A. Pendahuluan
Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi ancaman masyarakat global. Namun demikian perbedaan kemampuan beradaptasi tiap Negara berbeda. Negara-negara yang cenderung memiliki sumber daya pengetahuan dan teknologi, manusia dan pendanaan jauh lebih siap menhadapi ancaman perubahan iklim. Laporan ke 4 (fourth assessment report) yang dipublikasikan pertengahan April 2007 oleh kelompok kerja II IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change (Panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia) semakin memperkuat keyakinan akan dampak ancaman perubahan iklim terhadap umat manusia di bumi ini. Diantaranya adalah naiknya rata-rata temperatur suhu udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, musim kemarau yang panjang dengan curah hujan yang rendah, musim hujan yang pendek namun memiliki intensitas yang tinggi dan mencairnya tutupan serta ketebalan salju. Ancaman tersebut tentunya melahirkan konsekuensi negatif terhadap lingkungan dan infrastruktur, sosial serta ekonomi. Dipastikan bahwa pertumbuhan suatu negara akan menuju titik terendah dalam ekonomi makro mereka. Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.
Hasil penelitian (Indonesia Report, 2007) menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. Didasari oleh proyeksi di atas tersebut, maka sejak bulan Mei 2007 dibangun sebuah program kerjasama antara WWF Indonesia/WWF NTB dan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat untuk memasukkan rencana strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kebijakan pembangunan daerah mereka.
B. Latarbelakang pemilihan Kepulauan NTB
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari dua pulau utama yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa serta puluhan pulau-pulau kecil disekitarnya. Berdasarkan konvensi internasional, pulau Lombok dapat dikategorikan sebagai pulau kecil karena luas wilayah daratannya hanya 4.738,70 km2. Menurut konvensi internasional tersebut yang tergolong pulau kecil adalah pulau-pulau yang luas wilayah daratannya kurang dari 10.000 km2.
Sebagian besar wilayah pulau Lombok adalah pesisir dan laut. Aktivitas ekonomi sektor-sektor unggulan dan strategis terdapat di wilayah pesisir dan laut. Dari potensi wilayah pesisir dan laut Pulau Lombok terdapat tiga sektor ekonomi utama yaitu : pertanian, perikanan, dan pariwisata. Penduduk Pulau Lombok dari 1994 sampai dengan 1998 mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata sebesar 1,99 persen per tahun.
Potensi ancaman iklim didasari oleh perubahan temperatur yang berpengaruh pada kegiatan utama ekonomi mereka. Temperatur udara pada tahun 1948 di NTB mencapai 26,5 – 270 C, sedangkan temperatur udara pada tahun 2007 meningkat menjadi 28 – 28,50C . Akibat yang ditimbulkan dapat berupa penurunan kualitas dan kuantitas sumber mata air dari tahun ke tahun, banjir dan longsor dibeberapa titik rawan, keterlambatan musim hujan (pergeseran masa tanam), kenaikan muka laut yang dapat memicu abrasi pantai, meninkatnya intensitas badai dan gelombang laut. Dampak perubahan iklim di NTB, telah mempengaruhi kenaikan temperatur udara dan peningkatan curah hujan.
Beberapa fakta sosial dan lingkungan yang terkait dengan kenaikan temperatur udara dan peningkatan curah hujan yang telah terjadi di NTB antara lain melalui peristiwa peristiwa di bawah ini :
1. Hilangnya sejumlah mata air dan berkurangnya debit air. Pada tahun 1985 jumlah mata air di NTB + 580 titik mata air, dan pada tahun 2006 hanya tersisa 180 titik mata air saja;
2. Abrasi pantai Penghulu Agung Gatep, Ampenan- Lombok yang terjadi pada awal Maret 2007;
3. Banjir bandang yang terjadi di Sembalun dan Sambelie, Lombok Timur pada tahun 2006, serta banjir bandang yang menghanyutkan 28 rumah penduduk, hewan ternak dan harta benda lainnya di Empang dan Terano, Sumbawa yang terjadi pada pertengahan April 2007 menyebabkan kerugian senilai + Rp 30 milyar;
4. Kekeringan pada sebagian lahan pertanian di wilayah pulau Lombok dan pulau Sumbawa yang terjadi pada saat musim penghujan (Januari 2007) telah menyebabkan terjadinya gagal panen.
Fakta sosial dan lingkungan yang lebih didominasi oleh anomali/perubahan ekstrem cuaca dan variabilitas iklim. Gejala perubahan iklim belum disadari dan dipahami, termasuk di lingkungan pemerintah daerah NTB. Akibatnya belum ada Rumusan Kebijakan, Strategi dan Program –yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dan lingkungan pulau-pulau kecil di NTB-- untuk mengantisipasinya.
C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Upaya mengembangkan kapasitas kelembagaan daerah untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Round Table Discussion. Diskusi terbatas dalam bentuk meja bundar ini dilakukan untuk meningkatakan pemahaman peserta diskusi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan skenario perubahan iklim dan dampaknya. Selanjutnya peserta diskusi dapat mulai mengembangkan gagasan-gasan umum tentang strategi dan program aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di NTB (lihat lampiran 1).
2. Lokakarya. Lokakarya ini dimaksudkan untuk memperluaskan jangkauan pemahaman tentang perubahan iklim global kepada stakeholder lainnya, sekaligus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan tentang strategi dan program aksi untuk adaptasi dan mitigasi, rumusan rekomendasi untuk masukan kebijakan pembangunan daerah dan pembentukan gugus tugas (Task Force).
3. Memfasilitasi terbentuknya kelembagaan berupa Gugus Tugas yang dilandasi oleh Payung Legalitas (SK Gubernur), dan didalamnya dilengkapi oleh perangkat organisasi dan kerangka kerja yang jelas (lihat lampiran 2).
4. Dalam melakukan implementasi berkaitan dengan peran dan tugas, maka Gugus Tugas perlu dilengkapi dengan perangkat pendukung yaitu : Renstra sebagai panduan untuk mendorong perencanaan adaptasi dan mitigasi di daerah melalui mekanisme program dan anggaran daerah, media informasi dan komunikasi sebagai bahan dan materi kampanye kepada publik, serta pertemuan berkala dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol, penelaahan kritis sebagai bahan masukan kebijakan dan program khususnya kepada pemerintah daerah (lihat lampiran 3).
5. Pelaksanaan Kerja Gugus Tugas selalu menekankan pada sistem kerja kolaboratif, dan agar pola komunikasi dan kerja kolaboratif dapat lebih efektif, maka diperlukan kesekretariatan yang bertempat disalah satu lembaga yang disepakati.
6. Program dan Kebijakan yang telah dirumuskan oleh Gugus merupakan panduan yang dalam implementasinya akan diintegrasikan melalui program dinas/instansi yang relevan dan dalam penganggarannya menggunakan mekanisme penyusunan anggaran daerah (APBD).
D. Pengembangan Strategi Adaptasi Lokal
Langkah antisipatif akan lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan akan lebih rendah bila dibanding dengan upaya adaptasi yang dilakukan nanti pada saat keadaan sudah semakin memburuk dimana dampak sudah semakin besar sehingga upaya adaptasi akan membutuhkan biaya lebih mahal. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera melakukan upaya-upaya adaptasi, guna menyesuaikan ataupun mengurangi dampak-dampak ekstrem perubahan iklim. Tingkat intervensi (level of intervention) kebijakan advokasi harus dilihat dengan perkembangan informasi yang ada serta kebutuhan nyata wilayah dari pulau tersebut. Oleh sebab itu analisa dan respon dampak perubahan ekosistem, sosial/ ekonomi serta budaya (termasuk menggali dan menggunakan kearifan lokal) merupakan prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif. Adanya satuan gugus tugas (Task Force) untuk mengawal dan merumuskan kebijakan perubahan iklim yang keanggotaannya para pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi langkah strategis.
D.1. Hasil Identifikasi Awal
1. Sektor Pertanian berupa Inovasi varietas tanaman, variasi tanaman pertanian, diversifikasi tanaman, mekanisasi pertanian, meningkatkan kapasitas irigasi, menggunakan drip irrigation dan intergrated pest management.
