Persaingan yang semakin kompetitif di industri jasa msnyebabkan industri jasa tersebut diharuskan menerapkan cara-cara atau strategi yang menguntungkan untuk mendeferensiasikan diri mereka terhadap pesaing. Salah satu strategi yang dapat menunjang keberhasilan bisnis dalam industri jasa ini adalah dengan menawarkan jasa dengan kualitas tinggi (Parasuraman, Zeithami dan Berry, 1985). Suatu industri jasa yang memiliki kualitas jasa yang tinggi akan menjadi prasyarat bagi keberhasilan bisnis pada saat ini dan yang akan datang.
Tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa tidak seperti kualitas barang yang dapat digambarkan dan diukur secara obyektif dengan beberapa indikator seperti keawetan dan jumlah kerusakannya, kualitas jasa secara luas tidak mudah terdefinisikan (Garvin, dalam Lovelock, 1994). Penelitian Berry yang dikutip oleh Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1985), kualitas jasa adalah sebuah konsep yang sulit dipahami dan kabur maka seringkali terdapat kesalahan dalam menentukan sifat kualitas sebagai goodness atau luxury ataupun weight. Sehingga kecermatan dalam pengukuran kualitas jasa juga menghadirkan masalah bagi peneliti sehingga mereka sering menggunakan definisi dan dimensi yang berlebihan dalam mengungkap konsep ini (Cronin dan Taylor, 1992; Gotlieb, Grewal dan Brown, 1994; Tavlor dan Baker, 1994).
Terdapat tiga karakteristik jasa yang harus dicermati untuk memahami konsep kualitas jasa secara menyeluruh (Parasuraman, Zeithami dan Berry, 1985,1988). Ketiga karakteristik yang dimaksud adalah:
1. Jasa adalah tidak berwujud (intangibility). Karena wujud jasa merupakan kinerja dari suatu obyek, maka ketepatan dan keseragaman spesifikasi dalam pabrikasi seringkali tidak berwujud dalam satu kesatuan. Umumnya jasa tidak dapat dihitung, diukur, disimpan, dirasakan dan dibuktikan dalam peningkatan penjualan sebagai jaminan atas kualitasnya. Mengingat sifat ketidakterwujudannya tersebut maka perusahaan jasa seringkali menemukan kesulitan untuk mengetahui bagaimana konsumen mempersepsikan jasa mereka dan mengevaluasi kualitasnya (Zeithami, Parasuraman, dan Berry, 1985).
2. Jasa terutama yang padat karya adalah heterogen (heterogenity): kinerja mereka sering bervariasi dari produsen satu ke produsen lain, dari konsumen satu ke konsumen lain. Konsistensi perilakujasa sulit untuk dijamin, karena itu apa yang dikirimkan perusahaan kepada konsumen mungkin secara keseluruhan berbeda dari apa yang diterima konsumen.
3. Proses yang terjadi di antara produksi dan konsumsi jasa tidak biasa dipisahkan (inseparatibility of production and consumption). Sebagai konsekuensinya kualitas jasa tidak dibuat dilokasi pabrikasi kemudian baru dikirimkan secara utuh kepada konsumen. Dalam suatu jasa yang padat karya, kualitas muncul selama proses pengiriman yang biasanya terjadi dalam sebuah interaksi antara konsumen dan personal perusahaan jasa (Garvin, dalam Lovelock, 1994), Perusahaan jasa bisa kehilangan kontrol manajerial atas kinerja jasanya dalam situasi konsumen berpartisipasi secara aktif dan intern karena konsumen akan mempengaruhi proses tersebut. Dalam situasi seperti itu, masukan konsumen menjadi elemen penting yang akan mempengaruhi kinerja suatu jasa.
Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1988) menyarankan tiga tema pokok dalam menentukan kualitas jasa, yaitu: (i) bagi konsumen kualitas jasa adalah sulit diukur dibandingkan dengan kuatitas barang; (ii) persepsi terhadap kualitas jasa adalah hasil dari perbandingan antara apa yang diharapkan konsumen dengan kinerja jasa yang sesungguhnya; (iii) evaluasi terhadap kualitas jasa bukan hanya pada hasil jasa semata, melainkan juga mencakup evaluasi terhadap proses pengirimannya.
SERVQUAL (service quality) secara formal didefinisikan Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1985) sebagaimana dipersepsikan pelanggan sebagai perbandingan dan perbedaan secara langsung antara persepsi jasa bagi pelanggan dan harapannya. Parasuraman, Zeithami, dan Berry (1985, 1988) membagi dalam 10 dimensi, yaitu:
1. Tangibles adalah penampilan fasilitas fisik, peralatan. personil dan komunikasi personal.
2. Realibility adalah kemampuan menjalankan jasa yang dinginkannya secara akurat.
3. Responsiveness adalah kesediaan membantu pelanggan dan menyediakan jasa yang tepat.
4. Assurances adalah jaminan yang diberikan penyedia jasa kepada pelanggannya.
5. Emphaty merupakan pengertian penyedia jasa terhadap perasaan pelanggannya.
Meskipun SERVQUAL alat yang teruji validitas dan reliabilitasnya untuk mengukur kualitas jasa namun ada 3 masalah potensial yang muncul (Clow dan Kurtz, 1998):
1. SERVQUAL mengukur harapan pelanggan terhadap perusahaan ideal dalam suatu industri jasa tertentu sehingga memperlebar gap antara penyedia jasa ideal yang diharapkannya dengan penyedia jasa aktual yang diterimanya. Hal ini karena ketika konsumen jasa menentukan pilihannya maka harapannya adalah jasa yang diterimanya terbaik dan memenuhi semua harapan dan keinginannya sehingga ketika jasa yang diterimanya kurang dari harapannya maka ada kesenjangan kekecewaan pada diri konsumen jasa tersebut.
2. SERVQUAL adalah generic (umum) dan tidak- mengukur variabel dalam suatu industri tertentu, Serqual signifikan pada 2 industri (pest control dan fast food) sedangkan Servperf signifikan pada 3 industri: banking, pest control and dry cleaning (Cronm dan Taylor 1994). Sehingga berimplikasi perlunya alat pengukur kualitas jasa yang disesuaikan dengan bidang jasa tertentu.
3. Metodologi gap yang digunakan untuk mengukur tingkat kualitas jasa menimbulkan bias tanggapan konsumen karena pengukuran harapan konsumen dilakukan setelah mengkonsumsi Jasa (Clow danVorlves 1993).
Sementara itu Cronin dan Taylor (1992) menyatakan bahwa dalam ketiadaan ukuran yang obyektif sebuah pendekatan yang tepat untuk memperkirakan kualitas dari suatu perusahaan jasa adalah dengen mengukur kineija dari jasa yang dikonsumsi oleh konsumen.
SERVPERF: Pengukuran Kualitas Jasa berdasarkan Kinerja. Prosedur dalam pengembangan skala SERVQUAL dilakukan dengan mengukur validitas dari 22 item skala. Namun demikian bagaimana ukuran kualitas jasa harus disusun dan apakah ke 22 item menggambarkan kelima dimensi kualitas jasa masih menjadi masalah (Cronin dan Taylor, 1992). Dalam kenyataannya banyak bukti yang menyebutkan bahwa gambaran kelima yang ada tidak konsisten bila digunakan untuk analisis cross-sectional (Carman, 1990). Carman menemukan beberapa dari item yang ada tidak mengandung komponen yang sama ketika dibandingkan di antara berbagai jasa yang berbeda.
SERVPERF (service performance) merupakan pengukuran kualitas jasa berdasarkan kinerja yang dikembangkan Cronin dan
Kinerja jasa merupakan perbaikan atau penyempumaan dari teori SERVQUAL dan salah satu keunggulan SERVPERF merupakan keefisienannya dibandingkan skala SERVQUAL karena 50 % item dari 44 menjadi 22 dan SERVPERF lebih konsisten (Cronin dan Taylor 1992). Kritik utama terhadap SERVQUAL yang menggunakan metodologj gap, dicoba diperbaiki oleh SERVPERF yang mengukur kualitas jasa hanya berdasarkan kinerjanya saja. Parasuraman, Zeithami dan
1. Dimensi kualitas jasa lebih spesifik dibanding dimensi kepuasan konsumen.
2. Harapan terhadap kualitas jasa didasarkan persepsi ideal keunggulan jasa sedangkan kepuasan konsumen berdasar beberapa isu yang mungkin tidak unggul. Hal ini dikarenakan hal-hal yang membuat konsumen puas atau tidak bersifat subyektif dan setiap orang mempunyai sebab-sebab kepuasan yang mungkin bagi orang lain hal tersebut tidak mempengaruhi kepuasannya.
3. Persepsi terhadap kualitas jasa tidak membutuhkan pengalaman dengan penyedia jasa sedangkan kepuasan konsumen memerlukan pengalaman dengan penyedia jasa. Pada dasamya SERVPERF tidak berbeda skalanya dengan SERVQUAL yaitu terdiri dari 5 dimensi utama Tangibles, Reliability. Responsiveness, Assurance, dan Emphaty tetapi menggunakan 22 item performance dan menghilangkan 22 item expectation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar