ABSTRACT
This research
aims to find out the factors affect degredation of life environment in Teluk
Benoa as a result of interaction of power in gaze of culture perspectife on
Michael Foucoult view of power concept. Qualitative method is applied in this research,
data collected by interview, observation and literature study. Based on
Foucaldien view, the negative effect of tourism development in Teluk Benoa such
as : water polution, wastage, air pollution are caused by dominant power of
economic which is played by agents as organic conservative in all causal
relations between local people, and tourist. The solution sugeseted is making
an effort for ballancing the relation between the organic intelectual
conservative and organic intelectual progressive
also supported by traditional intelectual. Educating the awareness of quality
environment and concept of sustainable tourism development concept on local
people are also sugested.
Keywords : Life
Environment, Power, Foucaldian View
Pendahuluan
Praktik kekuasaan
dalam pengembangan kepariwisataan di
Bali menunjukkan bagaimana Bali saat ini. Kekuasaan yang sering dipandang dalam
pengembangan pariwisata, sering ditujukkan kepada badan eksekutif, legislatif,
yudikatif, media, akademisi, tokoh tradisional, kelompok tradisional, dan
kelompok modern (Wirawan,2013), dimana dalam hubungan tersebut terdapat
dominan-subdominan, atasan-bawahan, besar-kecil, menindas-tertindas,
mempengaruhi-dipengaruhi. Dari perspektif ‘Barat’, pariwisata sering dipandang
sebagai keputusan individual dari wisatawan. Hubungan antara wisatawan dan
masyarakat lokal sering kali dianggap sebagai sebuah hubungan antara atasan dan
bawahan, raja dan budak, atau kelas atas dan kelas bawah (Cheong dan Miller,
2000). Praktik kekuasaan semacam ini memang dirasakan dalam fenomena kehidupan
sehari-hari.
Namun demikian,
terdapat pandangan yang berbeda terhadap konsep kekuasaan. Michael Foucoult
(1978) dimana konsep kekuasaan yang menyebar dimana-mana dan bersumber
dimana-mana, mendapat dukungan dari pengetahuan dan berkaitan dengan
pengetahuan (Prasiasa, 2013). Berdasarkan pandangan ini, maka kekuatan ada pada
setiap sisi pelaku pariwisata (Chong dan Miller,2000).
Namun demikian, apabila
praktik kekuasaan ini dilakukan dengan sempurna dalam konsep keseimbangan, maka
tentunya menghasilkan sesuatu yang sempurna pula. Tidak demikian kenyataannya.
Praktik kekuasaan di Bali, khususnya dalam bidang kepariwisataan menunjukkan hal yang tidak
sempurna. Berbagai masalah yang dihadapai sebagai konsekuensi pembangunan
pariwisata yang secara intensif mulai dilakukan semenjak era 70’an sampai saat
ini, mulai dari masalah sosial-budaya (komodifikasi, akulturisasi,hegemoni)
sampai dengan masalah sampah, kemacetan, abrasi pantai, (Dharma Putra,2010)
urbanisasi, pembangunan yang tidak merata.
Perhatian yang cukup
mendalam terhadap Bali sebagai daerah
tujuan wisata sudah dilakukan sejak jaman penjajahanBelanda, ditandai dengan
dibangunnya Pelabuhan Udara Tuban pada Tahun 1930 oleh Departement Voor Verkeer
en Waterstaats. Bali mendapat prioritas pembangunan karena telah mendapat
kunjungan wisatawan asing jauh sebelum Bangsa Indonesia lahir (Suara Indonesia
dalam Wijaya,2012). Selanjutnya dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1968, Presiden Suharto memberikan
prioritas pembangunan kepariwisataan di Bali, mengingat potensi yang luar biasa
yang dimiliki oleh Bali. Semenjak itu mulailah pembangunan di bidang pariwisata
dilakukan, antara lain dengan (i) Menekankan pariwisata budaya sebagai hal yang
harus dikembangkan, (ii) resort pariwisata harus disebarkan ke seluruh pulau
sehingga tercipta pemerataan ekonomi, (iii)memperkuat identitas budaya Bali, di
mata seluruh Bangsa Indonesia dan internasional.
Narya (2010) secara
kelembagaan, pariwisata Bali dikelola oleh perusahaan pelayaran Belanda (Koninklijk Paketvarrt Maatschupij) 1920,
dimana pada saat itu Bali sudah mulai dipromosikan sebagai daerah tujuan
wisata. Selanjutnya SCETO pada tahun 1971 menyusun masterplan pengembangan
pariwisata Bali, dengan menetapkan Sanur, Nusa Dua dan Kuta sebagai Tourist
Resort.
Untuk meningkatkan
layanan pada wisatawan, maka pada era
80-90an pemerintah mengembangkan kawasan Nusa Dua bersama BTDC (Bali
Tourism Development Corporation), dimana saat ini kawasan tersebut menjadi
kawasan elit yang mampu meningkatkan citra Bali sebagai destinasi wisata
bertaraf internasional. Masa-masa ini adalah masa keemasan pariwisata Bali,
dimana pada saat itu terjadi keseimbangan antara jumlah kamar yang dibangun
dengan jumlah wisatwan yang datang.
Semua pihak pada saat itu merasakan kebahagiaan dari pembangunan pariwisata,
karena prinsip-prinsip keseimbangan dan
keharmonisan sudah diterapkan dalam pengembangan pariwisata Bali (Narya,2010)
Keberhasilan
pengembangan pariwisata pada saat itu, mengundang hasrat untuk terus
‘membangun’ fasilitas-fasilitas pariwisata, seperti hotel, restaurant, tempat
perbelanjaan-apapun-yang dapat segera menghasilkan uang, tanpa memikirkan
konsep keseimbangan terhadap alam, lingkungan dan budaya. Akibatnya, dapat
dirasakan dampak negatif dari pengembangan pariwisata tersebut saat ini,
seperti : (i) abrasi 91,070 km dari total 436 km panjang garis pantai yang ada,
(ii) lahan kritis seluas 286.938 hektar, (iii) suhu udara naik mencapai 33
derajat celcius, (iv) kemacetan lalulintas dikawasan Bali selatan, (v) sampah
plastic, (vi) pencemaran udara, (vii) Banjir di daerah Denpasar dan Kuta.
Kawasan Teluk Benoa,
yang memiliki posisi strategis di Provinsi Bali, karena menjadi pintu gerbang
Bali dari arah laut dan udara, serta menjadi penyangga ekosistem Bali, ternyata
mengalami kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran terhadap air laut yang
disebabkan antara lain karena aktivitas di Pelabuhan Benoa dan sampah-sampah
dari Denpasar (Dharma Putra,2010). Meskipun sudah menggunakan ISO 14001, yang
artinya menggunakan manajemen lingkungan hidup terpadu, namun demikian
kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa sampah masih terlihat berserakan
disana-sini, endapan minyak di pinggir pantai, dan Pelabuhan Benoa yang tampal
semrawut dan kotor.
Sampai saat ini begitu
marak terjadi pro-kontra di masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam
pengembangan kepariwisataan Bali, misalnya (i)pembangunan Bali International
Park, (ii) Pembangunan Bandara Internasional di Buleleng, dan (iii) Reklamasi
Tanjung Benoa. Kondisi ini menunjukkan betapa dinamisnya pengembangan
pariwisata di Pulau Bali, dimana sangat terasa semua aktor pengembangan
pariwisata berperan aktif didalamnya, mulai dari kalangan masyarakat proletar,
wisatawan, dan broker (Cheong dan Miller, 2000)
yang meliputi pemerintah sebagai pembuat regulasi, pengusaha sebagai
penyedia sarana dan prasarana, supplier/pemasok wisatawan (biro perjalanan
wisata).
Jika dilihat dari sudut
pandang sosial budaya (Wijaya,2012) dalam pandangannya terhadap pengembangan
budaya Bali bali dengan pendekatan pandangan Foucoult, yang menilai bahwa
terdapat relasi kekuasaan antar seluruh pelaku pariwisata budaya, yang pada
akhirnya kemenangan diperoleh kaum intelektual organic konservatif dimana
konteks Hindu yang dikembangkan di Bali, lebih mengarah kepada konsep rituil,
dengan pertimbangan pengembangan pariwisata untuk kesejahteraan, yang memang
sudah terbukti nyata, meskipun di sisi lain masih menyisakan dampak negatif
sebagai sebuah konsekuensi.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di
atas, maka sangat menarik untuk di kaji, faktor-faktor apakah yang menjadi
penyebab penurunan kualitas lingkungan di kawasan Teluk Benoa, dilihat dari
sudut pandang hubungan kekuasaan dalam perspektif budaya?
Kajian Pustaka
Pengertian Kekuasaan
Menurut Filusuf Terkemuka
Pandangan mengenai
kekuasaan dimulai dari jaman filusuf terkemuka Niccolò Machiavelli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1679), Max Weber (1864-1920) lebih sering mendeskripsikan
bahwa kekuasaan merupakan dikotomi, monolog, dimana kuasa dipegang satu pihak
yang superior atas pihak inferior untuk mencapai keinginannya. Pandangan ini
berubah dengan dimulainya Friedrich Nietzsche (1844-1900), filsuf terkenal asal
Jerman, mendefiniskan kuasa secara filosofis. Ide-ide Nietzsche tentang kuasa
muncul terutama dalam karyanya Der Wille zur Macht (The Will to Power, 1968),
dalam Pandingan (2007). Nietzsche beranggapan bahwa tak seorang pun yang
perilakunya tidak dimotivasi oleh Kehendak-untuk-Kuasa. Kuasa merupakan tujuan
dari segala sesuatu. Pengetahuan, misalnya, bekerja sebagai instrumen kuasa.
Pengetahuan merupakan sarana mencapai
kekuasaan. Ini berarti kehendak untuk mengetahui sesuatu tergantung pada
kehendak untuk menguasai. Dengan demikian tujuan pengetahuan bukanlah untuk
menangkap kebenaran absolut pada dirinya melainkan untuk menundukkan sesuatu.
Dengan pengetahuan kita menciptakan tatanan, merumuskan konsep-konsep, memasang
skema-skema pada kenyataan yang sebenarnya senantiasa berubah-ubah. Pengetahuan
mengubah “menjadi” (becoming) yang dinamis, menjadi “ada” (being) yang statis.
Usaha tersebut tentu tak kurang dari sebuah penaklukan. Karena itu tidak
mengherankan kalau pengetahuan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya kekuasaan
(Nietzhe, 1968)
TABEL 1
ARTI KEKUASAAN MENURUT FILUSUF TERKEMUKA
ARTI KEKUASAAN MENURUT FILUSUF TERKEMUKA
ARTI
|
KATA
KUNCI
|
|
GIBSON
|
Kekuasaan adalah Kemampuan
seseorang untuk memperoleh seuatu sesuai dengan cara yang dikehendaki
|
Kemampuan
|
WEBER
|
Kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok
orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan- kemauannya
sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan
dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.
|
Kesempatan
|
LEWIN
|
Kekuasaan adalah kemampuan potensial dari
seseorang/kelompok orang untuk mempengaruhi yang lain dalam sistem yang ada.
|
Kemampuan,
Pengaruh
|
NIETZSCHE
|
Kemampuan
manusia untuk merealisasikan segala kehendaknya, sehingga kekuasaan merupakan hal mutlak yang
diperlukan bagi setiap manusia agar ia dapat melangsungkan atau melaksanakan
kehidupannya dengan baik di dunia
|
Hal
Mutlak
|
HOUSE
|
Kapasitas
atau kemampuan untuk menghasilkan dampak atau akibat pada orang lain
|
Kemampuan
|
BASS
|
Potensi
untuk mempengaruhi orang lain
|
Pengaruh
|
WAGNER
DAN HOLLENBECK
|
Kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhiperilaku orang lain, dan kemampuan untuk
mengatasi (bertahan dari) pengaruh
orang lain yang tidak diinginkan
|
Mengatasi
Pengaruh
|
ROBBINS
DAN JUDGE
|
Kekuasaan
adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku orang lain, sehingga
orang lain tersebut akan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh orang
yang memiliki kekuasaan
|
Pengaruh,
Kepatuhan
|
Sumber
: Cheong dan Miller,2000; Wulandari,2007;Marianti,2011, dan Hannam,2002.
Berdasarkan Tabel 1 di
atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan adalah “Kemampuan dan kesempatan
sesorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi atau mengatasi pengaruh
dari orang atau sekelompok orang yang lain, sehingga sesorang atau sekelompok
orang tersebut tunduk/patuh.
Kekuasaan atau kuasa merupakan istilah
yang tidak tunggal. Terdapat banyak arti dan perspektif tentangnya. Namun dalam
pengertian yang paling luas, kata kuasa berarti kemampuan menciptakan dampak-dampak untuk
membuat perubahan (Ritzer : 2005). Kuasa yang dipraktekkan manusia umumnya
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain untuk
melakukan hal yang sebenarnya bukanlah pilihannya sendiri (Budiardjo,2005) .
Kekuasaan dalam Pandangan Michel Foucault
Kekuasaan dalam Pandangan Michel Foucault
Pandingan (2007) Sementara itu, Michel Foucault (1926-1984)
juga dikenal sebagai filsuf yang mengkritik pandangan arus utama tentang kekuasaan. Ia
tidak memandang kekuasaan sebagai suatu milik yang bisa dikuasai dan digunakan
oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas yang lain, seperti
dikatakan Marx. Bukan pula kemampuan subyektif untuk mempengaruhi dan
mendominasi orang lain seperti pandangan Weber. Kekuasaan tidak sekadar
terkonstentrasi di tangan para penguasa struktur-struktur yang menonjol seperti
negara, perusahaan dan organisasi agama.
Menurut Foucault, “kuasa adalah nama yang diberikan kepada
situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu” (Foucault,1997).
Dalam hubungan itu, kata Foucault, tentu saja ada pihak yang di atas dan di
bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini tidak berarti
kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan
menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita
semua. Kekuasaan ‘merasuki’ seluruh bidang kehidupan manyarakat modern.
Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan,
dalam keluarga, di sekolah, kampus, dsb. Kekuasaan dilaksanakan dalam tubuh
bukan sebagai milik melainkan sebagai strategi yang menyebar dalam masyarakat
modern.
Selain itu Foucault menentang pendapat bahwa kuasa
semata-mata bersifat negatif dan represif (dalam bentuk larangan dan kewajiban)
seperti dirumuskan dalam konsepsi yuridis tentang kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan justru beroperasi secara
positif dan produktif. Bagi Foucault pelaksanaan kekuasaan terus-menerus
menciptakan pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya
menimbulkan efek-efek kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan terkait satu sama
lain dan kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu saat pengetahuan tidak lagi
bergantung pada kekuasaan. Tidak mungkinlah melaksanakan kekuasaan tanpa
pengetahuan seperti juga mustahil ada pengetahuan yang tidak mengandung
kekuasaan (Foucoult, 1980)
Sudut
pandang Foucault di atas tampak berbeda dengan kebanyakan pemikir lain. Filsuf
ini menggarap secara ekplisit tema kuasa dan pengetahuan seraya membalikkan
pandangan modernisme (misalnya: Francis Bacon) yang menganggap bahwa
pengetahuanlah yang menjelmakan diri dalam kekuasaan agar pengetahuan itu
efektif. Foucault menolak pandangan ini. Sebaliknya, ia memandang bahwa
kekuasaanlah yang menjelma ke dalam pengetahuan agar kekuasaan efektif.
Menurutnya, pengetahuan dilahirkan dalam bingkai kekuasan agar kekuasaan itu
dapat efektif dan operasional.
Selanjutnya Pandingan (2007) Seperti halnya pada Nietzsche,
tampak pula bahwa konsep kuasa Foucault di atas menampilkan substansi (apa) dan operasi
(bagaimana) fenomena kuasa dalam keseharian. Secara substansial Foucault
menyatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan terus-menerus menciptakan pengetahuan
dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek-efek kekuasaan.
Selain itu Foucault juga menunjukkan bahwa secara operasional kekuasaan adalah
strategi yang menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana seperti jejaring yang
menjerat siapapun. Pengetahuan dan kuasa saling mengandaikan. Kuasa menjelma ke
dalam pengetahuan agar ia operatif dan efektif merasuki alam bawah sadar setiap
orang melalui kebudayaan yang memikat, nilai-nilai yang memukau, dan
kebijakan-kebijakan yang baik (kuasa lunak), sebagaimana juga melalui tekanan,
sanksi, bayaran, suap (kuasa keras). Jadi pengetahuan menghasilkan baik
sumber-sumber kuasa lunak maupun kuasa keras.
