Tanggal 31 Maret 2008 merupakan tonggak sejarah pengakuan Pariwisata sebagai ilmu, dimana pada saat itu keluar surat dari Dirjen Dikti Depdiknas N0. 947/D/T/2008 yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,yang secara eksplisit menyebutkan persetujuan pembukaan program S1 pada STP Bali dan STP Bandung. Wacana mengenai apakah pariwisata merupakan ilmu yang mandiri atau hanya objek studi dari ilmu-ilmu yang telah mapan dengan pendekatan multi disipliner sebenarnya telah lama diperdebatkan. Pitana (2008) Jovicic, pada tahun 1977 misalnya, telah mengusulkan agar kajian tentang kepariwisataan dikembangkan sebagai disiplin ilmu mandiri yang disebut tourismology, sedangkan Leiper menggunakan istilah tourism discipline.
Filsafat keilmuan pariwisata tersebut didekati dengan menggunakan metode yang dapat diuji, seperti Ontologi (objek), epistemologi (metodologi untuk memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (nilai manfaat pengetahuan bagi lingkungannya). Disamping menggunakan perspektif filsafat keilmuan, kajian juga dilakukan dengan metode komparatif, empirik, dan kebutuhan riil dalam pembangunan.
Pertanyaan tentang apakah pariwisata merupakan suatu disiplin ilmu hendaknya dijawab dengan menggunakan penjelasan tentang hakikat suatu ilmu, yang dengan demikian posisi ilmu pariwisata didalam pohon ilmu dapat diidentifikasi dengan jelas dan orang terhindar dari pandangan yang menyesatkan,bahwa pariwisata adalah bukan ilmu ini atau bukan ilmu itu (neither this nor that).
Konsep pariwisata mengandung kata kunci ‘perjalanan’ (tour) yang dilakukan seseorang, yang melancong demi kesenangan untuk sementara waktu, bukan untuk menetap atau bekerja. Jika pada awalnya kegiatan melancong adalah untuk kesenangan belaka, kini kegiatan tersebut menjadi sesuatu yang harus direncanakan, dilaksanakan dan dinikmati secara serius, yang kemudian menjadikannya tidak sederhana lagi. Pariwisata adalah suatu gejala yang sangat kompleks di dalam masyarakat , yang oleh karena itu pariwisata kini berkembang menjadi suatu subjek pengetahuan yang pantas dibahas secara ilmiah. Ilmu pariwisata layak dibangun di atas sebuah fenomena yang kompleks itu melalui suatu sistem logika ilmu, pengandaian dan pembenaran, serta peningkatan dari statusnya sebagai pengetahuan umum (common sense) menjadi pengetahuan ilmiah (science) agar setara dengan ilmu-ilmu lain.
Sumber :
Pitana dan Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Yogyakarta : Andi