Kamis, April 02, 2009

DANAU BUYAN DAN BRATAN, SEBUAH KONTROVERSI


Gambaran Umum
WTO (Organisasi Pariwisata Dunia) telah memprediksikan bahwa pariwisata merupakan industri terbesar yang tumbuh di abad 21 dengan perkiraan mencapai 1,6 milliar wisatawan pada tahun 2020, dengan kemampuan pembelanjaan mencapai US$ 2 triliun (atau meningkat 5 kali lipat dibandingkan kondisi pada tahun 2005 yang hanya mencapai US$ 445miliar). Kondisi ini menjanjikan suatu harapan akan kesejahteraan bagi kalangan pariwisata dan kalangan yang bergerak disekitar industri pariwisata. Investasi di bidang pariwisatapun terus berkembang, mulai dari pembangunan hotel, restauran dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.


Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata, meskipun didera berbagai cobaan seperti bom dan isu flu burung, namun pengembangan pariwisata di Bali tak pernah berhenti. Pariwisata tetap menjadi motor utama penggerak perekonomian di Bali yang didukung oleh pemerintah, pengusaha dan seluruh masyarakat Bali. Kondisi ini tercermin dari jumlah wisatawan yang datang kepulau Bali. 27,83% wisatawan yang datang ke Bali melalui Bandara Ngurah Rai menduduki posisi teratas, disusul oleh Batam 23,39% dan Jakarta 21,24%.


Sumbangan sektor pariwisata di Bali terhadap pembangunan daerah Bali sudah tidak dapat disangkal lagi. Dengan adanya pariwisata, membutuhkan sarana dan prasarana seperti hotel, restauran, biro perjalanan, jasa komunikasi, jasa perbankan, jasa suplier makanan dan minuman, dll yang menyerap banyak tenaga kerja.Sumbangan pajak yang dihasilkan sektor pariwisata sangat membantu pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di Bali. Devisa yang dihasilkan sangat membantu pemerintah di dalam menstabilkan nilai Rupiah terhadap mata uang asing dan menyeimbangkan neraca perdagangan pemerintah.


Berbagai macam produk wisata yang ditawarkan di Bali, meliputi produk kreasi budaya (culture) , peninggalan sejarah (heritage), nature atau eko-wisata dan pengembangan pariwisata alternative, seperti wisata spiritual. Bali memiliki potensi yang luar biasa untuk dikembangkan dan dikelola sebagai suatu destinasi wisata. Hal yang paling menonjol adalah kebudayaan Bali yang tidak pernah ada habis daya tariknya untuk dinikmati wisatawan manca negara maupun wisatawan domestik. Selain kebudayaan Bali yang memberikan suasana ’hidup’, Bali juga didukung oleh sumber daya alam yang dapat dikembangkan sebagai produk wisata alam. Sumber daya alam tersebut berupa gunung, sungai, danau dan sumber daya alam lainnya.

Danau di Bali Peranan dan Permasalahan yang Dihadapi
Danau menyimpan potensi wisata yang luar biasa, Bali memiliki empat buah danau, yakni : Danau Beratan (370 ha), Batur (1607 ha),. Buyan (360 ha), dan Tamblingan (110 ha). Keempat danau ini memiliki potensi wisata yang luar biasa. Menurut Prof. Mardani (2009), keempat danau di Bali ini merupakan nyawa dari Pulau Bali yang harus dijaga kelestariannya, karena keempat danau ini mengairi seluruh sungai-sungai yang ada di Bali. Tidak dapat dibayangkan jika keempat danau ini tidak dijaga kelestariannya, berbagai macam bencana akan datang menimpa Pulau Bali. Saat ini tiga danau yang sudah dikelola untuk tujuan pariwisata, yakni Danau Batur, Danau Buyan dan Danau Beratan. Bagi masyarakat Bali, danau merupakan tempat yang disucikan.Oleh karenanya pengembangan pariwisata di daerah danau harus memperhatikan aspek budaya, lingkungan dan aspirasi masyarakat sekitar danau. Dewasa ini semakin banyak alam di Bali yang dirongrong dan menjadi incaran para investor seperti kawasan Danau Beratan yang kini telah dibangun villa-villa, Pantai Kelating di Tabanan yang juga akan dibangun villa, rusaknya bukit di dreamland Pecatu yang hanya untuk pembangunan apartemen, kawasan Pantai Padang Bai yang kini juga sedang dibangun hotel berbintang meskipun kini proyek tersebut sedang terhenti karena masalah perijinan daerah. Di tempat lain masih saja ada kasus yang sama, seperti halnya di Danau Buyan yang merupakan kawasan hutan lindung dimana sumber daya alamnya masih dibutuhkan oleh masyarakat kawasan danau Buyan pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Kini kawasan bumi perkemahan tersebut akan dibangun villa oleh investor luar dengan dana mencapai triliunan rupiah. Kawasan Danau Buyan dianggap sebagai kawasan suci yang seharusnya dilestarikan, menurutnya juga nanti akses untuk menuju ke Buyan II kemungkinan akan ditutup untuk umum. Jelas saja itu akan sangat memberatkan masyarakat lokal pada umumnya karena kawasan hutan di danau Buyan sangat mempengaruhi kehidupan bagi penduduk setempat. Di samping itu banyak faktor lain yang membuat proyek ini menjadi proyek illegal, seperti misalnya masalah perijinan yang cacat (sumber: Walhi Bali). Lima desa di kawasan tersebut sendiri menolak adanya pembangunan villa dan sejenisnya, begitu juga dengan beberapa LSM, NGO dan Mapala jelas menolak proyek ini. Karena seperti yang sudah-sudah, pembangunan seperti itu kebanyakan tidak berpihak kepada masyarakat setempat dan terutama kepada alam dan ekosistem yang ada. Kami menyempatkan diri untuk datang melihat situasi dan kondisi Danau Buyan begitu proyek tersebut dipublikasikan, namun waktu itu proyek belum berjalan sama sekali, dua bulan berlalu kami kembali ke Danau Buyan untuk menolak pembangunan tersebut. Di lokasi kami melihat adanya galian untuk pembangunan kanalisasi limbah di areal Buyan I seperti yang tertera pada sebuah papan proyek, lalu ada sebuah bangunan baru berupa wantilan yang dibangun permanen di areal Buyan II serta sebuah menara yang dibangun dengan merabas hutan di tepi danau. Terlihat sebuah bangkai pohon besar yang telah ditebang di sana.
Menurut penduduk setempat proyek tersebut sudah sampai pada tahap pemotongan pita, namun peletakan batu pertama masih tertunda karena masalah ijin dan penolakan oleh masyarakat setempat (Walhi Bali : 2008).


Saat ini danau buyan dan danau beratan sudah mengalami pendangkalan sebagai akibat (i) pengembangan pertanian penduduk lokal sekitar danau, (ii) pembangunan villa-villa disekitar danau yang menebang hutan disekitar danau yang menyebabkan berkurangnya serapan air menuju danau, (iii) khusus untuk danau buyan pendangkalan banyak disebabkan oleh berkembangbiaknya enceng gondok disekitar danau, (mardani, 2009)
Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin sumber daya alam yang dimiliki Bali akan mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan hancurnya pariwisata di Bali. Oleh karenanya kalangan pemerintah dan akademisi mengubah pola pengembangan pariwisata di Bali dari konsep mass tourism menjadi konsep sustainable tourism development.


Upaya-upaya untuk menjaga kelestarian danau
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian danau yang merupakan ’nyawa Pulau Bali’ adalah sebagai berikut (Mardani, 2009):



  1. Melakukan kegiatan monitoring. Kegiatan monitoring dilakukan secara berkala, untuk memantau pencemaran tidak melampaui ambang batas yang telah ditetapkan. Saat ini sudah banyak pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas pariwisata, misalnya :
    a. Perahu boat yang menggunakan bahan bakar minyak.
    b. Pembangunan sarana akomodasi dan restaurant di sekitar danau
    Dengan kegiatan monitoring diharapkan penggunaan perahu boat dapat dibatasi, demikian pula pembangunan villa disekitar danau dapat dihentikan, karena jika makin banyak villa-villa dibangun, maka makin banyak pula pohon-pohon yang akan ditebang.

  2. Tidak melakukan penanaman secara serentak di daerah pinggiran danau. Penanaman secara serentak dipinggir danau dapat menyebabkan penyerapan air yang berlebihan ke daerah pinggiran danau. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akar-akar tanaman akan menutup pinggiran permukaan danau sedikit demi sedikit, kondisi ini akan mempersempit permukaan danau.
  3. Melakukan kegiatan replanning (penataan ulang), yakni menata ulang kembali wilayah danau untuk menjaga kelestariannya. Dalam penataan ulang ini, jika ada sarana akomodasi dan restoran serta sarana pariwisata lainnya yang perlu dihancurkan, maka demi pelestarian danau dapat dilakukan.

  4. Disinsentif pajak, yakni menaikkan pajak bagi sarana pariwisata dan entitas ekonomi sekitar danau, khususnya yang berpotensi menimbulkan perusakan danau.
    Pengembangan ekowisata di dalam kawasan danau dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem danau. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based).

Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.


Tri Hita Karana dapat digunakan untuk menjaga kelestarian danau buyan dan bratan. Dalam filosofi orang bali, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan menyelaraskan hidup manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan alam dan lingkungan (Dalem,2007). Salah satu strategi pencapaian tujuan ini adalah dengan Sistem Manajemen Lingkungan (SML). Menurut Raka Dalem (2007), aplikasi dari sistem manajemen lingkungan membutuhkan tiga koordinator yang mewakili tiga kelompok untuk melaksanakan konsep Tri Hita Karana (parahyangan, pawongan dan palemahan). Dalam hal ini top manajemen (pemerintah) selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan aplikasi THK, menyusun program yang berwawasan lingkungan dengan kriteria :



  • Cocok dengan skala dan jenis kegiatan (usaha) yang dilakukan

  • Berisi komitmen terhadap perbaikan yang berkelanjutan serta pencegahan polusi

  • Mempunyai komitmen mengikuti peraturan dan perundangan yang berlaku
  • Mempunyai framework, setting, reviewing serta target lingkungan yang ingin dicapai

  • Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipertahankan/ditetapkan serta dikomunikasikan terhadap semua tenaga kerja

  • Terbuka untuk umum ISO 4001

  • Kebijakan lingkungan mesti memperhatikan keseimbangan antara parhyangan, pawongan dan pelemahan sesuai falsafah Tri Hita Karana

Team ini membuat rencana kerja serta program yang tidak boleh bertentangan dengan Tri Hita Karana, hukum serta peraturan perundangan yang berlaku. Rencana kerja ini diimplementasikan oleh organisasi dan didanai oleh manajemen (pemerintah). Top manajemen dalam jangka waktu tertentu mengadakan review terhadap SML untuk mencapai kesesuaian yang berkelanjutan serta keefektifannya.

Simpulan
Danau Bratan dan Buyan adalah dua buah danau dari empat danau yang ada di Bali yang merupakan ’Nyawa Pulau Bali’. Keindahan danau telah menarik minat wisatawan untuk mengunjunginya. Demikian pula para investor makin tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang pariwisata di danau tersebut.
Pengembangan pariwisata di kawasan Danau Bratan dan Buyan menimbulkan kontroversi yang disebabkan dua sisi positif maupun negatif sebagai akibat dari pengembangan pariwisata. Dari sisi positif , multiflier effect ekonomi sudah dirasakan mensejahterakan masyarakat/penduduk disekitar danau. Namun sisi negatif yang ditimbulkan cukup banyak pula, misalnya terjadi pendangkalan danau, pencemaran danau dan rusaknya ekosistem sekitar danau. Tampaknya efek negatif yang ditimbulkan cukup banyak dan menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan Pulau Bali.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian danau adalah dengan melakukan replanning (penataan ulang) (Mardani,2009) dan dengan strategi sistem manajemen lingkungan yang berdasarkan pada falsafah Tri Hita Karana (Dalem, 2007). Dengan upaya demikian, meskipun tidak mudah untuk dilakukan, diharapkan kedepan, pengembangan pariwisata di kawasan wisata Danau Bratan dan Buyan mampu menjaga kelestarian danau sebagai warisan bagi generasi penerus Bali di masa yang akan datang untuk kehidupan yang sejahtera.

