Pariwisata
Masal masih Menghantui Bali
Banyak para pakar
pariwisata berpendapat bahwa pembangunan kepariwisataan di Bali sudah memasuki
titik jenuh. Daya dukung yang dimiliki Pulau Bali tampaknya sudah tidak mampu
menyediakan berbagai macam kebutuhan pariwisata. Hal ini dapat dirasakan dalam
fenomena kekurangan air bersih pada kawasan selatan Bali, kekurangan pasokan
listrik, kemacetan lalulintas, sampah plastic dan berbagai macam masalah social
lainnya. Adapula yang berpendapat pembangunan kepariwisataan di Bali kurang
merata, yakni hanya terpusat pada kawasan selatan Pulau Bali, yang meliputi
wilayah Kabupaten Badung, Kodya Denpasar, Kabupaten Gianyar dan sebagian kecil tenggara Kabupaten Tabanan.
Sementara itu kawasan Bali tengah dan utara belum digarap dengan baik.
Memang benar, selama
ini, bahkan mungkin sampai saat ini, segenap stake holder pariwisata Bali, khususnya pemerintah dan pengusaha
masih belum mampu melepaskan diri seutuhnya dari konsep mass tourism. Contoh nyata, pada laporan Badan Pusat Statistik yang
hanya menyoroti jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke Bali dari tahun ke
tahun, jumlah hotel bintang dan non bintang yang dibangun di Bali dari tahun ke
tahun, dan jumlah kamar tersedia. Pemerintah akan sangat bangga apabila
indikator-indikator kuantitatif tersebut meningkat.
Ketimpangan pembangunan
kepariwisataan di Bali memang tidak dapat ditutupi. Coba kita lihat di
desa-desa pada kawasan Bali tengah dan Bali utara di mana sebagian besar tenaga
kerja muda produktif hijrah ke kawasan Bali selatan khususnya di Kodya Denpasar
dan Kabupaten Badung. Akibatnya pada saat panen padi, harus mengimpor tenaga
kerja dari luar Bali. Sudah jarang ada anak muda yang mau menekuni bidang
pertanian, karena hasilnya sangat tidak sebanding dengan usaha yang
dikeluarkan. Tenaga kerja muda Bali cendrung memilih sektor pariwisata sebagai
tumpuan hidup, karena menjanjikan jaminan masa depan yang lebih layak daripada
bekerja pada sektor pertanian. Bahkan sebagian besar berangkat ke luar negeri,
bekerja sebagai kru kapal pesiar, atau pada bidang hospitality di Dubai, Korea
Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan Australia.
Kebudayaan Bali berakar
dari budaya agraris, dimana segala sesuatunya sangat berkait dengan pertanian
yang merupakan awal leluhur orang Bali menafkahi hidupnya. Saat ini di Bali
mengalami banyak perubahan fungsi persawahan menjadi pemenuhan sarana
pariwisata. Banyak orang Bali yang menjual tanah leluhurnya demi kepentingan
pariwisata. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin suatu
saat nanti Bali akan kehilangan ‘taksu’nya seperti layaknya Hawaaii atau
Batavia dimana penduduk asli termarginalisasi, menjadi tamu di tanah leluhurnya
sendiri.
Desa
Wisata adalah Jawabannya
Salah satu upaya
pemerintah dalam menjawab tantangan dan ancaman tersebut di atas, dengan
mengembangkan konsep sustainable tourism
development yang mengarah pada quality
tourism. Konsep tersebut tidak lepas dari peran akademisi yang terus
menerus berjuang mensosialisasikan di dalam berbagai kesempatan. Meskipun
sampai saat ini belum 100% semua konsep tersebut dapat diterapkan, namun sudah
banyak langkah-langkah perbaikan yang dilakukan pemerintah, misalnya dengan
menerapkan moratorium penghentian pembangunan fasilitas akomodasi pada kawasan
selatan Bali-meskipun kurang berhasil, dan program pengembangan 100 desa wisata
di Bali.
Konsep desa wisata pada
awalnya diartikan secara sederhana, yakni melakukan kegiatan wisata di desa.
Namun demikian konsep desa wisata tidak sesederhana demikian. Desa wisata
merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas
pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku dimana wisatawan dapat tinggal di
dalam atau dekat dengan desa tersebut untuk mempelajari dan menikmati kehidupan
di desa tersebut.
Prinsip pengembangan
desa wisata : (i) memanfaatkan sarana dan prasarana masyarakat setempat, (ii) menguntungkan
masyarakat setempat, (iii) berskala kecil untuk memudahkan hubungan timbal
balik dengan masyarakat setempat, (iv) melibatkan masyarakat setempat. Dalam menerapkan
pengembangan produk wisata pedesaan konsep desa wisata sangat memperhatikan
hal-hal sebagai berikut : (i) Penyediaan fasilitas dan prasarana yang dimiliki
masyarakat lokal yang biasanya mendorong peran serta masyarakat dan menjamin
adanya akses ke sumber fisik merupakan batu loncatan untuk berkembangnya desa
wisata, (ii) mendorong peningkatan pendepatan dari sektor pertanian dan kegiatan
ekonomi tradisional lainnya,(iii) penduduk setempat memiliki peranan yang
efektif dalam proses pembuatan keputusan tentang bentuk pariwisata yang
memanfaatkan kawasan lingkungan dan penduduk setempat memperoleh pembagian pendapatan
yang pantas dari kegiatan pariwisata, (iv) mendorong perkembangan kewirausahaan
masyarakat setempat.
Aplikasi
konsep Desa Wisata
Di Bali sudah ada
beberapa desa wisata yang sudah berkembang maupun akan berkembang, seperti : (i)
Desa Wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli, (ii) Desa Wisata Munduk di
Kabupaten Buleleng, (iii) Desa Wisata Jasri, Kabupaten Karangasem, (iv) Desa
Wisata Belimbing, Kabupeten Tabanan, (v) Desa Wisata Guliang Kangin, Kabupaten
Bangli, (vi) Desa Mas, Kabupaten Gianyar; (vii) Desa Kiadan Kabupaten Badung;
(viii) Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, (ix) Desa Dukuh
Sibetan, Kabupaten Karang Asem, dan (ix)Desa Wisata (Ekologis) Nyambu,
Kabupaten Tabanan Bali.
Gambar
1. Desa Wisata Ekologis Nyambu Kabupaten Tabanan Bali
Sumber : Koleksi Pribadi, 2016
Desa wisata ekologi
Nyambu merupakan salah satu model pengembangan kapasitas masyarakat dalam usaha
pariwisata dalam mengelola usaha pariwisata untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui pengenalan potensi desa, kekayaan alam, seni budaya yang
nantinya dapat dikelola langsung oleh masyarakat desa setempat. Pengembangan
Desa Wisata Ekologis Nyambu melibatkan peran desa adat, non gevernment
organization yakni Yayasan Wisnu, PT. Langgeng Kreasi Jayaprana dan British
Council.
Adapun paket-paket yang
sudah dibentuk antara lain : (i)paket telusur sawah dan subak, (ii)paket
budaya, (iii)paket bersepeda, (iv)paket melukis dan (v)paket seni. Keunikan
yang dimiliki Desa Wisata Ekologis Nyambu antara lain : (i)memiliki pura-pura
yang sangat berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang Nirartha khususnya
perjalanan dari Tanah Lot Tabanan menuju Desa Mas, Gianyar, (ii)pemandangan
alam persawahan yang indah, disertai sungai-sungai dan tebing-tebing yang menambah
suasana magis. Lokasi yang sangat strategis, berada diantara jalur Bedugul,
Tanah Lot, Kuta, sehingga memudahkan untuk’dijual’ dalam satu paket wisata.
Simpulan
Tidak dapat disangkal
lagi, bahwa memang konsep desa wisata adalah solusi bagi ancaman yang akah
dihadapi Bali pada saat ini dan di masa depan. Apabila konsep desa wisata
berhasil diterapkan di Bali, maka : (i)keuntungan sektor pariwisata akan
tersebar lebih merata sampai ke pelosok desa. Saat ini sebagian besar ‘kue’
pariwisata dinikmati oleh investor-investor atau sekelompok pengusaha.
Sementara orang Bali hanya menjadi ‘buruh’ di tanah leluhurnya sendiri,
(ii)masyarakat lokal lebih dapat mempertahankan kepemilikan tanahnya, mengingat
konsep desa wisata memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi masyarakat desa
dan didukung awig-awig yang melarang masyarakat desa untuk menjual tanahnya
kepada orang luar, (iii)pemerantaan pembangunan, kesempatan kerja dan berusaha
bagi segenap masyarakat, sehingga arus urbanisasi ke kawasan selatan Bali dapat
dihentikan, (iv)ketahanan budaya sebagai keunikan utama Bali dapat diwujudkan,
karena alih fungsi lahan produktif agraris serta alih kepemilikan lahan pada
orang asing dapat dihentikan.