Pandangan Foucault yang menilai kuasa bukanlah negatif
melainkan positif dan produktif menyiratkan bahwa kuasa dapat dirawat dan
diefektifkan melalui pengetahuan, yaitu membentuk citra yang baik untuk segala
kepentingan pemegang kekuasaan. Dalam memproduksi citra, tatanan dan
normalitas, rezim pengetahuan selalu menindas pengetahuan yang lain (“minor
knowledge”) yang karenanya ‘pengetahuan marjinal’ tersebut juga sebetulnya
memiliki kuasa untuk berbalik menindas.
Kekuasaan
dalam Pariwisata dalam Pandangan Michael Foucoult
Kekuasaan dalam pariwisata
sangat dipengaruhi oleh efek dari globalisasi, dimana ekonomi, politik dan
budaya memberikan pengaruh pada pariwisata. Boleh jadi, sebagai sebagai hasil,
penelitian pada pengembangan pariwisata sudah dimulai untuk focus secara lebih
eksplisit pada konsep kekuasaan itu sendiri. Secara nyata, ini berarti
pergeseran dari konsep kekuasaan politik dan ekonomi menuju kepada sebuah
pengujian pada hubungan social dan budaya sebagai sebuah kekuatan dalam
pariwisata (Mowforth and Munt,1998), beserta fakta-fakta dari pandangan
foucouldian terhadap kekuasaan (Miller dalam Hannam (2002:229).
Untuk menggambarkan
secara eksplisit, dengan memperhatikan cara wisatawan untuk melihat destinasi
wisata memiliki kekuatan yang sama dengan manipulasi yang dilakukan oleh
perwakilan wisatawan (travel agent). Hannam (2002:232) Tidak dapat dipungkiri,
bahwa institusi dalam pariwisata memiliki peranan penting karena memiliki
kekuasaan dalam pengembangan pariwisata itu sendiri dan serin g kali terlibat
dalam posisi yang berlawanan, satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa
akademisi memiliki peranan yang kuat dalam pengembangan pariwisata. Hughes
(2001) menunjukkan aktivis lingkungan hidup menuntut penutupan Dolphinarium
melalui komunikasi (1984) menggambarkan bahwa professional/praktisi pariwisata,
institusi pemerintah, politik dan pengetahuan memiliki peranan dalam
pengembangan pariwisata. Selanjutnya Hannam (2002) pendekatan politik, ekonomi,
budaya dan lingkungan memiliki kekuatan dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam sector pariwisata sebagai bahan kajian dalam
pengembangan pariwisata dan pengembangan riset pariwisata.
Cheong dan Miller
(2000:371) Luaran dari pariwisata sering dipandang sebagai akibat perilaku
wisatawan dalam menikmati kegiatan wisata pada daerah tujuan wisata. Pengaruh
dari pariwisata terhadap kehidaupan social sering kali dianggap negative.
Dengan pandangan konsep kekuasaan dari Michael Foucault terhadap konsep
kekuasaan, dimana kekuatan sering kali dianggap sebuah presentasi dari system
tripartite dari wisatawan (tourist),
masyarakat (local) dan pengusaha
(brokers). Pandangan Foucaldian mengungkap bahwa wisatawan sepertinya sebagai
criminal/pesakitan, yang seringkali mendapat kecaman-kecaman, sehingga
disarankan perlu peningkatan terhadap perhatian mendalam terhadap peranan
pengusaha (brokers) dalam
pengembangan pariwisata.
Cheong dan Miller
(2000) menyatakan bahwa pandangan Foucault terhadap konsep kekuasaan, menguraikan
hubungan yang saling berkait dalam pemegang kekuasaan yang melibatkan
pengusaha, wisatawan dan objek wisata. Ada empat pandangan yang diaplikasikan
dalam pariwisata :
1. Kekuasaan
dalam Pariwisata ada dimana-mana (Omnipresence
of Power in Tourism)
Pandangan Foucoult bahwa kekuasaan
ada dimana-mana dalam setiap hubungan antar manusia,secara jelas menunjukkan
juga dalam dunia pariwisata, meskipun secara tidak serta merta nampak secara
nyata. Hal ini disebabkan karena (i) hubungan kekuasaan dalam pariwisata seringkali
tertutup dalam kenyataan sehari hari dimana komunikasi statistic menunjukkan
peran dominan untuk kepentingan bisnis, (ii) Kekompleksan pariwisata dari
industry global pariwisata yang menginterfensi. Dalam pandangan ini, kekuasaan
adalah tidak nyata/tidak terlihat karena didominasi peran pembuat aturan dan
politisi. Pendekatan ini malahan focus pada level paling bawah dalam keseharian
interaksi kecil dari wisatawan dengan pemain-pemain dalam pariwisata.
Pendekatan Foucoldian menyontohkan hubungan-hubungan kekuasaan pada hubungan
yang bukan antara bisnis-politik, wisatawan-pemandu wisata, dalam operasional kode etik, buku panduan
wisata dan seterusnya. Sistem pariwisata didukung oleh pandangan pada tingkat
individu dan efek-efek produktif dari kekuasaan pada level institusi.
2. Kekuasaan
dalam Jejaring Pariwisata (Power in
Tourism Networks)
Pandangan Foucaldian terhadap
keterkaitan kekuasaan terletak pada system pariwisata..untuk menguraikan dalil
ini, sangat membantu untuk mensfesifikasi komponen-komponennya,dan untuk
mengidentifikasi saran-sasaran dan agen-agen seperti Foucault sudah mengerjakan
penelitian kelembagaannya pada seksualitas, penjara, dan klinik mental. Seperti
pada komponen-kompenennya, antara masyarakat dengan akademik memiliki kesamaan
cenderung untuk mengertikan pariwisata sebagai dua bagian system social yang
terdiri dari tuan rumah dalam area
daerah tujuan wisata dan wisatawan (V Smith, 1989), Pearce(1989),
Chambers(1997;Cohen;1985; Berghe dan Keyes 1991). Sementara muncul pandangan
baru (Miller dan Auyong,1991) sudh menunjukkan model social yang meliputi tiga
element, yakni : Wisatawan, local people dan broker)
TABEL
2
CONTOH
HUBUNGAN KEKUASAAN DALAM PANDANGAN FOUCOULT
OBJEK
PENGAMATAN
|
TARGET
|
AGEN
|
Sexualitas (sekolah,rumah)
|
Anak-anak,
wanita
|
Keluarga,
Pendidik, Psikiater, Psikolog
|
Sistem Hukum
(Tahanan)
|
Kriminal
|
Kepala polisi,
Polisi, Pendidik, Hakim, Psikiater
|
Kegilaan/
Sakit Jiwa
|
Pasien
|
Dokter,Petugas
Rumah Sakit Jiwa, Keluarga
|
Pariwisata,
Daerah Tujuan Wisata
|
Wisatawan
|
Public/Private
sector Brokers, penduduk lokal, peneliti pasar, penulis perjalanan
|
Sumber: Cheong, dalam Cheong dan Miller
(2000)
Pada Tabel 2, sekilas tampak
wisatawan/traveller berbeda dengan
anak-anak, wanita, kriminal, dan pasien, namun pada dasarnya tidak demikian
karena bisa jadi wisatawan menjadi ‘korban’ konspirasi dari broker (travel
agen, pengusaha hotel, dan pihak pengusaha dibidang pariwisata lainnya)
3. Pandangan
terhadap Pariwisata (The Touristic Gaze)
Tambahan terhadap konsep agen dan
target yang sangat berguna dalam melacak pengembangan dan pemeliharaan dalam hubungan kekuasaan dalam pariwisata.
Dengan menggunakan istilah ‘tourist gaze’, Urry meminjam dari Foucoult dan
fokus pada apa dan bagaimana wisatawan memandang hal tersebut. Urry mengenali bahwa
kemampuan untuk memandang adalah diusahakan pada wisatawan dengan hubungan
kekuasaan dimana agent-agent (brokers dan penduduk lokal) menghasilkan efek
kekuasaan dan menciptakan wisatawan.
4. Kekuasan
untuk Menekan dan Menghasilkan dalam Pariwisata (Repressive and Productive Touristic Power)
Sebagai manifestasi kekuasaan untuk
menekan dan memproduksi dikalangan agent, pemandu wisata dan broker-broker,
seperti yang diutarakan sebelumnya, Foucoult secara bertahap membangun
perspektif untuk ekspresi menekan dan memproduksi pada level perseorangan dan
institusi. Dalam bingkai ini adalah seluruhnya memungkinkan dengan kenyataan
yang ada dalam kepariwisataan.
Wisatawan-wisatawan sebagai sasaran individual Foucaldian dalam
sejarahnya dibebaskan dan dibatasi oleh kesempatan dimediasi dengan pandangan
dari broker-broker dan penduduk lokal. Seperti yang sudah ditunjukkan,
pandangan ini terdiri dari aktivitas-aktivitas dimana agent-agent ini
memerintah, mendidik dan membentuk para wisatawan. Juga dimana menghasilkan
dimana agen-agen memeriksa, memonitor dan secara umum mengatur wisatawan.
Dengan tegas, tantangan pengalaman-pengalaman dan penghargaan
wisatawan-wisatawan dengan tepat karena mereka tidak tahu dengan tepat di
depan, bagaimana, atau dalam berapa banyak cara yang berbeda, mereka akan
dipengaruhi.
Pada level institusi aspek-aspek
produktif dari kekuasaan jelas kelihatan pertamakali dalam bermacam-macam bidang
keahlian profesional yang tumbuh disekitar .
Relasi
Komunitas, Tempat dan Kekuasaan
Pengembangan
kepariwisataan sangat relevan untuk dianalisis dengan pendekatan komunitas,
tempat dan kekuasaan, khususnya yang berhubungan dengan ‘community based’ untuk perencanaan dan pembangunan (Murphy 1985,
Haywood 1988, Brohman 1996, dalam Bianchi(2003) dan untuk mengevaluasi persepsi
masyarakat terhadap pariwisata. Penelitian yang dilakukan Bianchi menunjukkan
bahwa kepariwisataan menumbuhkan semangat berusaha (entrepreneurship) yang
mempertimbangkan kapasitas yang berbeda dari kelompok-kelompok secara nyata
untuk mendinamisasi budaya, ekonomi dan politik sebagai sebuah modal dalam
mencapai keinginannya. Lebih daripada itu,
sudah ditunjukkan bahwa daerah tujuan wisata yang spesifik dapat
dibayangkan sebagai tempat produksi dan konsumsi, tempat dimana kelompok-kelompok dengan
kepentingan berbeda bersaing dalam penggunaan tempat wisata tersebut.
Relasi-relasi
Kekuasaan dalam Pengembangan Kepariwisataan di Bali
Relasi-relasi kekuasaan
dalam pengembangan kepariwisataan di Bali, sangat terasa. Wijaya (2012),
berdasarkan pandangan Michael Foucault,relasi kekuasaan tidak bersifat
sentralistik, bahwa Gubernur Bali ingin memberikan yang terbaik kepada
pemerintah pusat, melainkan ada dimana-mana. Artinya industry pariwisata Bali
menjadi tempat menerima dan mempraktikkan kuasa dan praktik itu dilihat sebagai
sebuah kebenaran oleh berbagai pihak. Dalam pengelolaan kekuasaan itu terlihat
adanya disposisi, maneuver, taktik, dan teknik para intelektual organic
konservatif dari berbagai aliran untuk
mencapai kepentingan mereka masing-masing. Namun relasi kekuasaan yang
ditemukan didalamnya tidak hanya menindas, tetapi juga menciptakan sebuah
terobosan baru, misalnya menghidupkan kembali suatu bentuk upacara keagamaan
yang nyaris punah, seperti Ekadasarudra. Relasi kekuasaan dalam pengelolaan
industry pariwisata Bali juga terlihat dari keberhasilan sejumlah intelektual
organic konservatif memberikan ruang pementasan dan penggalian sejumlah
invented art. Atas keberhasilan itu relasi kekuasaan menjadi bersifat produktif,
setidaknya mampu memberikan ruang pentas bagi sejumlah bentuk invented art,
bahkan mampu membuat seolah-olah hasil kesenian tersebut berasal dari Bali,
padahal sebenarnya bukan, misalnya sendratari mahabrata, Ramayana.
Berkembangluasnya relasi-relasi
kekuasaan seperti tersebut di atas dalam pengelolaan industry pariwisata Bali
disebabkan oleh kegagalan intelektual organic progresif Bali angkatan 1970an
melakukan perlawanan terhadap disposisi, maneuver, taktik, dan teknik para
intelektual organic konservatif yang mendapat dukungan dari kaum akademisi
terkemuka dijamannya membenarkan pengelolaan industri pariwisata yang
berbasiskan tradisi sebagai salah satu cara untuk memberdayakan Bali. Dukungan
para intelektual organic konservatif dan akademisi terkemuka itu menjadikan
pengelolaan industry pariwisataBali akhir 1970an sarat dengan relasi kekuasaan.
Pencemaran
Lingkungan di Bali Selatan
Masalah yang dihadapi
Bali dalam bidang lingkungan hidup saat ini dan di masa yang akan datang sangat
berat dan sulit dicarikan solusinya. Oleh karena itu, Pemprov Bali berupaya
memprogramkan paling tidak dua puluh tujuh upaya untuk mengatasi permasalahan lingkungan
tersebut. Ke-27 upaya yang diprogramkan melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Provinsi Bali tersebut diharapkan mampu mengatasi lima problema lingkungan
serius yang kini mendera Bali yakni (i)masalah sampah, (ii) lahan kritis, (iii)
abrasi pantai, (iv)pencemaran air dan kerusakan terumbu karang.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan data
sekunder, dengan teknik pengumpulan data (i) wawancara, (ii)observasi, (iii)
dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
menjelaskan fenomena yang ada berdasarkan teori yang mendukung sehingga
diperoleh sebuah gambaran umum atau jawaban mengenai permasalahan yang dihadapi
Pembahasan
Permasalahan lingkungan hidup
seperti kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup apabila ditelaah dengan
mempergunakan teori kritis maka dapat melihat akar permasalahan yang berbeda
dari perspektif modern (Dharma Putra, 2010:19). Dasar teori yang dipergunakan
untuk mengkaji permasalahan pencemaran lingkungan hidup dari perspektif kajian
budaya, khususnya menyangkut pemahaman terhadap fenomena anti keharmonisan pada
masyarakat, dikenal dengan teori dekonstruksi. Teori dekonstruksi dapat
diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah
tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Jadi secara singkat dapat dikatakan,
bahwa penganut aliran dekonstruksi berpendapat ketika membaca penanda
(signifier), agar menjadi pertanda (signified), penafsiran harus ditunda agar
mendapat makna yang berbeda (difference) dari pertanda
yang sudah menjadi mitos. Dalam teori kontemporer, dekonstruksi sering
diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dengan penyempurnaan
arti semula.
Makna pencemaran
lingkungan hidup dicermati dengan adanya nilai-nilai yang diyakini masyarakat
tentang pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan, seperti nilai keharmonisan
dalam hidup dihubungkan dengan perilaku masyarakat yang membuang limbahdan
sampah secara sembarangan kelingkungan, serta pengaruh kapitalisme
global terhadap dorongan perilaku yang mengabaikan kelestarian lingkungan
hidup.
Perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan lingkungan sangat ditentukan oleh citra lingkungan yang mereka
miliki. Lacan dalam Darmaputra (2010), Pencitraan diri seseorang sangat
dipengaruhi pleh “hasrat”diri yang bersangkutan yang meliputi
hasrat narsistik, yakni seseorang berhasrat untuk menjadi objek kekaguman,
idealisasi atau pengakuan; hasrat narsisitik aktif, yakni seseorang berhasrat sebagai
bentuk pemujaan terhadap cinta; hasrat anaklitik aktif yakni seseorang ingin
selalu mendapatkan kepuasan dari apapun yang dilakukan, serta anaklitik pasif,
yakni seseorang ingin menjadi objek dari sumber kepuasan.
Sementara Foucoult
dalam Darma Putra (2010) ingin mendekonstruksi sistem pemikiran yang menopengi
kehendak untuk berkuasa melalui kedok pengetahuan yang objektif. Teori relasi
kuasa pengetahuan digolongkan dalam teori poststrukturalisme karena dikatakan
melawan strukturalisme yang begitu lama menguasai panggung pengetahuan. Hal ini
menurut Foucoult karena discourse tidak lain adalah cara menghasilkan
pengetahuan serta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang
terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada dibalik pengetahuan, dan praktik
saling terkait. Dalam membahas permasalahan lingkungan hidup dari perspektif
budaya, produksi kenyataan sosial seperti terjadinya kekumuhan atau kondisi
lingkungan yang tercemar tidak terpisahkan dari apa yang lazim dipandang
sebagai “kenyataan sosial” dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dipahami dengan
dengan perspektif teori –teori kritis sebagai relasi antara kekuasaan yang ada
dalam kebijakan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak berdaya. Relasi
tersebut ditelaah secara mendalam berdasarkan kekuasaan dan pengetahuan yang
ada untuk mengungkap makna terselubung yang terkandung didalamnya melalui realitas
yang terjadi.
Teori relasi kuasa
pengetahuan relevan dipakai membedah fenomena pencemaran lingkungan hidup,
karena didalamnya terdapat hubunganyang tidak seimbang antara tiga pilar
pembangunan, yakni industri/kelompok bisnis sebagai pemilik kekuatan berupa
informasi maupun uang, dengan aparat pemerintah yang memiliki kekuasaan,
melakukan praktik kekerasan dan intimidasi kepada masyarakat setempat, yaitu
masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan dan tidak memiliki kekuasaan. Dalam
fenomena sosial tersebut ada tujuan terselubung dari pihak yang berkuasa
melalui wacana “pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat” atau wacana lainnya
yang meninabobokkan masyarakat, sehingga terlena dalam kondisi dan situasi yang
tidak berdaya. Segala penindasan sudah direncanakan sebelumnya, serta berhasil
dilakukan karena pihak penguasa sudah mengetahui situasi dan kondisi masyarakat
(Powel,2012).
Penelaahan secara
kritis terhadap nilai-nilai, perilaku, dan kebiasaan hidup masyarakat yang
berhubungan dengan lingkungan hidup yang merupakan refeksi kritis terhadap
wacana tentang pengetahuan masyarakat setempat terhadap isu-isu lingkungan
hidup. Keterkaitan antar manusia dan lingkungan hidup dan dampak yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia terhadap lingkungan hidup merupakan telaahan
dalam teori wacana/kuasa pengetahuan.
Foucoult mengeksplorasi
operasi kekuasaan dalam praktik sosial yang dilakukan dengan membedah diskursus
yang didasarkan kepada pengetahuan. Pengetahuan akan melahirkan kekuasaan yang
tidak dapat dilokalisasi, memiliki tatanan disiplin dan struktur yang rigid,
serta memiliki jaringan. Untuk itu kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam
suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu
(Foucoult dalam Dharma Putra (2010:23). Dalam persepektif itu menurut Keraf
dalam Dharma Putra (2010:23), tindakan mencemari lingkungan dengan membuang
langsung sampah maupun air limbah ke sungai akan dinilai buruk secara moral
bukan karena akibatnya yang merugikan namun karena tidak sesuai dengan kewajiban
moral untuk hormat dan melindungi alam. Berbagai wacana tentang pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat dan relasinya dengan pencemaran lingkungan hidup
dianalisis melalui teori kuasa pengetahuan untuk memahami fenomena yang ada.
Perspektif kajian budaya
menekankan aspek kultural dalam melakukan analisis terhadap suatu permasalahan.
Kulturalisme yang digagas oleh Hoggart, Wiliams, Thomson dalam Dharma Putra
(2010:24) menekankan kelaziman kebudayaan dan apek aktif, kreatif, dan
kapasitas orang untuk membangun praktik-praktik bermakna secara bersama-sama.
Persoalan dan pencemaran lingkungan hidup memiliki dimensi yang luas dan
kompleks, sehingga perlu dibedah dengan mempergunakan berbagai perspektif.
Perspektif kajian budaya sebagai upaya kritis yang dilakukan dalam mengkaji
fenomena pencemaran lingkungan hidup dikaitkan dengan berbagai kebijakan
pemerintah di bidang lingkungan hidup. Peran lembaga pemerintah dan bisnis
serta keberadaan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari
pergulatan antara kekuasaan dan beragam kepentingan, yang menjadi
fokus pembahasan dalam cultural studies.
Pada Gambar 1 dapat
dilihat pola interaksi antara local, agent, dan wisatawan yang saling
berhubungan saling mempengaruhi dan kait mengait, sesuai dengan pandangan
Foucoult, dimana konsep ini berbeda dengan pandangan konvensional (Marx,
Machiavelli) yang menyatakan bahwa dalam
hubungan kekuasaan hanya bersifat dua arah. Dalam pandangan Foucoult, kekuasaan
ada dimana, tersebar kesemua arah dalam setiap individu. Apabila dikaitkan
dengan analisa Wijaya(2012) yang melihat mengenai pergeseran budaya yang
terjadi saat ini akibat kekalahan dari kaum intelektual organik progresif dalam
mempengaruhi pemerintah dalam pengambilan keputusan terhadap kaum intelektual
organik konservatif. Pendekatan ini yang juga berdasarkan konsep Foucoult, juga
dapat digunakan untuk mengkaji fenomena yang terjadi pada kawasan Teluk Benoa
(Dharma Putra,2010) yang menyatakan dapat menggunakan perspektif Budaya untuk
mengatasi masalah-masalah lingkungan.
Saat ini dalam analogis dengan kaum
intelektual organik konservatif sedang berusaha untuk terus menerus mendukung
program pembangunan yang dilakukan Gubernur, demi mendorong tingkat
perekonomian yang tinggi,dengan harapan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
Kami tidak menyebut siapa saja kaum yang tergolong kaum intelektual organik
konservatif, yang jelas mereka yang setuju dengan berbagai macam program
pemerintah untuk mendukung pembangunan termasuk reklamasi Teluk Benoa. Disisi
lain ada perjuangan dari kaum intelektual organik progresif yang menentang
reklamasi Teluk Benoa. Memang saat ini tampak kemenangan dari kaum ini, dimana
pada saat ini SK Gubernur terhadap ijin reklamasi tersebut sudah di cabut.
Namun demikian masih perlu dikaji, apakah hal ini semata-mata demi kepentingan
politis, dimana menyambut berbagai konfrensi yang akan dilaksanakan di Nusa Dua
pada akhir tahun 2013 (APEC dan WTO) serta ajang Miss World 2013. Sehingga
muncul pula hipotesis bahwa pencabutan SK tersebut semata-mata untuk alasan keamanan dari kemungkinan aksi
demo dari kaum intelktual organik progresif, yang sangat didukung oleh salah
satu media ternama di Bali, dan Kaum intelektual tradisional yang mengkaji
bahwa reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilanjutkan.
Pada Gambar 2 , dapat dilihat
bagaimana seharusnya pengelolaan destinasi wisata, yang menyeimbangkan lingkungan,
ekonomi dan sosial, demi terwujudnya konsep pengembangan kepariwisataan yang
berkelanjutan. Munculnya sampah, pencemaran air laut, yang mengotori kawasan Teluk Benoa menunjukkan
terjadinya ketidak seimbangan dalam sistem. Faktor ekonomi sering kali dituding
sebagai penyebab terjadinya keserakahan manusia, sehingga menggunakan berbagai
cara untuk dapat mencapai tujuannya dalam meraih keuntungan sebesar-besarnya
tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Pendekatan Budaya dapat digunakan
untuk melihat fenomena ini. Sesungguhnya budaya Bali yang memiliki filsafat
tinggi jika diaplikasikan dengan sebenar-benarnya, mampu mengungguli kekuatan
dari kekuasaan keserakahan dalam motif ekonomi.
Simpulan
dan Saran
Simpulan
Penurunan kualitas lingkungan di
kawasan Teluk Benoa, menunjukkan terjadi ketidak seimbangan dalam relasi
kekuasaan, dimana kekuasaan agent (pemerintah dan pengusaha) dirasakan sangat
dominan di atas penduduk , kaum
akademisi dan wisatawan.
Saran
Perlu penyeimbangan kekuasaan
antar relasi kekuasaan, sesuai pandangan Foucoult, dimana kekuasaan itu
bersifat dinamis. Peranan akademisi dalam mengkaji secara ilmiah terhadap
fenomena yang terjadi, serta penggunaan kekuatan media sebagai sarana edukasi
kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi cerdas. Kondisi ini sangat
dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan dalam relasi kekuasaan, dimana dalam
keadaan seimbang dapat diraih keputusan yang paling tepat dalam pengembangan
kawasan Teluk Benoa selanjutnya.
Daftar Pustaka
Bianchi,Raoul V.2003.Place and Power
in Tourism Development: Tracing The Complex Articculation of Community and
Locality. PASOS.Revista de Tourismo y Patrimonio Cultural Vol.1 No 1 Page 13-32
ISSN 1695-7121
Cheong,So-Min and Miller,Marc
L.2000.Power and Tourism.A Faoucauldian Observation.Annals of Tourism
Research.Vol.27,pp 371-390.Great Britain : Elsevier Science,Ltd.
Damanik
dan Teguh.2013.Manajemen Destinasi Pariwisata, Sebuah Pengantar Ringkas.Edisi
Revisi,Yogyakarta :Kepel Press.
Dharma
Putra, Ketut Gede.2010.Pencemaran Lingkungan Ancam Pariwisata Bali.Pustaka
Manik Geni :Denpasar
Foucault, Michael.1980.Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings
1972-1977 (ed. Collin
Gordon), New York: Pantheon Books, 1980, h.98.
Foucault, Michael.1997.Sejarah Sekstualitas. Seks dan Kekuasaan (terj.),
Jakarta: Gramedia, h.115.
Hannam,Kevin.2002. Tourism and
Development I : Globalization and Power. Progress in Development Studies
2,3.pp.227-234
Marianti,
Maria Merry.2011.Kekuasaan dan Teknik Mempengaruhi Orang Lain Dalam Organisasi.
Jurnal Administrasi Bisnis,Vol.7,No.1:hal.45-68.Bandung:Center of Business
Studies FISIP UNPAR (ISSN:0216-1249)
Narya, I
Ketut.2010.Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam Mewujudkan Destinasi Bali
yang Sustainable.Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global. Cetakan
Pertama, Denpasar : Udayana University Press.
Nietzsche, Friedric.1968.The Will to
Power, terj/ed.:
Walter Kaufmann, New York: Vintage, hal.261-331.
Prasiasa,
Dewa Putu Oka.2013. Destinasi Pariwisata Berbasis Masyarakat.Jakarta :Salemba
Humanika.
Powel,L.Jason.2012.Social
Work, Power and Performativity.China Journal of Social Work, 5:1,6779,DOI:10.1080/17525098.2012.656364:http:://dx.doi.org/10.1080/17525098.2012.656364
Weber,Max.1948. “Politics as a
Vocation” dalam Max Weber, (terj. dan diedit oleh HH Gerth dan C Wright
Mills), London: Routledge & Kegan Paul, h.77-8.
Wijaya,Nyoman.2012.Relasi-relasi
Kekuasaan dibalik Pengelolaan Kepariwisataan Bali. Jurnal Humaniora Volume 24
No2 , Juni 2012, Hal 141-155. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana
Wulandari,Taat.2007.Sejarah
Kekuasaan Dalam Pandangan Nietzche. Jurnal Informasi No.1 Tahun
XXXIII.Yogyakarta:UNY ISSN :0126-1650
Sumber Lainnya
(Internet dan Non Internet)
Pranatha,Agung
Wirawan.2013. Isu-isu Pengembangan Pariwisata. Materi Kuliah Matrikulasi.
Program S3 Pariwisata Universitas Udayana.
BALI
MENGHADAPI MASALAH LINGKUNGAN HIDUP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar