Dark Tourism(1): Cara Berwisata Masyarakat Posmo? By Jones Sirait |
20 Maret 2009 | |
Buana Katulistiwa- Terminologi “Dark Tourism” mungkin belum begitu akrab dalam telinga banyak orang. Hal itu tidak mengherankan sebab secara konsep, terminologi itu belum lama usianya jika dibandingkan dengan “Eco-Tourism” yang sebelumnya sudah populer, bahkan telah menjadi fenomena tersendiri dalam pariwisata dunia. Sebagai sebuah terminologi baru dalam konsepsi akademis, kata itu pertama kali diperkenalkan oleh Malcolm Foley and J John Lennon (1996), melalui buku mereka “Dark Tourism: The Attraction of Death and Disaster”. Lalu berkembang semakin meluas pada 2003-2005, melalui munculnya berbagai diskusi, publikasi dan penelitian yang berkait dengan terminologi ini. Terus terang ada kesulitan tersendiri untuk menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkan kata “Dark Tourism” yang tak lain adalah sebuah istilah yang berhubungan dengan perjalanan wisata ke tempat-tempat yang berkait dengan kematian (death-related), tragedi dan atau kekejaman. Ia jauh lebih luas dari sekadar wisata bencana alam. Ada beberapa pilihan kata yang sulit. Misalnya “Wisata Gelap”, “Wisata Kelam” atau “Wisata Hitam” atau “Wisata Duka”? Kesulitannya adalah jika pilihannya “Wisata Gelap” konotasi yang lahir adalah sebuah perjalanan wisata yang dilakukan pada malam hari atau ada pula kesan semacam wisata yang berkaitan dengan kemaksiatan (karena kata “gelap-gelapan” yang menyertainya. Jika “Wisata Hitam” ada ekses buruk terhadap rasial, sedangkan “Wisata Kelam” ada kesan kejanggalan di situ, dan tentu saja beberapa istilah ini “tidak menjual” sebagaimana tujuan awalnya. Saya sendiri sebenarnya lebih senang menggunakan istilah dasar, yaitu “Darkwisata” atau “Darkturisme” seperti yang dilakukan pada “eco-tourism”, yang banyak kalangan kemudian meng-Indonesia-kannya sebagai “Ekowisata” atau “Ekoturisme”. Meskipun dari segi penggunaan bahasa Indonesia yang benar memang akan mengundang berbagai perdebatan. Philip R Stone (dalam e-Review of Tourism Research (eRTR), Vol. 3, No. 5, 2005) atau Stephanie Marie Yuill (dalam thesisnya berjudul Dark Tourism: Undertanding Visitor Motivation at Sites of Death and Disaster, 2003) mencatat, ada beberapa terminologi yang sebelumnya pernah muncul yang berkait dengan istilah “Dark Tourism - walaupun dari segi motivasi ada perbedaan-perbedaan penekanan-, seperti “thanatourism” (Seaton, 1996), “holiday in hell” (O’Rourke, 1988), “morbid tourism” (Blom, 2000), “black-spot” tourism (Roject, 1993) atau “milking the macabre” (Dann, 1994). Foley dan Lennon sendiri mendisktipsikan “Dark Tourism” sebagai “the phenomenon which encompasses the presentation and consumption (by visitors) of real and commodified death and disaster sites”, tanpa terkait dengan sikap “melakukan atau tidak melakukan sesuatu” dari wisatawan. Sehingga menurut mereka, teman, saudara korban bukanlah termasuk Dark Tourism. Hal ini pula yang membedakannya dengan “Thanatourism” yang diperkenalkan Seaton, yang menekankan pada dua faktor yaitu perilaku dan ketidakabsolutan, dalam arti penekanan pada motif yang menaruh perhatian pada kematian. Dia kemudian memperkenalkan lima kategori aktivitas yang berkaitan dengan turisme kematian berdasarkan motivasi si wisatawan. Kelimanya adalah: 1. Travel to watch death (i.e. public hangings or executions; 2. Travel to sites after death has occurred (i.e. Auschwitz); 3. Travel to internment sites and memorials (i.e. graves and monuments); 4. Travel to re–enactments (i.e. Civil War re–enactors); dan 5. Travel to synthetic sites at which evidence of the dead has been assembled (i.e. museums). Sementara Foley dan Lennon membagi “Dark Tourism” ke dalam lima tipe yaikni : Witness, Death Sites, Visiting Cemeteries/Internment Sites/Memorial, Visiting Musem and Exhibitions dan Re-enactment/Staged Events. “Posmo” Kematian dan bencana telah menjadi tujuan wisatawan, yang oleh beberapa literatur pariwisata meyakini sebagai bagian dari budaya post-modernisme yang signifikan mempengaruhi produk wisata. Masyarakat dunia sepertinya telah meninggalkan turisme masa tradisional, menuju apa yang disebut Munt (1994) sebagai turisme post-modern (Posmo). Turisme ini, sebagaimana diungkapkan Stephanie Marie Yuill (2003) ditandai dengan pengejaran tujuan dan pengalaman baru melalui beragamnya produk, mulai dari ekoturisme ke turisme warisan sejarah, yang lebih otentik, jujur, berkait dengan masyarakat lokal (pribumi), menaruh perhatian pada lingkungan dan kesinambungan pengalaman perjalanan. Atau juga seperti kata Light (2000), wisatawan yang memiliki peningkatan penekanan pada intelektualisasi liburan dengan penekanan pada studi dan pelajaran. Sebab wisatawan ini menghendaki adanya peningkatan cultural capital mereka. Hal ini diakui pula oleh Folley dan Lennon, bahwa fenomena perkembangan “Dark Tourism” sangat dipengaruhi antara lain oleh media dan peran pentingnya sebagai elemen edukasi bagi wisatawan. Sebab menurut dia, masyarakat sekarang merupakan masyarakat yang rasional, yang lebih membutuhkan sesuatu wisata yang bukan dibuat-buat atau fiksi melainkan sesuatu yang nyata terjadi. Rojek (1993) mengungkapkan dalam masyarakat postmodern setiap orang merupakan perpindahan dari masa sekarang. Baik bagi masyarakat di lokasi destinasi maupun bagi wisatawan. Dalam banyak manfaat sebuah memorial, unsur mengenang dan pembelajaran menjadi unsur penting di sana. Dan, harus pula diterima fakta bahwa turisme akan tetap datang (karena kebutuhan tadi), meskipun masyarakat lokal ingin melupakannya. Sebuah tragedi bencana atau yang berkait dengan kematian, menjadi pusat pemberitaan dunia yang pada sisi lain telah memancing keinginan orang-orang untuk melihatnya secara langsung, untuk sekadar menambah pengalaman hingga mengenang dan mengambil hikmah dari tragedi itu. Kita telah menyaksikan bagaimana serangan bom di Bali, dan menyaksikan banyak darah, luka, kematian, tangisan dan kesaksian-kesaksian keluarga yang kehilangan. Kita telah menyaksikan pula bagaimana keprihatinan, kecaman, kutukan dan perburuan sengit diberikan kepada para pelakunya. Untuk sesaat muncul ketakutan melakukan perjalanan, namun tak lama kemudian justru mendorong wisatawan yang ingin tahu berdatangan. Itulah realitas pariwisata saat ini. Di berbagai belahan dunia, tempat-tempat kematian dan bencana telah memancing kunjungan jutaan wisatawan. Mulai dari Ground Zero World Trade Center (New York), Auschwitz-Birkenau, Anne Frank’s House, Graceland, Oklahoma City, Gettysburg, Vimy Ridge, the Somme, Arlington National Cemetery, pembantaian manusia di Kamboja, Maritime Museum di Liverpool (Inggris), Taj Mahal (India), The Pyramids (Mesir), Xian Terracotta warriors, Dallas 6th Floor. Beberapa catatan mengungkapkan bahwa pada tahun 2000, tercatat 434.000 wisatawan mengunjungi Memorial dan Museum Auschwitz-Birkenau, yaitu kamp yang diketahui telah menjadi tempat kematian sekitar 1,5 juta orang sepanjang Perang Dunia II. Pada 1998, Anne Frank House di Amsterdam dikunjungi 822.700 wisatawan. Tahun 1999, Alamo in San Antonio menjadi tempat terbanyak dikunjungi wisatawan di Texas, dengan wisatawan 2,5 juta orang, untuk melihat tempat kematian 179 orang dalam mempertahankan visi kemerdekaan Texas. Kapal Titanic, pada The Maritime Museum of Atlantic di Halifax, Nova Scotia, terus mengalami peningkatan kunjungan, contohnya pada 1997 dikunjungi 112.600 orang lalu meningkat dua kali lipat 1998 menjadi 244.000 wisatawan. Demikian juga dengan The National Voting Right Museum and Institute di Selma, Alabama, sejak dibuka 1993 setiap tahunnya dikunjungi lebih dari 480.000 orang wisatawan, untuk melihat perbudakan dan gerakan kelompok kulit hitam yang memperjuangkan Apartheid. Namun begitu, selain dari sisi mendatangkan wisatawan, peran penting Dark Tourism sangat penting dalam upaya dokumentasi sejarah. Jenis wisata ini tentunya akan mendorong semua pihak yang terlibat dalam studi sejarah maupun sosial budaya akan memberikan sumbangsih besar untuk menggali dan melestarikan dokumentasi-dokumentasi penting yang seringkali terabaikan sebelumnya. Bagaimana momentum ini dapat digunakan untuk memperkuat pariwisata Indonesia yang telah sekian lama berada dalam kejenuhan, baik dari segi produk, destinasi, maupun negara pasar wisatawan? (jones sirait/dari berbagai sumber) |
mantab, Jones sirait dalam artikel ini. "Darkturisme" sepakat dengan istilah ini, saya mengambil sarinya bahwa darkturisme dapat dijadikan refleksi peradaban, kelak jangan terjadi perilaku manusia untuk hal sejenis atau yang lebih parah. khususnya yang dark turisme akibat aktivitas alam, menjadikan peradaban manusia bersahabat dengan alam, tidak merusak, menempati tempat yang secara alamiah memang sudah bahaya. berlindung dari pengetahuan dark turisme untuk bertindak tidak menjadi korban bencana alam. Pak Jones kapan dipetakan untuk Indonesia 'DTW darkturisme"?
BalasHapus