Latar
Belakang
Masa
depan Bali sebagai destinasi wisata masih menyimpan harapan
yang cerah dibalik carut marutnya pengelolaan
kepariwisataan seperti yang kita lihat sekarang ini. Pengelolaan kepariwisataan Bali masih bersifat sendiri-sendiri oleh
masing-masing kabupaten, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah.
Sementara itu, Bali yang merupakan pulau kecil dengan keberagaman atraksi
wisata yang dimiliki semestinya memiliki sistem pengelolaan yang lebih
terkordinasi dalam satu pintu, sehingga cita-cita untuk mewujudkan
kepariwisataan Bali yang berkelanjutan dapat terwujud.
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Liestiandre (2011) Saat ini Bali memiliki pesaing dengan
produk sejenis yakni : Maldives, Phuket-Thailand, Palawan-Filiphina,
Kerala-India, Hoi An-Vietnam, Penang-Malaysia, dan Hongkong. Preferensi
wisatawan melihat bahwa yang menjadi keunggulan dari Bali sebagai destinasi
wisata adalah variabel makanan dan minuman, variabel biaya hidup, dan variabel
akomodasi dengan harga yang paling murah.Hal ini menunjukkan bahwa posisioning
Bali di benak wisatawan merupakan destinasi wisata yang murah. Dalam pemasaran
dikenal istilah “Price mean Quality” yang berarti harga mencerminkan kualitas.
Terkait dengan uraian di atas, maka apabila Bali “dijual”dengan harga murah,
maka kualitas produk pariwisata Bali adalah rendah. Hal ini berarti pula people mix dari destinasi wisata Bali terdiri dari wisatawan yang dominan berdaya
beli rendah. Profil sosial ekonomik seperti ini tentunya akan menggeser
wisatawan yang berdayabeli tinggi dengan kualitas produk yang tinggi pula.
Wisata murah yang
terjadi di Bali juga mencerminkan konsep mass
tourism, yang mengedepankan kuantitas daripada kualitas. Hal ini sangat
menguras sumber daya yang ada (fisik dan non fisik) dan tentunya berdampak pada
carryng capacity yang dimiliki Pulau
Bali yang sangat terbatas. Seperti yang kita lihat saat ini kawasan Bali bagian
selatan mengalami kemerosotan kualitas lingkungan hidup, seperti : kekurangan
air bersih, banjir, kemacetan, dan polusi.
Pengembangan
kepariwisataan di Bali saat ini sepertinya mengalami dilema yang tidak mudah
untuk dilalui. Daya tarik Bali yang luar biasa membuat semua orang di seluruh
dunia sepertinya ingin berinvestasi di Bali. Tidak heran, jika saat ini, harga
tanah di kawasan Bali selatan meroket, sangat fenomenal dan sulit dibayangkan
dengan akal sehat. Kondisi ini juga mendorong naiknya harga tanah di seluruh
Pulau Bali. Kenaikan harga tanah sebagai akibat keberhasilan pengembangan
pariwisata, ternyata mengakibatkan permasalahan tersendiri bagi masyarakat
Bali. Ketimpangan pembangunan yang tidak merata, dimana “kue” pariwisata hanya
dinikmati oleh sebagian kalangan investor luar Bali, membuat rakyat Bali miskin
ditengah-tengah gemerlapnya pariwisata di kawasan Bali bagian selatan.
Kemiskinan yang dialami
sebahagian rakyat Bali, mendorong mereka untuk menjual tanah mereka kepada
“orang luar”. Kemiskinan disini, dapat berarti kemisikinan ekonomi, kemiskinan
idealisme, kemisikinan kepercayaan diri, kemisikinan hati yang menjadi pemicu
beralihnya kepemilikan tanah di Pulau Bali kepada investor. Diyakini, semakin
lama, maka semakin sedikit kepemilikan tanah oleh penduduk asli Bali.
Dampak beralihnya
kepemilikan tanah kepada investor tentunya sangat negatif sekali bagi ketahanan
budaya yang merupakan faktor keunggulan daya saing yang menjadi pembeda destinasi wisata Bali dengan
destinasi wisata lainnya dalam kancah internasional. Sehingga, apabila suatu
saat nanti, tanah Bali tidak dimiliki orang Bali lagi, maka dengan sendirinya
pariwisata Bali akan punah.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
upaya-upaya apa saja yang sebaiknya dilakukan terhadap pengembangan kepariwisataan
di Bali yang berkelanjutan?
Pembahasan
Salah satu upaya yang
paling penting untuk dilakukan, adalah dengan memperbaiki sistem pengelolaan
pariwisata Bali menjadi sistem pengelolaan pariwisata satu pintu (One Island Tourism Destination Management),
meskipun ini seperti utopia, namun apabila sistem pengelolaan kepariwisataan
seperti yang terjadi saat ini yang berbenturan dengan sistem politk, maka akan
sangat sulit mewujudkan Sustainable Tourism Development. Sebagai contoh kebijakan
Gubernur Bali untuk “Zero Growth”
terhadap pembangunan hotel di kawasan Bali Selatan dan wacana untuk
menghentikan pembelian mobil baru sepertinya tidak berjalan dengan baik, yang
disebabkan Bupati selaku pemegang otonomi pembangunan daerah tidak mendukung. Alternatif
lain adalah pembentukan Badan Otorita Pengembangan Kepariwisataan Bali, yang
memungkinkan pengembangan kepariwisataan dalam satu pintu.
Pariwisata yang
bersifat multi disiplin, memang sebaiknya dikembangkan dengan pendekatan
Sistemik, Holistik, Interdisiplin dan Participatory sehingga
keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam pengembangan
pariwisata mampu mewujudkan konsep keberlanjutan menjadi kenyataan dimana Bali
kedepannya menjadi destinasi wisata yang memberikan kebahagiaan lahir batin
bagi masyarakat Bali
|
Pendekatan relationship marketing diharapkan mampu
meningkatkan efisensi anggaran pemasaran, karena untuk mendatangkan satu orang
wisatawan dibutuhkan biaya enam belas kali lebih besar daripada membina
hubungan dengan pelanggan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan (wisatawan)
Kendala yang
terjadi di Bali adalah belum sadarnya seluruh stake holder pariwisata
terhadap konsep relationship
marketing. Dapat dilihat, masih adanya tindak kriminal terhadap wisatawan
yang terjadi di Kuta, masih belum tumbuhnya sikap empati terhadap wisatawan
yang berkunjung ke Kintamani dimana wisatawan “dipaksa”untuk membeli oleh
pedagang acung, dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan berulang-ulang terhadap
hal-hal yang membuat wisatawan tidak nyaman.
3.
Positioning
Pada saat ini,
posisi Bali di dalam persepsi wisatawan adalah tempat wisata yang murah. Namun
sayang sekali, positioning ini bukanlah hal yang direncanakan oleh stakeholder pariwisata Bali yang
mengharapkan pariwisata Bali dikembangkan dengan konsep yang berkelanjutan.
Posisioning ini timbul, salah satunya karena di Bali terlah terjadi perang
tarif khususnya pada fasilitas akomodasi
yang persaingannya pada titik jenuh. Ketidakpercayaan diri dan ketakutan untuk
menjual Bali menjadi mahal oleh pemerintah (pemegang keputusan dan kebijakan)
juga menyebabkan hal tersebut terjadi.
Masih tidak
jelas atau tidak terencana, siapa yang menjadi segmen dan target pasar Bali
yang mengakibatkan posisioning Bali dimata wisatawan muncul secara alami.
Sesungguhnya hal ini dapat direncanakan dengan baik melalui sistem pengelolaan
satu pintu. Jangan sampai kedepannya posisioning Bali sebagai tempat berwisata
yang murah terus berlanjut. Hal ini banyak
menimbulkan dampak negatif.
Seharusnya
pemerintah dan segenap stakeholder duduk
bersama untuk menyusun perencanaan pemasaran Bali, dalam menetapkan positioning
Bali. Harapan kedepannya adalah bagaimana memposisikan Bali sebagai destinasi
wisata yang berkualitas atau bernilai yang dijual dengan harga yang mahal
sebagai konsekuansi untuk mewujudkan kualitas.
Positioning Bali
sebagai destinasi wisata yang berkualitas, bernilai dan mahal, tentunya akan
mendatangkan wisatawan yang berkelas, berdayabeli tinggi dan mencintai
lingkungan. Wisatawan jenis inilah yang seharusnya menjadi target pemasaran
destinasi wisata Bal, karena akan memberikan dampak yang baik bagi
keberlanjutan Bali sebagai destinasi wisata.
4.
Sustainability
Konsep
keberlanjutan (sustainable) merupakan
tantangan yang besar bagi stakehoder
pariwisata Bali. Selama masih ada orang Bali yang menjual tanah/natah-nya kepada orang luar /investor,
maka semakin jauh konsep sustainable ini
terwujud. Kenyataannya praktek jual beli tanah masih marak dan semakin marak
terjadi di Bali. Tidak ada kekuatan yang mampu menghentikan hal tersebut dan
seolah-olah tidak ada yang merasa bertanggung jawab.
Meskipun
demikian, konsep sustainability harus
dapat dipahami dan dilaksanakan oleh setiap stakeholder
pariwisata Bali. Kalangan pemerintah dan akademisi tidak boleh bosan
mensosialisasikan konsep sustainable
ini kepada masyarakat dengan berbagai cara.
Sedikittidaknya apabila konsep sustainable
ini sudah melekat pada kepala masyarakat Bali, maka lambat laun akan teraplikasi
dalam kehidupan bermasyarakat.
5.
Tourism
Destination Management
Pada Gambar 6
mengenai pengelolaan destinasi wisata dibutuhkan tiga pilar utama yakni : (i)Planning dan Management, (ii) Destination Development dan (iii)Destination
Marketing. Ketiga pilar ini belum berfungsi secara optimal di Bali,
sehingga sampai saat ini dapat dirasakan menurunnya kualitas tamu yang datang
(wisatawan berdaya beli rendah), kegagalan branding
Bali Shanti, dan munculnya
posisioning Bali di benak wisatawan sebagai destinasi yang murah.Kedepannya
diharapkan agar pengelolaan kepariwisataan di Bali harus lebih transparan dan
jelas dalam menerapkan tiga pilar di atas (Gambar 6).
6.
Tourism
Policy
Kebijakan pemerintah
terhadap pengembangan kepariwisataan di Bali meliputi tujuh bidang seperti
Gambar 6 di bawah ini :
Gambar 6
Kebijakan
Pariwisata
Tujuh bidang
tersebut melingkupi : (i)welcome/Greeting
yakni membangun sarana / prasaran
komunikasi sehingga wisatawan yang datang merasakan sambutan yang hangat,
misalnya membangun billboard di
Bandara Ngurah Rai yang bertuliskan Wellcome
to Bali, (ii) information yakni
membangun sarana dan prasarana yang memudahkan wisatawan memperoleh informasi
mengenai obyek/daya tarik wisata yang
dikunjungi, (iii)facilitation yakni
membangun fasilitas-fasilitas wisata seperti sarana komunikasi,transportasi,
akomodasi, (iv)Security, yakni
pemerintah mengembangkan sistem keamanan pariwisata dengan menyiagakan polisi
pariwisata bekerjasama dengan masyarakat setempat, ( v ) cooperation, mengembangkan
kerjasama dengan stakeholder pariwisata,
misalnya mendidik pramuwisata dalam kursus sertifikasi pramuwisata, dimana
penyelenggaraannya bekerjasama dengan HPI dan Sekolah Tinggi Pariwisata. (vi) infrastructure, membangun jalan,
drainase, listrik, air yang menjamin terselenggaranya kegiatan pariwisata,
(vii)cleanliness, menyediakan
fasilitas kebersihan dan menjaga kebersihan.
Kesimpulan
Untuk mewujudkan masa
depan kepariwisataan Bali sebagai sebuah destinasi wisata yang berkelanjutan,
(i)maka dibutuhkan sistem pengelolaan destinasi dalam satu pintu yang
memudahkan koordinasi dan tercapainya visi dan misi, (ii)pelaksanaan konsep sustainability oleh seluruh stakeholder,(iii)pengelolaan pemasaran
pariwisata yang mampu menjawab perubahan pada lingkungan eksternal dan mampu
mengelola lingkungan internal dengan baik sehingga mampu memposisikan Bali
menjadi Destinasi yang berkualitas di benak wisatawan, serta mampu melaksanakan
konsep relationship marketing untuk
mempertahankan loyalitas wisatawan yang datang ke Bali. Hal tersebut harus
didukung oleh kebijakan-kebijakan oleh pemerintah sehingga pelaksanaan menjadi
terintegrasi dengan baik.