2. Sektor Sumber Daya Air berupa modifikasi infrastruktur yang tersedia, konstruksi infrastruktur baru, pengelolaan alternative atau modifikasi system ketersediaan air yang telah tersedia, perbaikan infrastruktur yang rusak sesegera mungkin meningkatkan kapasitas reservoir, desalinasi,pembuatan inter-basin transfer
3. Sektor Kehutanan berupa membentuk forest fire attack unit dan forest fire preventionprogram , membentuk sistem peringatan bencana kekeringan melalui media public, menyusun forest risk meter, memperbaiki area yang rusak dengan menanam spesies tanaman yang berbeda yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, menentukan kuota untuk penebangan legal dan mendorong reforestasi/rehabilitasi (sustainable forest management) dan mendukung tree planting day
4. Sektor Pesisir dan Pantai berupa pembangunan infrastruktur (sea walls, breakwaters) , sistem peringatan dini dan sistem evakuasi terhadap kejadian ekstrim, hazard insurance , sistem desalinasi untuk ketersediaan air bersih, membangun zona set-back
5. Sektor Kehati berupa strategi nasional keanekaragaman hayati dan rencana aksi kebijakan nasional keanekaragaman hayati dan hidupan liar (biodiversity bill, biosafety policy), national invasive alien species, national invasive species strategy, national biosafety framework , strategi pengelolaan bantaran sungai, daerah pesisir dan kelautan (mencakup marine protected areas (mpas), marine and terrestrial conservation areas), sistem informasi dan database keanekaragaman hayati, kebijakan pelarangan perburuan dan penerapannya
6. Sektor Kesehatan berupa penyuluhan kepada masyarakat untuk mencegah terjangkitnya wabah melalui Posyandu dan Puskesmas,mencegah transmigrasi serta penebangan hutan secara liar, pengendalian populasi nyamuk, peningkatan akses terhadap air bersih, peningkatan kepedulian masyarakat untuk membersihkan lingkungan dari vector-borne disease, meningkatkan pengelolaan air limbah dan sanitasi.
7. Sektor Infrastruktur Perkotaan berupa meminimalkan paved surfaces dan meningkatkan penanaman pohon untuk mengurangi efek ’urban heat island’ dan menurunkan energi untuk penggunaan air conditioning , pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan rawan longsor, penatakotaan cluster daerah pemukiman, perkantoran dan daerah industri/perdagangan, menggunakan physical barriers untuk melindungi instalasi industri dari kemungkinan banjir , membangun sistem industri jauh dari daerah rentan
C.2. Isu Prioritas
Beberapa sektor utama yang merasakan dampak terhadap perubahan iklim yaitu sektor pertanian, kehutanan, sumberdaya air, pesisir dan energi. Adapun rumusan untuk menyikapi akibat perubahan iklim tersebut yakni :
Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi ancaman masyarakat global. Namun demikian perbedaan kemampuan beradaptasi tiap Negara berbeda. Negara-negara yang cenderung memiliki sumber daya pengetahuan dan teknologi, manusia dan pendanaan jauh lebih siap menhadapi ancaman perubahan iklim. Laporan ke 4 (fourth assessment report) yang dipublikasikan pertengahan April 2007 oleh kelompok kerja II IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change (Panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia) semakin memperkuat keyakinan akan dampak ancaman perubahan iklim terhadap umat manusia di bumi ini. Diantaranya adalah naiknya rata-rata temperatur suhu udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, musim kemarau yang panjang dengan curah hujan yang rendah, musim hujan yang pendek namun memiliki intensitas yang tinggi dan mencairnya tutupan serta ketebalan salju. Ancaman tersebut tentunya melahirkan konsekuensi negatif terhadap lingkungan dan infrastruktur, sosial serta ekonomi. Dipastikan bahwa pertumbuhan suatu negara akan menuju titik terendah dalam ekonomi makro mereka. Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.
Hasil penelitian (Indonesia Report, 2007) menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. Didasari oleh proyeksi di atas tersebut, maka sejak bulan Mei 2007 dibangun sebuah program kerjasama antara WWF Indonesia/WWF NTB dan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat untuk memasukkan rencana strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kebijakan pembangunan daerah mereka.
B. Latarbelakang pemilihan Kepulauan NTB
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari dua pulau utama yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa serta puluhan pulau-pulau kecil disekitarnya. Berdasarkan konvensi internasional, pulau Lombok dapat dikategorikan sebagai pulau kecil karena luas wilayah daratannya hanya 4.738,70 km2. Menurut konvensi internasional tersebut yang tergolong pulau kecil adalah pulau-pulau yang luas wilayah daratannya kurang dari 10.000 km2.
Sebagian besar wilayah pulau Lombok adalah pesisir dan laut. Aktivitas ekonomi sektor-sektor unggulan dan strategis terdapat di wilayah pesisir dan laut. Dari potensi wilayah pesisir dan laut Pulau Lombok terdapat tiga sektor ekonomi utama yaitu : pertanian, perikanan, dan pariwisata. Penduduk Pulau Lombok dari 1994 sampai dengan 1998 mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata sebesar 1,99 persen per tahun.
