Halaman Utama

Rabu, Februari 03, 2010

OBSERVASI UNDANG-UNDANG KEPARIWISATAAN NO. 9 TAHUN 1990

TELAAH/OPINI

Bab 1 Pasal 1.

  1. Definisi pariwisata kabur dan tidak memberi pengertian yang jelas tentang apa arti atau definisi pariwisata sebenarnya, sehingga bagi orang yang awam tentang pariwisata, definisi ini justru membingungkan.
  2. Pada definisi wisatawan juga kurang memberi pengertian yang dalam bahwa sebanarnya kita mengenal ada wisatawan dan pelancong. Pada undang-undang ini tidak memberi perbedaan antara wisatawan dengan pelancong (tourist dengan excursionist). Tourist/wisatawan adalah orang-orang yang melakukan perjalanan ke suatu tempat atau negara lain tanpa ada tujuan untuk mencari nafkah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 24 jam (eat least 24 hours), sedangkan pelancong/excursionist adalah orang yang bepergian ke tempat lain tanpa ada tujuan mencari nafkah, dalam jangka waktu kurang dari 24 jam (less than 24 hours).
  3. Pengertian kepariwisataan sangat kabur yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelanggaraan pariwisata. Hal ini sangat memungkinkan pemahaman yang keliru bagi masyarakat yang membacanya karena tidak dicantumkan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan pariwisata.

Bab 2 Pasal 3:

  1. Tujuan penyelengaraan kepariwisataan adalah memperkenalkan, memdayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek wisata. Pada kenyataannya memang telah berjalan seperti yang dicantumkan, terbukti bahwa pariwisata dapat menegenalkan kekayaan dan daya tarik berbagai tempat di negara kita kepada negara luar.
  2. Namun pada bagian selanjutnya, tujuan kepariwisataan yakni untuk memeratakan kesempatan kerja belum sepenunya kita lihat aplikasinya sampai ke Grass Roots. Banyak tenaga local yang masih belum ambil bagian dalam kegiatan pariwisata dan investor lebih tertarik menggunakan tenaga kerja asing terutama sebagai top management dalam menggarap usahanya di bidang pariwisata (hotel, restoran, dan lain-lain). Kalaupun menggunakan tenaga kerja local, jumlahnya sangat kecil dan ditempatkan pada level-level bawah.

Bab III Pasal 5

Pengusahaan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola dan membuat objek-objek baru sebagai objek dan daya tarik wisata sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4. Hal ini tentu membawa efek yang positif untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi bagi maayrakat untuk menggali potensi-potensi baru untuk dikembangkan, namun seringkali pengembanagan baru ini “kebablasan” karena tujuan untuk meraup keuntungan yang maksimal, sering pengelola objek wisata lupa akan kapasitas/daya dukung lingkungan (carrying capacity) objek yang dikelola, sehingga tidak jarang objek ini mengalami suatu tahapan yang paling mengerikan dalam “lifecycle” produk wisata itu sendiri yaitu mengalami tahap “decline” . Hal ini sangat mungkin terjadi, karena tidak adnya kesadaran dan pemahaman yang jelas tentnag isi undang-undnag pariwisata teruatama Bab III pasal 6 bahwa pembangunan objek dan daya tarik wisata harus memperhatikan:

    1. Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan social budaya.
    2. Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan-pandangan nilai yang hidup dalam masyarakat.
    3. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan
    4. Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri

Bab 5 pasal 30

  1. Masyarakat berhak berperan serta dalam proses kebijakan dan pengambilan keputusan mengenai objek wisata yang dikembangkan di daerahnya. Namun pada kenyataannya yang terjadi justru masyarakat hanya dijadikan penonton dan bahkan korban dalam pembangunan fasilitas kepariwisataan, sehingga meskipun ada beberapa objek dan daya tarik wisata yang ditentang pembangunannya oleh masyarakat setempat, tetapi tetap saja proyek dibangun dengan alasan ijin dari pemerintah sudah didapatkan. Dalam hal ini terlihat undang-undang tersebut belum dijalankan secara konsisten dan konsekuen.

Bab 7 pasal 35

Dicantumkan barangsiapa melakukan perbuatan melawan hak, dengan sengaja merusak,….. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Namun tidak dijabarkan secara jelas bentuk pengurasakan yang bagaimana yang dimaksud sehingga dapat merusak fungsi objek wisata. Tidak ada batasan yang jelas akan proses dan jenis pengrusakan yang dimaksud sehingga masyarakat awam tidak memahami apa yang dimaksud oleh undang-undang tersebut karena dalam penjelasan undang-undangpun tidak dapat ditemui makna dan penjelasaannya.

Demikianlah kira-kira tulisan saya yang mewakili pemikiran dan pemahaman saya yang dangkal dan awam terhadap hukum dan undang-undang dalam hal ini undang-undang kepariwisataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar