Ilmu pengetahuan merupakan hasil cipta, rasa, karsa
manusia terhadap jawaban permasalahan yang dihadapinya melalui cara-cara yang
rasional, empiris dan sistematis (metode ilmiah). Hal inilah yang membedakannya
dengan pengetahuan, dimana tidak semua pengetahuan dapat dikategorikan sebagai
sebuah ilmu.
Pariwisata yang saat ini keberadaannya sudah diakui
sebagai sebuah ilmu, membutuhkan banyak pembuktian dan pengembangan dalam
bidang akademis melalui penelitian-penelitian yang berlandaskan logiko
(logika), hipotetiko (hipotesis) dan verifikatif (verifikasi). Hal ini akan
menjaga eksistensinya sebagai sebuah ilmu dapat dipertanggungjawabkan bagi
manusia.
Tulisan ini mencoba mengkaji logiko (logika), hipotetiko
(hipotesis) dan verifikatif (verifikasi) dalam bidang pariwisata dalam konteks
sebuah ilmu pengetahuan. Berbekal filsafat ilmu yang menginspirasi setiap
penilitian dalam bidang pariwisata, diharapkan kedepannya pariwisata sebagai
sebuah ilmu pengetahuan mampu menjawab setiap permasalahan yang dihadapi dalam
pariwisata melalui pendekatan multidisiplin dan mengembangkan konsep-konsep
serta menemukan teori baru dalam ilmu pariwisata.
LOGIKO (LOGIKA)
Logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan
filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran
yang betul (correct reasoning) (Gie, 1997). Logika itu merupakan pemikiran
dalam bentuk penalaran. Kemampuan berpikir yang dimiliki manusia
merupakan kemampuan yang spesifik
manusiawi. Hal ini
disebabkan
karena
kemampuan
berpikir
manusia
sudah
dianugerahkan
oleh Al
Khalik
(Kertiyasa, 2011:9).
Pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu yang kita ketahui
(pengetahuan) yang dihimpun dengan metode ilmiah (Gie, 1997). Pengetahuan
ilmiah ini selanjutnya disebut dengan “ilmu”. Para filsuf memiliki pemahaman
yang sama mengenai ilmu, yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan ilmiah yang
tersusun secara sistematis (Gie, 1997).
Berpikir deduktif atau berpikir
rasional merupakan sebagian dari berpikir ilmiah. Penalaran deduktif yang
dipergunakan dalam berpikir rasional
merupakan salah satu unsur dari metode logiko-hipotetiko-verifikatif
atau metode ilmiah (Kertiyasa, 2011:32).
Metode
Ilmiah pada hakekatnya merupakan langkah-langkah yang berporoskan troika,
yaitu (Suria Sumantri,1984):
1.
Penyusunan kerangka berpikir --- logika
deduktif
2.
Pengajuan hipotesis --- kesimpulan
kerangka berpikir
3.
Pengujian [verifikasi] hipotesis
Metode
ilmiah dikenal juga dengan proses :
Aristoteles
dalam bukunya Analitica Priora (dalam Mundiri, 2000: 85-86) menyebut penalaran
deduktif dengan istilah silogisme. Aristoteles membatasi silogisme sebagai
argumen yang konklusinya diambil secara pasti dari premis-premis yang
menyatakan permasalahan yang berlainan.
Proposisi sebagai dasar
kita mengambil simpulan bukanlah proposisi yang dapat kita
nyatakan dalam bentuk oposisi, melainkan
proposisi yang mempunyai hubungan independen. Bukan sembarang hubungan
independen, melainkan mempunyai term permasalahan. Dua permasalahan dapat kita
tarik sebuah kesimpulan manakala mempunyai term yang menghubungkan keduanya.
Term ini adalah mata rantai yang memungkinkan kita mengambil sintesis dari
permasalahan yang ada. Tanpa term persamaan itu, maka konklusi tidak dapat kita
tarik.
HIPOTETIKO
Hipotesis
merupakan dugaan atau jawaban
sementara terhadap permasalahan yang
sedang kita hadapi. Dalam
melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar, maka seorang ilmuwan
seakan-akan melakukan suatu ‘interogasi terhadap alam’. Hipotesis dalam
hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk men-
dapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap
pertanyaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan
penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyeli-
dikan.
Sebagai
jawaban yang bersifat tentatif, hipotesis bukanlah suatu pernyataan yang harus
tahan uji, namun kebenaran hipotesis itu harus diragukan terlebih dahulu. Di
dalam mencari sesuatu yang bersifat pasti haruslah dimulai dengan keraguan, se-
hingga setiap hipotesis harus bersifat terbuka untuk dilakukan pengujian atau
setiap formulasi hipotesis harus dapat diuji (testable). Sejalan dengan
pernyataan ini, Descartes (dalam Rindjin, 1987: 14) menyarankan ‘De omnibus
dubitandum’, ragukan- lah segalanya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil
pengamatan, pengetahuan yang telah didapat dari pendidikan dan pengajaran,
pengetahuan tentang Tuhan, bahkan kesadaran kita sendiri, haruslah dianggap
tidak pasti. Jadi, pangkal tolak pikirannya adalah keragu-raguan (skeptis).
Tetapi ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa saya ragu-ragu. Ini
bukan khayalan, tetapi kenyataan. Saya ragu-ragu berarti saya berpikir, dan
oleh karena itu saya ada (Cogito ergo sum). Rasio atau pikiran yang telah
menemukan kepastian itu haruslah dijadikan satu-satunya perantara yang mem-
berikan bimbingan dalam pengambilan simpulan. Suatu simpulan adalah pasti
apabila simpulan itu dapat diungkapkan dalam pengetian yang jelas dan
terpilah-pilah, se- perti halnya ‘Cogito ergo sum’.
VERIFIKATIF
Berdasarkan uraian
mengenai teori kebenaran, dapat diinferensikan bahwa antara riset dan kebenaran terdapat
hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh hasil dari analisis data yang
menerima hipotesis sebetulnya merupakan derivat dari penalaran deduktif dan
penalaran induktif, akan dapat ditinjau kebenarannya melalui teori kebenaran
pragmatis. Hipotesis yang diturunkan dari penalaran deduktif kebenarannya akan
dapat dikaji lewat teori kebenaran koheren, dan verifikasi data yang diturunkan
melalui penalaran induktif, kebenarannya akan dapat dikaji lewat teori
kebenaran korespondensi.
Akhirnya
kita bahas lebih lanjut mengenai pedoman-pedoman atau ancangansuatu pernyataan
baru bisa dianggap benar, yang pembahasannya tidak bisa lepas dengan teori
kebenaran. Menurut Nazir (1988: 16-18), sampai saat ini dikenal tiga teori
kebenaran, yaitu:
1.
Teori kebenaran koherensi.
Suatu
pernyataan dianggap benar jika pernyataan tersebut koheren atau kon- sisten
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Misalnya, suatu pernya- taan
bahwa Nadya Hutagalung akan mati dapat dipercaya, karena pernyataan ter- sebut
koheren dengan pernyataan semua orang akan mati. Kebenaran matematika misalnya,
didasarkan atas sifat koheren, karena dalil matematika disusun berdasarkan
beberapa aksioma yang telah diketahui kebenarannya lebih dahulu. Sebagai
contoh, resapilah deduksi matematika berikut! Jika a = b, b = c, maka a = c.
Menurut Suriasumantri
(1999: 57), matematika
ialah bentuk pengetahuan
yang
penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem mate-
matika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yakni
aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Di
atas teorema, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara kese-
luruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola
pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.
2.
Teori kebenaran korespondensi.
Salah satu
dasar untuk mempercayai kebenaran
adalah sifat korespondensi yang diprakarsai
oleh Bertrand Russel
(1872-1970). Suatu pernyataan
dianggap benar, jika materi pengetahuan yang terkandung dalam kenyataan
tersebut berhu- bungan atau mempunyai korespondensi dengan objek yang dituju
oleh pernyataan tersebut. Pernyataan bahwa ibukota Provinsi Daerah Istimewa
Aceh adalah Banda Aceh adalah benar, karena pernyataan tersebut mempunyai
korespondensi dengan lokasi atau faktualisasi bahwa Banda Aceh memang ibukota
Provinsi Aceh. Jika orang mengatakan bahwa ibukota Republik Indonesia adalah
Kuala Lumpur, maka orang tidak akan percaya, karena tidak terdapat objek yang
mempunyai korespondensi dengan
pernyataan tersebut. Secara
faktual, ibukota Republik
Indonesia adalah Jakarta, bukan
Kuala Lumpur. Sifat kebenaran yang diperoleh dalam proses berpikir secara
ilmiah umumnya mempunyai sifat koherensi dan sifat korespondensi. Berpikir
deduktif adalah menggunakan sifat koheren dalam menentukan kebenaran, sedangkan
berpikir secara induktif, peneliti menggunakan sifat korespondensi dalam menen-
tukan kebenaran.
3.
Teori kebenaran pragmatis.
Kebenaran
lain dipercaya karena adanya sifat pragmatis. Dengan perkataan lain, pernyataan
dipercaya benar karena pernyataan tersebut mempunyai sifat fung- sional dalam
kehidupan. Suatu pernyataan atau simpulan dianggap benar, jika pernya- taan
tersebut mempunyai sifat pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Teori kebe-
naran dengan sifat pragmatis ini dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul ‘How to Make Our
Ideas Clear’. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat
ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey
(1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931), dan C.I. Lewis.
Bagi
seorang pragmatis, maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kri- teria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Arti-
nya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
per- nyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya
ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X
tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori
itu di- anggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan-kegu-
naan. Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin
filsafati, melainkan teori dalam menentukan kriteria kebenaran sebagaimana
disebut- kan di atas. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai
metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungsional
dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini
juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
masalah seperti ini, maka ilmuwan bersifat pragmatik selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan, maka pernyataan itu dianggap benar.
Sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan
ilmu itu sendiri yang menghasilkan per- nyataan baru, maka pernyataan itu
ditinggalkan. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti
diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa
teori tentang partikel tidak akan berumur lebih dari empat tahun. Untuk
ilmu-ilmu lainnya, yang agak kurang berhasil dalam menentukan hal-hal baru,
seperti embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas
tahun.
Teori
kebenaran pragmatis mensintesiskan pandangan teori kebenaran kohe-rensi dan
korespondensi. Hal ini disebabkan oleh teori kebenaran pragmatis mengakui
adanya kebenaran (realitas) dalam bentuk fakta-fakta yang diperoleh melalui
pengalaman, prinsip-prinsip yang didapat dari logika murni, dan nilai-nilai.
Kebenar- an setiap pernyataan, filsafat, ideologi, teori, dan sebagainya harus
diuji dari tiga kri- teria, yaitu: 1) practical consequences, 2) usefulness,
dan 3) workability.
Teori
kebenaran pragmatis memang merupakan kritik yang pedas terhadap filsafat, ideologi
atau teori yang
muluk-muluk. Setiap pernyataan
atau pendapat adalah signifikan
apabila dapat dicarikan bukti-buktinya dan dapat diuji kebenaran- nya. Dan
lebih daripada itu harus dilihat konsekuensi praktisnya dalam kehidupan manusia,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pernyataan yang
selalu mengusik adalah perbedaan apakah yang akan terjadi kalau …; atau kon-
sekuensi apakah yang akan timbul, apabila …. Kegunaan atau kebermaknaan dihu-
bungkan dengan sesuatu yang dianggap bernilai. Yang bernilai diukur dari
keberhasil- annya. Dan yang dikatakan berhasil diukur dari pencapaian
tujuannya. Tujuan di sini tidaklah selalu bersifat fisik dan material, tetapi
juga non-fisik dan non-material. Yang terakhir
ini berkenaan dengan pengalaman
keagamaan. Kepercayaan akan
adanya realisasi kosmik dalam diri manusia maupun luar dirinya dan
adanya Tuhan adalah bermakna sepanjang dapat memberikan kekuatan iman,
ketenangan, dan kedamaian hati. Mengenai keampuhan (workability) dihubungkan
dengan kemampuan untuk me- mecahkan masalah. Yang benar dan baik adalah yang
dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Sebagai simpulan, maka James
menyatakan: … ‘true ideas are those that we can assimilate, validate,
corroborate, and verify. False ideas are those that we can not …’ (dalam
Rindjin, 1987: 57).
Daftar Pustaka
Kertiyasa, I Nyoman.2011.Logika, Riset dan
Kebenaran. WIDYATECH Jurnal Sains
dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011, Universitas Panji Sakti. http://jurnalwidyatech.files.wordpress.com/2012/02/i-nyoman-kertayasa.pdf
Ackermann, Robert. 1970. Philosophy of Science:
An Introduction. New York: Pegasus. Fraenkel, Jack R. and Norman E. Wallen.
1993. How to Design and Evaluate Research in
Education. Second Edition. New York: McGraw-Hill,
Inc.
Ihromi. 1987. Materi Pokok Logika. Jakarta:
Karunika.
Martin, Michael. 1972. Concepts of Science
Education: A Philosophical Analysis. Illinois: Scott Foresman and Company.
Mundiri. 2000. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasoetion, Andi Hakim. 1992. Panduan
Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cetakan
Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Peursen, C.A. Van. 2003. Menjadi Filsuf:
Suatu Pendorong ke Arah Berfilsafat Sendiri.
Yogyakarta: CV Qalam.
Gie, The Liang.1997. Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta : Liberty
Poespoprodjo, W. dan EK. T. Gilarso. 1999. Logika
Ilmu Menalar: Dasar-Dasar Berpikir
Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. Bandung:
Pustaka Grafika.
Rapar,
Jan Hendrik. 1996.
Pengantar Logika: Asas-Asas
Penalaran Sistematis.
Yogyakarta: Kanisius.
Rindjin, Ketut. 1987. Pengantar Filsafat Ilmu dan
Ilmu Sosial Dasar. Denpasar: CV Kayu
Mas.
Soekadijo,
R.G. 1985. Logika
Dasar: Traisional, Simbolik,
dan Induktif. Jakarta: Gramedia.
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar
Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sudjana, Nana. 1988. Tuntunan Penyusunan Karya
Ilmiah. Bandung: Sinar Baru.
------- dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian
Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Ilmu dalam Perspektif.
Jakarta: PT Gramedia.
-------. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.