariwisata alternatif membutuhkan partisipasi seluruh komponen pariwisata mulai dari pemerintah, masyarakat dan industri pariwisata. Oleh karena itu seluruh komponen tersebut berperan sesuai tugasnya masing-masing dengan mengemban visi dan misi yang sama yaitu pengembangan pariwisata alternatif. Pihak pemerintah melalui departemen terkait memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat yang masih awam dengan pariwisata, pelaku pariwisata seperti travel agent ikut mempromosikan dan menjual produk-produk pariwisata alternatif, restoran ikut menjual dan lebih mengutamakan produk-produk masyarakat lokal ketimbang produk-produk import.
DAFTAR PUSTAKA
Bali Post. 2009. “Kontribusi BTDC”. Denpasar: Kamis 10 September, halaman: 6, kolom 3.
Bali Tourism Board. 2009. “Welcome to Bali”. http://www.balitourismboard.org/(cited 20 February 2009).
Dalem, A.A.G.R. 2006. Prinsip-Prinsip dan Kriteria Ekowisata untuk Bali
Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Andy
Dana, I W. 2008. “Wisata Spiritual di Bali dan Prospeknya”. Bali Travel News Edisi Indonesia. Vol. III. No. 02 (21). Denpasar: Koperasi Tarukan Media Dharma.
Manuaba (2009) “Prospek Pengembangan Pariwisata Sebagai Wahana Diplomasi Budaya” (Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Pariwisata di Universitas Udayana).
Picard, Michel. 1992. Bali:Tourisme Culturel et Culture Touristique (Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata). Paris: Editions l’Harmattan.
Rogers, C.J. 2007. Secular Spiritual Tourism. Central Queenland University. (cited 25 September 2008) from: http:/www.iipt.org/africa2007/PDFs/CatherineJRogers.pdf.
Ruki, Made. 2008. ”Pengembangan Pariwisata Spiritual di Ashram Gandhi Puri Sevagram, Klungkung, Bali ” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Smith, Valene L. and Eadington, William R. 1992. Tourism Alternatives Potentials and Problems in the Development of Tourism. England: Wiley & Sons Ltd.
Susrami Dewi (2009). “Peran BTDC Dalam Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Wisata Nusa Dua” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.