Daftar Pustaka
Dalem, Raka, 2007, Sistem Manajemen Lingkungan, Tri Hita Karana dan Implementasinya Pada Hotel, Program Pasca Sarjana Kajian Pariwisata Universitas Udayana, Denpasar
Mardani,2009, Danau sebagai Nyawa Pulau Bali, Materi Kuliah Perdana pada Program Kajian Pariwisata Universitas Udayana, Denpasar

PEMANASAN GLOBAL



A. Pendahuluan
Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi ancaman masyarakat global. Namun demikian perbedaan kemampuan beradaptasi tiap Negara berbeda. Negara-negara yang cenderung memiliki sumber daya pengetahuan dan teknologi, manusia dan pendanaan jauh lebih siap menhadapi ancaman perubahan iklim. Laporan ke 4 (fourth assessment report) yang dipublikasikan pertengahan April 2007 oleh kelompok kerja II IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change (Panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia) semakin memperkuat keyakinan akan dampak ancaman perubahan iklim terhadap umat manusia di bumi ini. Diantaranya adalah naiknya rata-rata temperatur suhu udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, musim kemarau yang panjang dengan curah hujan yang rendah, musim hujan yang pendek namun memiliki intensitas yang tinggi dan mencairnya tutupan serta ketebalan salju. Ancaman tersebut tentunya melahirkan konsekuensi negatif terhadap lingkungan dan infrastruktur, sosial serta ekonomi. Dipastikan bahwa pertumbuhan suatu negara akan menuju titik terendah dalam ekonomi makro mereka. Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.
Hasil penelitian (Indonesia Report, 2007) menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. Didasari oleh proyeksi di atas tersebut, maka sejak bulan Mei 2007 dibangun sebuah program kerjasama antara WWF Indonesia/WWF NTB dan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat untuk memasukkan rencana strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kebijakan pembangunan daerah mereka.


B. Latarbelakang pemilihan Kepulauan NTB
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari dua pulau utama yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa serta puluhan pulau-pulau kecil disekitarnya. Berdasarkan konvensi internasional, pulau Lombok dapat dikategorikan sebagai pulau kecil karena luas wilayah daratannya hanya 4.738,70 km2. Menurut konvensi internasional tersebut yang tergolong pulau kecil adalah pulau-pulau yang luas wilayah daratannya kurang dari 10.000 km2.
Sebagian besar wilayah pulau Lombok adalah pesisir dan laut. Aktivitas ekonomi sektor-sektor unggulan dan strategis terdapat di wilayah pesisir dan laut. Dari potensi wilayah pesisir dan laut Pulau Lombok terdapat tiga sektor ekonomi utama yaitu : pertanian, perikanan, dan pariwisata. Penduduk Pulau Lombok dari 1994 sampai dengan 1998 mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata sebesar 1,99 persen per tahun.
Potensi ancaman iklim didasari oleh perubahan temperatur yang berpengaruh pada kegiatan utama ekonomi mereka. Temperatur udara pada tahun 1948 di NTB mencapai 26,5 – 270 C, sedangkan temperatur udara pada tahun 2007 meningkat menjadi 28 – 28,50C . Akibat yang ditimbulkan dapat berupa penurunan kualitas dan kuantitas sumber mata air dari tahun ke tahun, banjir dan longsor dibeberapa titik rawan, keterlambatan musim hujan (pergeseran masa tanam), kenaikan muka laut yang dapat memicu abrasi pantai, meninkatnya intensitas badai dan gelombang laut. Dampak perubahan iklim di NTB, telah mempengaruhi kenaikan temperatur udara dan peningkatan curah hujan.
Beberapa fakta sosial dan lingkungan yang terkait dengan kenaikan temperatur udara dan peningkatan curah hujan yang telah terjadi di NTB antara lain melalui peristiwa peristiwa di bawah ini :
1. Hilangnya sejumlah mata air dan berkurangnya debit air. Pada tahun 1985 jumlah mata air di NTB + 580 titik mata air, dan pada tahun 2006 hanya tersisa 180 titik mata air saja;
2. Abrasi pantai Penghulu Agung Gatep, Ampenan- Lombok yang terjadi pada awal Maret 2007;
3. Banjir bandang yang terjadi di Sembalun dan Sambelie, Lombok Timur pada tahun 2006, serta banjir bandang yang menghanyutkan 28 rumah penduduk, hewan ternak dan harta benda lainnya di Empang dan Terano, Sumbawa yang terjadi pada pertengahan April 2007 menyebabkan kerugian senilai + Rp 30 milyar;
4. Kekeringan pada sebagian lahan pertanian di wilayah pulau Lombok dan pulau Sumbawa yang terjadi pada saat musim penghujan (Januari 2007) telah menyebabkan terjadinya gagal panen.
Fakta sosial dan lingkungan yang lebih didominasi oleh anomali/perubahan ekstrem cuaca dan variabilitas iklim. Gejala perubahan iklim belum disadari dan dipahami, termasuk di lingkungan pemerintah daerah NTB. Akibatnya belum ada Rumusan Kebijakan, Strategi dan Program –yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dan lingkungan pulau-pulau kecil di NTB-- untuk mengantisipasinya.
C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Upaya mengembangkan kapasitas kelembagaan daerah untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Round Table Discussion. Diskusi terbatas dalam bentuk meja bundar ini dilakukan untuk meningkatakan pemahaman peserta diskusi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan skenario perubahan iklim dan dampaknya. Selanjutnya peserta diskusi dapat mulai mengembangkan gagasan-gasan umum tentang strategi dan program aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di NTB (lihat lampiran 1).
2. Lokakarya. Lokakarya ini dimaksudkan untuk memperluaskan jangkauan pemahaman tentang perubahan iklim global kepada stakeholder lainnya, sekaligus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan tentang strategi dan program aksi untuk adaptasi dan mitigasi, rumusan rekomendasi untuk masukan kebijakan pembangunan daerah dan pembentukan gugus tugas (Task Force).
3. Memfasilitasi terbentuknya kelembagaan berupa Gugus Tugas yang dilandasi oleh Payung Legalitas (SK Gubernur), dan didalamnya dilengkapi oleh perangkat organisasi dan kerangka kerja yang jelas (lihat lampiran 2).
4. Dalam melakukan implementasi berkaitan dengan peran dan tugas, maka Gugus Tugas perlu dilengkapi dengan perangkat pendukung yaitu : Renstra sebagai panduan untuk mendorong perencanaan adaptasi dan mitigasi di daerah melalui mekanisme program dan anggaran daerah, media informasi dan komunikasi sebagai bahan dan materi kampanye kepada publik, serta pertemuan berkala dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol, penelaahan kritis sebagai bahan masukan kebijakan dan program khususnya kepada pemerintah daerah (lihat lampiran 3).
5. Pelaksanaan Kerja Gugus Tugas selalu menekankan pada sistem kerja kolaboratif, dan agar pola komunikasi dan kerja kolaboratif dapat lebih efektif, maka diperlukan kesekretariatan yang bertempat disalah satu lembaga yang disepakati.
6. Program dan Kebijakan yang telah dirumuskan oleh Gugus merupakan panduan yang dalam implementasinya akan diintegrasikan melalui program dinas/instansi yang relevan dan dalam penganggarannya menggunakan mekanisme penyusunan anggaran daerah (APBD).
D. Pengembangan Strategi Adaptasi Lokal
Langkah antisipatif akan lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan akan lebih rendah bila dibanding dengan upaya adaptasi yang dilakukan nanti pada saat keadaan sudah semakin memburuk dimana dampak sudah semakin besar sehingga upaya adaptasi akan membutuhkan biaya lebih mahal. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera melakukan upaya-upaya adaptasi, guna menyesuaikan ataupun mengurangi dampak-dampak ekstrem perubahan iklim. Tingkat intervensi (level of intervention) kebijakan advokasi harus dilihat dengan perkembangan informasi yang ada serta kebutuhan nyata wilayah dari pulau tersebut. Oleh sebab itu analisa dan respon dampak perubahan ekosistem, sosial/ ekonomi serta budaya (termasuk menggali dan menggunakan kearifan lokal) merupakan prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif. Adanya satuan gugus tugas (Task Force) untuk mengawal dan merumuskan kebijakan perubahan iklim yang keanggotaannya para pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi langkah strategis.
D.1. Hasil Identifikasi Awal
1. Sektor Pertanian berupa Inovasi varietas tanaman, variasi tanaman pertanian, diversifikasi tanaman, mekanisasi pertanian, meningkatkan kapasitas irigasi, menggunakan drip irrigation dan intergrated pest management.
2. Sektor Sumber Daya Air berupa modifikasi infrastruktur yang tersedia, konstruksi infrastruktur baru, pengelolaan alternative atau modifikasi system ketersediaan air yang telah tersedia, perbaikan infrastruktur yang rusak sesegera mungkin meningkatkan kapasitas reservoir, desalinasi,pembuatan inter-basin transfer
3. Sektor Kehutanan berupa membentuk forest fire attack unit dan forest fire preventionprogram , membentuk sistem peringatan bencana kekeringan melalui media public, menyusun forest risk meter, memperbaiki area yang rusak dengan menanam spesies tanaman yang berbeda yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, menentukan kuota untuk penebangan legal dan mendorong reforestasi/rehabilitasi (sustainable forest management) dan mendukung tree planting day
4. Sektor Pesisir dan Pantai berupa pembangunan infrastruktur (sea walls, breakwaters) , sistem peringatan dini dan sistem evakuasi terhadap kejadian ekstrim, hazard insurance , sistem desalinasi untuk ketersediaan air bersih, membangun zona set-back
5. Sektor Kehati berupa strategi nasional keanekaragaman hayati dan rencana aksi kebijakan nasional keanekaragaman hayati dan hidupan liar (biodiversity bill, biosafety policy), national invasive alien species, national invasive species strategy, national biosafety framework , strategi pengelolaan bantaran sungai, daerah pesisir dan kelautan (mencakup marine protected areas (mpas), marine and terrestrial conservation areas), sistem informasi dan database keanekaragaman hayati, kebijakan pelarangan perburuan dan penerapannya
6. Sektor Kesehatan berupa penyuluhan kepada masyarakat untuk mencegah terjangkitnya wabah melalui Posyandu dan Puskesmas,mencegah transmigrasi serta penebangan hutan secara liar, pengendalian populasi nyamuk, peningkatan akses terhadap air bersih, peningkatan kepedulian masyarakat untuk membersihkan lingkungan dari vector-borne disease, meningkatkan pengelolaan air limbah dan sanitasi.
7. Sektor Infrastruktur Perkotaan berupa meminimalkan paved surfaces dan meningkatkan penanaman pohon untuk mengurangi efek ’urban heat island’ dan menurunkan energi untuk penggunaan air conditioning , pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan rawan longsor, penatakotaan cluster daerah pemukiman, perkantoran dan daerah industri/perdagangan, menggunakan physical barriers untuk melindungi instalasi industri dari kemungkinan banjir , membangun sistem industri jauh dari daerah rentan

C.2. Isu Prioritas
Beberapa sektor utama yang merasakan dampak terhadap perubahan iklim yaitu sektor pertanian, kehutanan, sumberdaya air, pesisir dan energi. Adapun rumusan untuk menyikapi akibat perubahan iklim tersebut yakni :