Sabtu, Mei 11, 2013

Tantangan Pariwisata Sebagai Sebuah Ilmu Mandiri

Sungguh berbahagia bagi segenap insan pariwisata, karena pariwisata sudah di akui sebagai sebuah ilmu mandiri. Artinya pariwisata sudah sama dengan ilmu ekonomi, hukum, kedokteran,sastra, politik dan sebagainya. Secara legal, pengakuan pariwisata sebagai ilmu dapat dilihat pada pengkodean bidang ilmu oleh DIKTI, dimana pariwisata atau kepariwiasataan mendapat kode 699. Kelahiran pariwisata sebagai ilmu secara formal ditandai dengan keluarnya surat dari Dirjen Dikti Depdiknas No.947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008 yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dapat menyetujui jenjang Program Sarjana (S1) pada STP Bali dan STP Bandung.
Pitana (2008) menyatakan bahwa pengakuan formal terhadap status keilmuan pariwisata hanya merupakan salah satu prasyarat untuk tumbuh kembangnya Ilmu Pariwisata. Pengakuan sesungguhnya akan datang dari masyarakat,  yang akan diuji oleh waktu. Agar lolos dari ujian tersebut, maka penelitian, publikasi, dan pengembangan ilmu pariwisata harus terus dilakukan pada berbagai aspek dan berbagai levelnya.
Diakuinya pariwisata sebagai cabang ilmu, karena memenuhi 3 syarat yaitu Pitana (2009:19) :
  1. Ontologi (Objek atau focus interest yang dikaji)
  2. Epistemologi (metodologi untuk memperoleh ilmu pengetahuan)
  3. Aksiologi (nilai manfaat pengetahuan)
ONTOLOGI
Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek-objek yang dikunjungi, sistem dan organisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponen pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu-buru, dan perlu dibuatkan taksonominya. Fenomena Pariwisata dapat difokuskan pada tiga unsur, yakni (i)pergerakan wisatawan,(ii)aktivitas masyarakat yang memfasilitasi pergerakan wisatawan, dan iii) implikasi  atau akibat-akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas. Ketiga unsur ini memiliki sifat yang melekat pada setiap objek  ilmu pengetahuan. Pergerakan atau perjalanan merupakan salah satu komponen elementer dalam pariwisata. Ia merupakan tujuan dan objek penawaran dan permintaan jasa wisata, termasuk objek kajian berbagai cabang ilmu pengetahuan (Freyer,1995). Salah satu di antara sifat tersebut adalah berulang, beragam, saling terkait dan teratur.
Pergerakan wisatawan berlangsung secara terus menerus dalam skala waktu yang hampir tidak terbatas. Jika dulu hanya kelompok elite masyarakat yang dominan berwisata,  sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat (Hennig,1999), meskipun dengan bentuk, jenis dan cara yang berbeda. Aktivitas masyarakat pun cenderung beragam dan dinamis didalam memfasilitasi pergerakan tersebut. Ada yang menyediakan akomodasi dan adapula yang menyediakan transportasi. Sebagian lainnya menyediakan atraksi wisata, sebagian lainnya memasarkan produk wisata. Bahkan aktivitas tersebut tidak monoton, tetapi bervariasi dalam skala, intensitas, ruang lingkup, dan bidang kegiatan yang dilakukan. Demikian pula halnya dengan implikasi yang ditimbulkannya, yakni berbeda-beda menurut tingkat perkembangan pariwisata itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya keterkaitan (linkages) antara satu unsur (wisatawan) dengan unsur lain, yang dalam hal ini adalah masyarakat di daerah tujuan wisata dan dampak yang ditimbulkannya.

EPISTEMOLOGI
Aspek epistemologi pariwisata menunjuk pada cara-cara memperoleh kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah, yang didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara empirik. Metode pertama yang jamak dilakukan adalah metode penelitian komparatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis suatu masalah di tempat yang berbeda. Dalam konteks pariwisata, metode ini banyak digunakan untuk  menganalisis kasus-kasus  perkembangan destinasi wisata yang memiliki karakteristik khusus di kawasan berbeda, maupun relasi wisatawan  dengan masyarakat di daerah tujuan wisata (Smith dan Krannich 1998).
Metode penelitian eksploratif juga sangat relevan digunakan dalam penelitian objek formal pariwisata. Metode ini bertujuan, misalnya untuk menjelajahi objek-objek kajian pariwisata yang belum terungkap sepenuhnya, sehingga akhirnya dapat ditemukan "fakta" atau kebenaran yang lebih utuh atas suatu objek. Sebagai contoh , wacana umum tentang pergerakan wisatawan menjurus pada pemahaman bahwa wisatawan memiliki karakteristik perjalanan yang seragam. Para ahli tentu tidak puas dengan hal itu karena ada fakta yang tidak sesuai.
Metode lain yang sering digunakan dalam penelitian pariwisata adalah metode deskriptif. Misalnya pengkajian terhadap proses-proses perjalanan dan pertemuan dengan budaya yang berbeda di daerah tujuan wisata dapat dilakukan dengan baik jika menggunakan metode ini.

AKSIOLOGI
 Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Dalam ilmu pariwisata, pertanyaan yang dijawab disini adalah nilai  atau manfaat apa yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan.Kontribusi pariwisata yang lebih kongkret bagi kesejahteraan masyarakat / manusia  dapat dilihat dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda dan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan manusia.

 KAJIAN
Berdasarkan uraian di atas, suatu hal yang patut kita fikirkan bersama sebagai akademisi pariwisata khususnya, bagaimana tanggung jawab dan peran kita dalam  mengemban amanah tersebut di atas. Sudah selayaknya kita patut bersyukur karena pariwisata sudah di akui sebagai cabang ilmu. Namun demikian hendaknya kita selalu beriktiar dalam mengembangkan pariwisata sebagai Ilmu Mandiri, tentunya melalui pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Pada umumnya sebagian dosen dan pengelola perguruan tinggi lebih menekankan aktivitas pengajaran, karena disini lebih menjanjikan dalam meraih penghasilan. Seringkali penelitian dianggap sebagai beban, dengan mengurangi dana untuk penelitian dosen. Sesungguhnya tumpuan mempertahankan dan mengembangkan pariwisata sebagai ilmu terletak pada penelitian, karena melalui penelitianlah unsur epistemologi yang menjadi tulang punggung sebuah ilmu pengetahuan.

Memang sudah sangat layak jika pariwisata dijadikan sebagai sebuah ilmu. Kita dapat lihat fenomena yang ada di Bali saat ini : hotel, restoran, fasilitas hiburan, biro perjalanan wisata, pramuwisata, bank, suplier, pegawai hotel, sekolah pariwisata, dosen pariwisata, hukum bisnis pariwisata, Akuntasi perhotelan, dsb. Menunjukkan bahwa secara ontologis, pariwisata memang memenuhi syarat sebagai ilmu mandiri. Demikian pula secara epistemologi, pariwisata, saat ini sudah banyak penelitian pada bidang pariwisata yang perlu dikembangkan, sedangkan secara aksiologi pun pariwisata memang sudah mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Bali.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar