Garis - Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa, meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1999).
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak sosial- pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis.
Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.
Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).
Tanjung Benoa Dahulu dan Sekarang
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susiadi et al. pada tahun 2001, masyarakat Tanjung Benoa sekitar 17,01 % dari total usia kerja bermatapencaharian di sektor perikanan terutama perikanan penyu, pedagang perikanan ini terdiri dari beraneka suku di Indonesia (Bugis, Flores, Sulawesi, Madura, dan lain-lain) tetapi mayoritas (87,5 per sen) adalah suku Bali (Susiadi et al., 2001: 31 dan 36).
Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Krippen¬dorf (1987) lebih lanjut melaporkan bahwa pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Burns and Holden (1995) juga menyebutkan bahwa pariwisata memberikan keun¬tungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.
Dua puluh lima tahun lalu, desa ini terkenal sebagai desa nelayan yang miskin. Penduduknya hanya mengandalkan lahan kering sebagai mata pencaharian. Tanaman jagung, singkong dan kedelai adalah makanan sehari-hari warga Tanjung Benoa. "Dulu, tak ada yang mau tinggal di sini, meski diberi tanah secara gratis," ujar Lurah Tanjung Benoa I Wayan Dibia Adnyana kepada rombongan Kelompok Media Bali Post (Bali Post, Bali Travel News, Bali TV), baru-baru ini. Namun sekarang, katanya menambahkan, harga sejengkal tanah di sini mencapai ratusan ribu rupiah. ''Ya... paling murah Rp 100 juta untuk 100 meter persegi tanah, dan sulit mendapatkannya.''
Dulu, kawasan pesisir Tanjung Benoa tercatat sebagai wilayah miskin di Bali. Sampai-sampai ada orang yang malu mengaku berasal dari sana. Kini, kawasan ini telah menjadi salah satu daerah kaya di Bali dengan income utama masyarakatnya dari jasa pariwisata. Penghasilan bersih masyarakatanya -- setelah dipotong untuk kebutuhan sehari-hari -- paling rendah Rp 1.500.000/bulan, dua kali lipat dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Badung -- kabupaten terkaya di Bali -- yang hanya Rp 10.100.465,01/tahun (data statistik Kabupaten Badung tahun 2000).
Dilihat dari komposisi penduduknya, Kelurahan Tanjung Benoa termasuk wilayah yang sangat heterogen. Selain dihuni oleh sebagian besar etnis Bali, penduduk desa ini juga berasal dari Sulawesi dan Madura. Lebih-lebih belakangan ini, ketika pariwisata berkembang pesat di wilayah Tanjung Benoa, maka penduduknya tak hanya orang Indonesia, tetapi mereka datang dari seluruh penjuru dunia. Kini tidak hanya Kuta boleh memproklamasikan diri sebagai ''kelurahan internasional'', juga Tanjung Benoa. Bahkan, pernah dalam satu hotel, yaitu Club Mirage -- masuk kawasan wisata Tanjung Bnenoa -- dihuni wisatawan yang berasal dari 32 negara di dunia.
Selain heterogen, Kelurahan Tanjung Benoa juga memiliki keragaman agama: Hindu mayoritas, menyusul Buddha, Islam, Kristen dan Katolik. Di sana juga ada kelenteng, tempat ibadah kaum Kong Ho Chu. Melihat keunikan wilayah Tanjung Benoa sebagai salah satu resor wisata di Bali, Kelompok Media Bali Post mengangkat tema liputan Kawasan Tanjung Benoa sebagai liputan bersama. Kawasan ini diharapkan mampu berkembang lewat industri tak berasap, pariwisata ini. Bagaimana mereka berbenah diri sehingga tak muncul jadi daerah kumuh seperti kota-kota yang sedang berkembang lainnya di Bali dan Indonesia? Kami berusaha menghubungi pihak perencanaan kota di pemerintahan Kabupaten Badung. Kami juga mendapat summary dari Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Pesisir Pantai Tanjung Benoa. Yang jelas, di sana telah tersusun rencana masa depan Tanjung Benoa yang indah nan menawan.
Dibangunnya 12 hotel di kawasan eksklusif BTDC tahun 1980-an, memang sempat membuat para perencana kawasan ini bertanya-tanya, "Desa Tanjung Benoa yang menjadi tetangga utara BTDC akan diapakan?" Semula di Tanjung Benoa ini hanya diperkirakan cocok dibangun perumahan untuk menampung ribuan karyawan hotel yang bekerja di kawasan BTDC, di samping aktivitas wisata tirta kecil-kecilan. Kenyataannya 20 tahun kemudian, kawasan ini berkembang pesat. Tanah yang telah dikuasai investor kemudian dibangun hotel-hotel yang justru menjadi saingan BTDC.
Di kawasan ini sekarang, selain berdiri berbagai jenis hotel (melati, bintang 1, 2, 3, 4, 5, dan butik), atraksi wisata tirtanya yang terbesar dan terlengkap di Bali. Khusus wisata tirta BMR (Benoa Marine Recreation) -- ini yang mengagumkan -- sepenuhnya dikelola oleh penduduk.
Sisi baik dan buruk, positif dan negatif, memang sangat tipis batasnya manakala kita berbicara soal kepariwisataan. Ini terlihat juga di Tanjung Benoa. Dulu, akibat kurang terkendalinya pembangunan, sempat muncul kekumuhan di kawasan ini. Masyarakat membangun berbagai fasilitas kepariwisataan sekendak hati. Mereka tidak lagi mengikuti norma-norma aturan seperti tetangganya, BTDC. Dulu, Tanjung Benoa sama dan sebangun dengan Sanur, Kuta, Candidasa, Lovina, Seminyak, dan Legian.
Untung para pengusaha yang ada di lingkungan Tanjung Benoa cepat sadar, kemudian mereka membentuk Komite Tanjung Benoa tahun 1996. Tujuannya, selain untuk promosi bersama agar Tanjung Benoa sebagai resor wisata semakin dikenal, komite juga mengelola dan menata lingkungan sekitarnya. Masalah sampah dan kebersihan jadi sasaran utama pihak komite sehingga mampu mengubah suasana kumuh menjadi Tanjung Benoa yang bersih dan nyaman. Lalu, dibentuklah pasukan Green Team di masing-masing hotel.
Dampak Sosial Pariwisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:
Dampak terhadap sosial-ekonomi.
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:
1. Dampak terhadap penerimaan devisa,
2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,
3. Dampak terhadap kesempatan kerja,
4. Dampak terhadap harga-harga,
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
6. Dampak terhadap kepemilikan dan control
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Dampak Sosial Budaya
Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
1. Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
2. Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
3. Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’ (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
6. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10. Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):‘Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism’ (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan: “Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.
Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang” (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.
Analisis Dampak Sosial Pengembangan Pariwisata di Tanjung Benoa
Analisis Dampak Sosial Ekonomi
No Indikator Sebelum Pengembangan Sesudah Pengembangan dan dampak
1 Dampak terhadap penerimaan devisa Tidak ada penerimaan devisa Ada penerimaan devisa dalam jumlah signifikan (dampak baik)
2 Dampak terhadap pendapatan masyarakat Pendapatan rendah, dari menangkap ikan Pendapatan tinggi, dari berbagai sumber (dampak baik)
3 Dampak terhadap kesempatan kerja Kesempatan kerja rendah Kesempatan kerja tinggi, disektor pariwisata (dampak baik)
4 Dampak terhadap harga-harga Harga harga rendah Harga harga tinggi (dampak kurang baik)
5 Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan Manfaat belum ada Lebih banyak manfaat daripada kerugian (dampak baik)
6 Dampak terhadap kepemilikan dan control Dominan dikuasai masyarakat lokal Dikuasai sebagian pendatang dan investor (dampak tidak baik)
7 Dampak terhadap pembangunan pada umumnya Pembangunan fisik non fisik lambat Pembangunan fisik non fisik cepat disertai pencemaran (dampak cendrung baik)
8 Dampak terhadap pendapatan pemerintah. Sedikit Banyak dan berlipat Ganda (dampak baik)
Analisis Dampak Sosial Budaya
No Indikator Sebelum Pengembangan Sesudah Pengembangan dan dampak
1 Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya Ketergantungan rendah dengan masyarakat luar, karena kebutuhan dan keinginan masih sedikit Ketergantungan semakin tinggi karena kebutuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (dampak baik)
2 Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat Hubungan sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian Hubungan kurang erat akibat keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik)
3 Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial Organisasi dengan manajemen tradisional Organisasi cenderung mengarah pada manajemen modern (dampak baik)
4 Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata Migrasi masih sedikit Migrasi menjadi semakin banyak (dampak kurang baik)
5 Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat Ritme kehidupan masih lambat Ritme kehidupan meningkat (dampak baik)
6 Dampak terhadap pola pembagian kerja Pembagian kerja masih sederhana Pembagian kerja semakin kompleks (dampak baik)
7 Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial Stratifikasi sangat kental khususnya pemilik tanah sangat dihormati Persamaan derajat, seseorang dihormati atas dasar apa yang diperbuat, dan bukan atas dasar siapa orang tersebut (dampak baik)
8 Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan Pengaruh kekuasaan terpusat Kekuasaan terdistribusi dan terpecah (dampak baik)
9 Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial
Penyimpangan social rendah, masih tuduk pada norma adat Penyimpangan sosial semakin tinggi karena lebih menekankan pada kebebasan individu (dampak kurang baik)
10 Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Kesenian dan adat istiadat masih sangat konvensional Kesenian dan adat istiadat semakin berkembang (dampak baik)
Kesimpulan
Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri. Kondisi sosial masyarakat tanjung benoa berada dalam keadaan yang kondusif dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya, karena masyarakat tanjung benoa merasa bangga terhadap budaya yang mereka miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.
Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di Tanjung Benoa.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tanjung Benoa sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Tanjung Benoa. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di Tanjung Benoa. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Tanjung Benoa. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Tanjung Benoa memerlukan strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Tanjung Benoa ke depan akan mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan pariwisata di Tanjung Benoa.
Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local, Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :
Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.
Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.
Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.
Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor
Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi.. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.
DAFTARPUSTAKA
Anom, I Putu, 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.
Anom, I Putu, Michael Hitchcock and Sunarta I Nyoman. 2005. Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group. Paper Presented at “ 3rd Trans National Patners Meeting of the EU-ASEAN Project Building Research Capacity Pro Poor Tourism “Organized by National University of Laos Faculty of Forestry Department of Forest Management. April 4-7, 2005 in Vientiane Laos.
............. , Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.
............. , Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII.
Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah.
.................. , 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.
Bawa I Wayan, Ardika I Wayan, Suradnya I Made, Parimartha I Gede, Rai AA. Gede, Suratha I Ketut, Anom I Putu. 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.
Choy, Derrylow, 1997, Perencanaan Ekowisata, Belajar dari Pengalaman South East dalam Gunawan (ed) Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Prosedur Pelatihan dan Lokakarya, Penerbit ITB Bandung.
Colman, D, Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editur University of Manchester.
Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.
Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan R.I., 2006, Laporan Hasil Penelitian Pengembangan ODTW di Luar Jawa – Bali.
France, Lesley (ed), 1997, The earthscan Reader in Sustainable Tourism, London. Earthscan Publicitions Limited
Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.
Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.
Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.
Oka, A. Yoeti, 1982, Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Angkasa, Bandung
Paturusi, Syamsul Alam, 2001, Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York
Pitana, I Gede. 1991, Community Management dalam pembangunan Pariwisata, dalam Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999.
Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”,Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.
Sukarsa, dkk I Made., 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Wahab, Salah. 1999. Manajemen Kepariwisataan, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1999).
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorpose dalam berbagai aspeknya. Dampak sosial- pariwisata terhadap kehidupan masyarakat lokal merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit, terutama dari segi metodologis.
Salah satu kendala yang hampir tidak dapat diatasi adalah banyaknya faktor kontaminasi (contaminating factors) yang ikut berperan di dalam mempengaruhi perubahan yang terjadi, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi, maupun sektor-sektor pembangunan lainnya menjadi wahana dalam perubahan sosial-budaya, serta dinamika internal masyarakat itu sendiri. Douglas dan Douglas (1996: 49) mengingatkan bahwa berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai dampak pariwisata semata-mata. Hal ini adalah karena pariwisata terjalin erat dengan berbagai aktivitas lain, yang mungkin pengaruhnya lebih besar, atau sudah berpengaruh jauh sebelum pariwisata berkembang.
Di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, masyarakat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang “internally totally integrated entity”, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada, atau melihat berbagai interest groups, karena dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama- bahkan bisa bertolak belakang- dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Demikian juga mengenai penilaian tentang positif dan negatif, sangat sulit untuk digeneralisasi untuk suatu masyarakat, karena penilaian positif atau negatif tersebut sudah merupakan penilaian yang mengandung ‘nilai‘ (value judgement), sedangkan nilai tersebut tidak selalu sama bagi segenap kelompok masyarakat. Artinya, dampak positif ataupun negatif masih perlu dipertanyakan, “positif menurut siapa dan negatif menurut siapa?” (Pitana, 1999).
Tanjung Benoa Dahulu dan Sekarang
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susiadi et al. pada tahun 2001, masyarakat Tanjung Benoa sekitar 17,01 % dari total usia kerja bermatapencaharian di sektor perikanan terutama perikanan penyu, pedagang perikanan ini terdiri dari beraneka suku di Indonesia (Bugis, Flores, Sulawesi, Madura, dan lain-lain) tetapi mayoritas (87,5 per sen) adalah suku Bali (Susiadi et al., 2001: 31 dan 36).
Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Krippen¬dorf (1987) lebih lanjut melaporkan bahwa pariwisata mempunyai sifat kolonialistis, sehingga merebut independensi masyarakat lokal di dalam proses pengambilan keputusan. Burns and Holden (1995) juga menyebutkan bahwa pariwisata memberikan keun¬tungan sosial-ekonomi pada satu sisi, tetapi di sisi lain membawa ketergantungan dan ketimpangan sosial, atau memperparah ketimpangan yang telah ada.
Dua puluh lima tahun lalu, desa ini terkenal sebagai desa nelayan yang miskin. Penduduknya hanya mengandalkan lahan kering sebagai mata pencaharian. Tanaman jagung, singkong dan kedelai adalah makanan sehari-hari warga Tanjung Benoa. "Dulu, tak ada yang mau tinggal di sini, meski diberi tanah secara gratis," ujar Lurah Tanjung Benoa I Wayan Dibia Adnyana kepada rombongan Kelompok Media Bali Post (Bali Post, Bali Travel News, Bali TV), baru-baru ini. Namun sekarang, katanya menambahkan, harga sejengkal tanah di sini mencapai ratusan ribu rupiah. ''Ya... paling murah Rp 100 juta untuk 100 meter persegi tanah, dan sulit mendapatkannya.''
Dulu, kawasan pesisir Tanjung Benoa tercatat sebagai wilayah miskin di Bali. Sampai-sampai ada orang yang malu mengaku berasal dari sana. Kini, kawasan ini telah menjadi salah satu daerah kaya di Bali dengan income utama masyarakatnya dari jasa pariwisata. Penghasilan bersih masyarakatanya -- setelah dipotong untuk kebutuhan sehari-hari -- paling rendah Rp 1.500.000/bulan, dua kali lipat dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Badung -- kabupaten terkaya di Bali -- yang hanya Rp 10.100.465,01/tahun (data statistik Kabupaten Badung tahun 2000).
Dilihat dari komposisi penduduknya, Kelurahan Tanjung Benoa termasuk wilayah yang sangat heterogen. Selain dihuni oleh sebagian besar etnis Bali, penduduk desa ini juga berasal dari Sulawesi dan Madura. Lebih-lebih belakangan ini, ketika pariwisata berkembang pesat di wilayah Tanjung Benoa, maka penduduknya tak hanya orang Indonesia, tetapi mereka datang dari seluruh penjuru dunia. Kini tidak hanya Kuta boleh memproklamasikan diri sebagai ''kelurahan internasional'', juga Tanjung Benoa. Bahkan, pernah dalam satu hotel, yaitu Club Mirage -- masuk kawasan wisata Tanjung Bnenoa -- dihuni wisatawan yang berasal dari 32 negara di dunia.
Selain heterogen, Kelurahan Tanjung Benoa juga memiliki keragaman agama: Hindu mayoritas, menyusul Buddha, Islam, Kristen dan Katolik. Di sana juga ada kelenteng, tempat ibadah kaum Kong Ho Chu. Melihat keunikan wilayah Tanjung Benoa sebagai salah satu resor wisata di Bali, Kelompok Media Bali Post mengangkat tema liputan Kawasan Tanjung Benoa sebagai liputan bersama. Kawasan ini diharapkan mampu berkembang lewat industri tak berasap, pariwisata ini. Bagaimana mereka berbenah diri sehingga tak muncul jadi daerah kumuh seperti kota-kota yang sedang berkembang lainnya di Bali dan Indonesia? Kami berusaha menghubungi pihak perencanaan kota di pemerintahan Kabupaten Badung. Kami juga mendapat summary dari Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Pesisir Pantai Tanjung Benoa. Yang jelas, di sana telah tersusun rencana masa depan Tanjung Benoa yang indah nan menawan.
Dibangunnya 12 hotel di kawasan eksklusif BTDC tahun 1980-an, memang sempat membuat para perencana kawasan ini bertanya-tanya, "Desa Tanjung Benoa yang menjadi tetangga utara BTDC akan diapakan?" Semula di Tanjung Benoa ini hanya diperkirakan cocok dibangun perumahan untuk menampung ribuan karyawan hotel yang bekerja di kawasan BTDC, di samping aktivitas wisata tirta kecil-kecilan. Kenyataannya 20 tahun kemudian, kawasan ini berkembang pesat. Tanah yang telah dikuasai investor kemudian dibangun hotel-hotel yang justru menjadi saingan BTDC.
Di kawasan ini sekarang, selain berdiri berbagai jenis hotel (melati, bintang 1, 2, 3, 4, 5, dan butik), atraksi wisata tirtanya yang terbesar dan terlengkap di Bali. Khusus wisata tirta BMR (Benoa Marine Recreation) -- ini yang mengagumkan -- sepenuhnya dikelola oleh penduduk.
Sisi baik dan buruk, positif dan negatif, memang sangat tipis batasnya manakala kita berbicara soal kepariwisataan. Ini terlihat juga di Tanjung Benoa. Dulu, akibat kurang terkendalinya pembangunan, sempat muncul kekumuhan di kawasan ini. Masyarakat membangun berbagai fasilitas kepariwisataan sekendak hati. Mereka tidak lagi mengikuti norma-norma aturan seperti tetangganya, BTDC. Dulu, Tanjung Benoa sama dan sebangun dengan Sanur, Kuta, Candidasa, Lovina, Seminyak, dan Legian.
Untung para pengusaha yang ada di lingkungan Tanjung Benoa cepat sadar, kemudian mereka membentuk Komite Tanjung Benoa tahun 1996. Tujuannya, selain untuk promosi bersama agar Tanjung Benoa sebagai resor wisata semakin dikenal, komite juga mengelola dan menata lingkungan sekitarnya. Masalah sampah dan kebersihan jadi sasaran utama pihak komite sehingga mampu mengubah suasana kumuh menjadi Tanjung Benoa yang bersih dan nyaman. Lalu, dibentuklah pasukan Green Team di masing-masing hotel.
Dampak Sosial Pariwisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Meskipun pariwisata juga menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat secara politik, keamanan, dan sebagainya, dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:
Dampak terhadap sosial-ekonomi.
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984), yaitu:
1. Dampak terhadap penerimaan devisa,
2. Dapat terhadap pendapata masyarakat,
3. Dampak terhadap kesempatan kerja,
4. Dampak terhadap harga-harga,
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
6. Dampak terhadap kepemilikan dan control
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
Dampak Sosial Budaya
Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
1. Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
2. Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
3. Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’ (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
6. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10. Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):‘Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism’ (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan: “Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.
Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang” (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.
Analisis Dampak Sosial Pengembangan Pariwisata di Tanjung Benoa
Analisis Dampak Sosial Ekonomi
No Indikator Sebelum Pengembangan Sesudah Pengembangan dan dampak
1 Dampak terhadap penerimaan devisa Tidak ada penerimaan devisa Ada penerimaan devisa dalam jumlah signifikan (dampak baik)
2 Dampak terhadap pendapatan masyarakat Pendapatan rendah, dari menangkap ikan Pendapatan tinggi, dari berbagai sumber (dampak baik)
3 Dampak terhadap kesempatan kerja Kesempatan kerja rendah Kesempatan kerja tinggi, disektor pariwisata (dampak baik)
4 Dampak terhadap harga-harga Harga harga rendah Harga harga tinggi (dampak kurang baik)
5 Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan Manfaat belum ada Lebih banyak manfaat daripada kerugian (dampak baik)
6 Dampak terhadap kepemilikan dan control Dominan dikuasai masyarakat lokal Dikuasai sebagian pendatang dan investor (dampak tidak baik)
7 Dampak terhadap pembangunan pada umumnya Pembangunan fisik non fisik lambat Pembangunan fisik non fisik cepat disertai pencemaran (dampak cendrung baik)
8 Dampak terhadap pendapatan pemerintah. Sedikit Banyak dan berlipat Ganda (dampak baik)
Analisis Dampak Sosial Budaya
No Indikator Sebelum Pengembangan Sesudah Pengembangan dan dampak
1 Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya Ketergantungan rendah dengan masyarakat luar, karena kebutuhan dan keinginan masih sedikit Ketergantungan semakin tinggi karena kebutuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (dampak baik)
2 Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat Hubungan sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian Hubungan kurang erat akibat keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik)
3 Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial Organisasi dengan manajemen tradisional Organisasi cenderung mengarah pada manajemen modern (dampak baik)
4 Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata Migrasi masih sedikit Migrasi menjadi semakin banyak (dampak kurang baik)
5 Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat Ritme kehidupan masih lambat Ritme kehidupan meningkat (dampak baik)
6 Dampak terhadap pola pembagian kerja Pembagian kerja masih sederhana Pembagian kerja semakin kompleks (dampak baik)
7 Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial Stratifikasi sangat kental khususnya pemilik tanah sangat dihormati Persamaan derajat, seseorang dihormati atas dasar apa yang diperbuat, dan bukan atas dasar siapa orang tersebut (dampak baik)
8 Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan Pengaruh kekuasaan terpusat Kekuasaan terdistribusi dan terpecah (dampak baik)
9 Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial
Penyimpangan social rendah, masih tuduk pada norma adat Penyimpangan sosial semakin tinggi karena lebih menekankan pada kebebasan individu (dampak kurang baik)
10 Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Kesenian dan adat istiadat masih sangat konvensional Kesenian dan adat istiadat semakin berkembang (dampak baik)
Kesimpulan
Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri. Kondisi sosial masyarakat tanjung benoa berada dalam keadaan yang kondusif dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya, karena masyarakat tanjung benoa merasa bangga terhadap budaya yang mereka miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.
Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di Tanjung Benoa.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tanjung Benoa sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Tanjung Benoa. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di Tanjung Benoa. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Tanjung Benoa. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Tanjung Benoa memerlukan strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Tanjung Benoa ke depan akan mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan pariwisata di Tanjung Benoa.
Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local, Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :
Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.
Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.
Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.
Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor
Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi.. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.
DAFTARPUSTAKA
Anom, I Putu, 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.
Anom, I Putu, Michael Hitchcock and Sunarta I Nyoman. 2005. Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group. Paper Presented at “ 3rd Trans National Patners Meeting of the EU-ASEAN Project Building Research Capacity Pro Poor Tourism “Organized by National University of Laos Faculty of Forestry Department of Forest Management. April 4-7, 2005 in Vientiane Laos.
............. , Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.
............. , Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII.
Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah.
.................. , 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.
Bawa I Wayan, Ardika I Wayan, Suradnya I Made, Parimartha I Gede, Rai AA. Gede, Suratha I Ketut, Anom I Putu. 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.
Choy, Derrylow, 1997, Perencanaan Ekowisata, Belajar dari Pengalaman South East dalam Gunawan (ed) Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Prosedur Pelatihan dan Lokakarya, Penerbit ITB Bandung.
Colman, D, Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editur University of Manchester.
Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.
Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan R.I., 2006, Laporan Hasil Penelitian Pengembangan ODTW di Luar Jawa – Bali.
France, Lesley (ed), 1997, The earthscan Reader in Sustainable Tourism, London. Earthscan Publicitions Limited
Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.
Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.
Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.
Oka, A. Yoeti, 1982, Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Angkasa, Bandung
Paturusi, Syamsul Alam, 2001, Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.
Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York
Pitana, I Gede. 1991, Community Management dalam pembangunan Pariwisata, dalam Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999.
Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”,Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.
Sukarsa, dkk I Made., 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Wahab, Salah. 1999. Manajemen Kepariwisataan, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha.
BalasHapusEbobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.
Sangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
Bonus yang tersedia saat ini
Bonus new member Sportbook 100%
Bonus new member Slot 100%
Bonus new member Slot 50%
Bonus new member ALL Game 20%
Bonus Setiap hari 10%
Bonus Setiap kali 3%
Bonus mingguan Cashback 5%-10%
Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
Bonus Referral
Minimal deposit hanya 10ribu