Potensi ancaman iklim didasari oleh perubahan temperatur yang berpengaruh pada kegiatan utama ekonomi mereka. Temperatur udara pada tahun 1948 di NTB mencapai 26,5 – 270 C, sedangkan temperatur udara pada tahun 2007 meningkat menjadi 28 – 28,50C . Akibat yang ditimbulkan dapat berupa penurunan kualitas dan kuantitas sumber mata air dari tahun ke tahun, banjir dan longsor dibeberapa titik rawan, keterlambatan musim hujan (pergeseran masa tanam), kenaikan muka laut yang dapat memicu abrasi pantai, meninkatnya intensitas badai dan gelombang laut. Dampak perubahan iklim di NTB, telah mempengaruhi kenaikan temperatur udara dan peningkatan curah hujan.
Beberapa fakta sosial dan lingkungan yang terkait dengan kenaikan temperatur udara dan peningkatan curah hujan yang telah terjadi di NTB antara lain melalui peristiwa peristiwa di bawah ini :
1. Hilangnya sejumlah mata air dan berkurangnya debit air. Pada tahun 1985 jumlah mata air di NTB + 580 titik mata air, dan pada tahun 2006 hanya tersisa 180 titik mata air saja;
2. Abrasi pantai Penghulu Agung Gatep, Ampenan- Lombok yang terjadi pada awal Maret 2007;
3. Banjir bandang yang terjadi di Sembalun dan Sambelie, Lombok Timur pada tahun 2006, serta banjir bandang yang menghanyutkan 28 rumah penduduk, hewan ternak dan harta benda lainnya di Empang dan Terano, Sumbawa yang terjadi pada pertengahan April 2007 menyebabkan kerugian senilai + Rp 30 milyar;
4. Kekeringan pada sebagian lahan pertanian di wilayah pulau Lombok dan pulau Sumbawa yang terjadi pada saat musim penghujan (Januari 2007) telah menyebabkan terjadinya gagal panen.
Fakta sosial dan lingkungan yang lebih didominasi oleh anomali/perubahan ekstrem cuaca dan variabilitas iklim. Gejala perubahan iklim belum disadari dan dipahami, termasuk di lingkungan pemerintah daerah NTB. Akibatnya belum ada Rumusan Kebijakan, Strategi dan Program –yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dan lingkungan pulau-pulau kecil di NTB-- untuk mengantisipasinya.
C. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Upaya mengembangkan kapasitas kelembagaan daerah untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Round Table Discussion. Diskusi terbatas dalam bentuk meja bundar ini dilakukan untuk meningkatakan pemahaman peserta diskusi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan skenario perubahan iklim dan dampaknya. Selanjutnya peserta diskusi dapat mulai mengembangkan gagasan-gasan umum tentang strategi dan program aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di NTB (lihat lampiran 1).
2. Lokakarya. Lokakarya ini dimaksudkan untuk memperluaskan jangkauan pemahaman tentang perubahan iklim global kepada stakeholder lainnya, sekaligus mengembangkan kesepakatan-kesepakatan tentang strategi dan program aksi untuk adaptasi dan mitigasi, rumusan rekomendasi untuk masukan kebijakan pembangunan daerah dan pembentukan gugus tugas (Task Force).
3. Memfasilitasi terbentuknya kelembagaan berupa Gugus Tugas yang dilandasi oleh Payung Legalitas (SK Gubernur), dan didalamnya dilengkapi oleh perangkat organisasi dan kerangka kerja yang jelas (lihat lampiran 2).
4. Dalam melakukan implementasi berkaitan dengan peran dan tugas, maka Gugus Tugas perlu dilengkapi dengan perangkat pendukung yaitu : Renstra sebagai panduan untuk mendorong perencanaan adaptasi dan mitigasi di daerah melalui mekanisme program dan anggaran daerah, media informasi dan komunikasi sebagai bahan dan materi kampanye kepada publik, serta pertemuan berkala dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol, penelaahan kritis sebagai bahan masukan kebijakan dan program khususnya kepada pemerintah daerah (lihat lampiran 3).
5. Pelaksanaan Kerja Gugus Tugas selalu menekankan pada sistem kerja kolaboratif, dan agar pola komunikasi dan kerja kolaboratif dapat lebih efektif, maka diperlukan kesekretariatan yang bertempat disalah satu lembaga yang disepakati.
6. Program dan Kebijakan yang telah dirumuskan oleh Gugus merupakan panduan yang dalam implementasinya akan diintegrasikan melalui program dinas/instansi yang relevan dan dalam penganggarannya menggunakan mekanisme penyusunan anggaran daerah (APBD).
D. Pengembangan Strategi Adaptasi Lokal
Langkah antisipatif akan lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan akan lebih rendah bila dibanding dengan upaya adaptasi yang dilakukan nanti pada saat keadaan sudah semakin memburuk dimana dampak sudah semakin besar sehingga upaya adaptasi akan membutuhkan biaya lebih mahal. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera melakukan upaya-upaya adaptasi, guna menyesuaikan ataupun mengurangi dampak-dampak ekstrem perubahan iklim. Tingkat intervensi (level of intervention) kebijakan advokasi harus dilihat dengan perkembangan informasi yang ada serta kebutuhan nyata wilayah dari pulau tersebut. Oleh sebab itu analisa dan respon dampak perubahan ekosistem, sosial/ ekonomi serta budaya (termasuk menggali dan menggunakan kearifan lokal) merupakan prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif. Adanya satuan gugus tugas (Task Force) untuk mengawal dan merumuskan kebijakan perubahan iklim yang keanggotaannya para pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi langkah strategis.
D.1. Hasil Identifikasi Awal
1. Sektor Pertanian berupa Inovasi varietas tanaman, variasi tanaman pertanian, diversifikasi tanaman, mekanisasi pertanian, meningkatkan kapasitas irigasi, menggunakan drip irrigation dan intergrated pest management.
2. Sektor Sumber Daya Air berupa modifikasi infrastruktur yang tersedia, konstruksi infrastruktur baru, pengelolaan alternative atau modifikasi system ketersediaan air yang telah tersedia, perbaikan infrastruktur yang rusak sesegera mungkin meningkatkan kapasitas reservoir, desalinasi,pembuatan inter-basin transfer
3. Sektor Kehutanan berupa membentuk forest fire attack unit dan forest fire preventionprogram , membentuk sistem peringatan bencana kekeringan melalui media public, menyusun forest risk meter, memperbaiki area yang rusak dengan menanam spesies tanaman yang berbeda yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, menentukan kuota untuk penebangan legal dan mendorong reforestasi/rehabilitasi (sustainable forest management) dan mendukung tree planting day
4. Sektor Pesisir dan Pantai berupa pembangunan infrastruktur (sea walls, breakwaters) , sistem peringatan dini dan sistem evakuasi terhadap kejadian ekstrim, hazard insurance , sistem desalinasi untuk ketersediaan air bersih, membangun zona set-back
5. Sektor Kehati berupa strategi nasional keanekaragaman hayati dan rencana aksi kebijakan nasional keanekaragaman hayati dan hidupan liar (biodiversity bill, biosafety policy), national invasive alien species, national invasive species strategy, national biosafety framework , strategi pengelolaan bantaran sungai, daerah pesisir dan kelautan (mencakup marine protected areas (mpas), marine and terrestrial conservation areas), sistem informasi dan database keanekaragaman hayati, kebijakan pelarangan perburuan dan penerapannya
6. Sektor Kesehatan berupa penyuluhan kepada masyarakat untuk mencegah terjangkitnya wabah melalui Posyandu dan Puskesmas,mencegah transmigrasi serta penebangan hutan secara liar, pengendalian populasi nyamuk, peningkatan akses terhadap air bersih, peningkatan kepedulian masyarakat untuk membersihkan lingkungan dari vector-borne disease, meningkatkan pengelolaan air limbah dan sanitasi.
7. Sektor Infrastruktur Perkotaan berupa meminimalkan paved surfaces dan meningkatkan penanaman pohon untuk mengurangi efek ’urban heat island’ dan menurunkan energi untuk penggunaan air conditioning , pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan rawan longsor, penatakotaan cluster daerah pemukiman, perkantoran dan daerah industri/perdagangan, menggunakan physical barriers untuk melindungi instalasi industri dari kemungkinan banjir , membangun sistem industri jauh dari daerah rentan
C.2. Isu Prioritas
Beberapa sektor utama yang merasakan dampak terhadap perubahan iklim yaitu sektor pertanian, kehutanan, sumberdaya air, pesisir dan energi. Adapun rumusan untuk menyikapi akibat perubahan iklim tersebut yakni :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar