RESEARCH OF BALI HOTEL AND TOURISM DEVELOPMENT Memuat tema seputar kepariwisataan dan perhotelan yang berhubungan dengan lingkungan, sosial budaya,hukum dan manajemen
Halaman Utama
▼
Jumat, Mei 17, 2013
Rabu, Mei 15, 2013
Minggu, Mei 12, 2013
The Real Hotellier (Between Bos and Jongos)
Sebagai seseorang yang ingin mengabdikan diri pada dunia hospitality, khususnya di kapal pesiar, hotel dan restaurant, tentunya harus memiliki sikap dan pandangan hidup yang berbeda daripada bekerja dibidang lainnya.Boleh dikatakan, kalau bekerja di hotel harus memiliki sikap "mental bos, kerja jongos". Disini saya katakan harus memiliki "mental bos", karena seorang bos harus memiliki sikap dan jiwa yang pantang menyerah, tangguh, memiliki intelektual tinggi dan soft skill yang sangat baik-inilah yang saya maksud dengan "mental bos".
Seorang bos harus pandai, memiliki konsep pemikiran (conseptual skill) yang luas, kemampuan berkomunikasi yang baik (verbal dan non verbal), human skill /social skill yang baik dan kemampuan teknik yang baik pula. Berpenampilan harus rapi, tidak ada kumis, jenggot di bagian muka, rambut harus dicukur rapi (tidak boleh berekspresi "punk","glamrock","rocker")-rambut juga mesti di sisir rapi- pakai dasi, baju bersih, celana bersih tidak boleh dilipat-lipat, kaos kaki dan sepatu juga harus bersih, selalu menggunakan deodorant dan penyegar mulut. Inilah sisi "bos" yang harus dimiliki oleh pengabdi hospitality.
Kerja JONGOS, ya memang, bekerja pada dunia hospitality khususnya di hotel, restaurant,kapal pesiar adalah bekerja sebagai pelayan (jongos), dimana pekerjaannya sangat berhubungan dengan bersih-bersih, melayani orang dan harus selalu berada pada posisi "di bawah". Berada pada posisi "di bawah" artinya, selalu menempatkan diri pada posisi pendengar, yang melaksanakan perintah, tidak boleh berdebat, selalu mengalah, taat pada peraturan, bekerja di bawah tekanan- "The Guest/passenger is The King"- ya begitulah pekerjaan yang harus dilakukan, memang membutuhkan banyak kesabaran.
Pengalaman waktu kerja di kapal pesiar, sekitar 15 tahun lalu memang membawa kenangan tersendiri yang tentunya tidak terlupakan dalam hidup. Waktu itu sekitar awal Mei, berangkat dari Ngurah Rai ke Genova, Italia. Rasanya tidak percaya waktu itu akan melakukan perjalanan jauh ke Eropa, karena sebelumnya sudah sangat puas dapat training dan bekerja di Singapura. Aku selalu berpakaian rapi, pakai dasi dan jas khususnya pada saat berangkat ke Italia waktu itu. Teman-teman juga kebanyakan demikian, khususnya yang sempat mengenyam sekolah perhotelan sama seperti aku. Inipun kulakukan atas saran dosen-dosen perhotelanku untuk selalu berpenampilan profesional, apa lagi ke negeri orang. Perjalanan yang kutempuh waktu itu sangat mengesankan, bayangkan saja, dari Ngurah Rai ke Singapura, dari Singapura ke Frankfurt, Frankfurt ke Milan dan dari Milan baru naik Bus ke Genova. Wah ini wisata gratis layaknya Bos yang berpesiar setelah meraup komisi atas sisa hasil usaha. Selanjutnya kami sampai di kapal tempat kami bekerja, yaitu MV.Melody- wah kapalnya besar sekali (...soalnya pertama kali lihat kapal pesiar sebesar itu, dengan panjang 250 meter - 300 meter, dan tinggi lebih dari Grand Bali Beach). Di sana kami bertemu crew dari berbagai bangsa (Filipina, Samoa, Honduras, Rumania, Turki dan Italia)
Pengalaman waktu kerja di kapal pesiar, sekitar 15 tahun lalu memang membawa kenangan tersendiri yang tentunya tidak terlupakan dalam hidup. Waktu itu sekitar awal Mei, berangkat dari Ngurah Rai ke Genova, Italia. Rasanya tidak percaya waktu itu akan melakukan perjalanan jauh ke Eropa, karena sebelumnya sudah sangat puas dapat training dan bekerja di Singapura. Aku selalu berpakaian rapi, pakai dasi dan jas khususnya pada saat berangkat ke Italia waktu itu. Teman-teman juga kebanyakan demikian, khususnya yang sempat mengenyam sekolah perhotelan sama seperti aku. Inipun kulakukan atas saran dosen-dosen perhotelanku untuk selalu berpenampilan profesional, apa lagi ke negeri orang. Perjalanan yang kutempuh waktu itu sangat mengesankan, bayangkan saja, dari Ngurah Rai ke Singapura, dari Singapura ke Frankfurt, Frankfurt ke Milan dan dari Milan baru naik Bus ke Genova. Wah ini wisata gratis layaknya Bos yang berpesiar setelah meraup komisi atas sisa hasil usaha. Selanjutnya kami sampai di kapal tempat kami bekerja, yaitu MV.Melody- wah kapalnya besar sekali (...soalnya pertama kali lihat kapal pesiar sebesar itu, dengan panjang 250 meter - 300 meter, dan tinggi lebih dari Grand Bali Beach). Di sana kami bertemu crew dari berbagai bangsa (Filipina, Samoa, Honduras, Rumania, Turki dan Italia)
Sebagai crewship member, kami diberikan kabin, dimana satu kabin ditempati oleh dua orang crew. Syukur sekali saya dapat menempati kabin bersama teman dari Bali, jadinya tidak terlalu banyak beradaptasi masalah budaya. Kabin yang ditempati tidak besar, ruangannya berbentuk kotak besi persegi panjang ukuran 2 x 3 meter dengan tinggi ruangan 2 meter. Nomor kabin yang ditempati waktu itu 105, dengan tempat tidur bertingkat, full ac, tv, music-hot and cold running water, but no view, karena kabin kami terletak 5 meter dibawah permukaan laut!
Pekerjaan yang kami lakukan pertama waktu itu adalah bersih-bersih, karena situasi kapal masih "dry dock", pekerjaannya mengganti karpet, korsi dinning room dan Lido, vacuuming, dan membawa barang-barang kebutuhan dari pelabuhan menuju "store" di kapal. Waktu bekerja jam 06.00 - 20.00. Hari pertama betul-betul membuat seluruh tubuh terasa remuk, terutama bagian kaki yang pegal sekali. Kurang lebih 2 minggu kapal dry dock selanjutnya mulai cruise pertama.
Route Cruise pertama, yakni Genova(Itali)-Napoli-Palermo-Tunisia-Palma de Malorca(Spain) -Barcelona-Marceille (France) -Genova.
Route Cruise kedua, yakni Genova-Napoli-Palermo-Syria-Port Said (Egypt)-Katakolon (Greece)-Marceille (France) dan Genova.
Ada beberap route cruise ke Cassa Blanca (Afrika), Funchall (Portugal) dan menyebrang ke St.Martin (America) dan cruise di Karibia.
Pekerjaan waktu itu sebagai asisten waiter (Commis de rank), melelahkan juga, karena schedule kerja 06.00 s/d 02.00 selama 7 hari seminggu no off daya dalam satu kontrak. Bangun Jam 5.30, mandi langsung naik ke dinining rom untuk handling breakfast sampai 10.30, kemudian cleaning and preparing for lunch s/d 11.00. Istirahat setengah jam (kadang-kadang bodrill / solas sehingga tidak sempat istirahat) langsung melayani lunch dari 12.00 s/d 14.30, kemudian istirahat 1 jam, 15.30s/d 17.30 melayani tea time, istirahat satu jam, 19.00 s/d 23.00 melayani dinner (first sitting dan second sitting), istirahat satu jam, kemudian 24.00 s/d 02.00 melayani Supper. It is verry nice.....
Kerja di kapal pesiar memang betul-betul menempa mental hospitality, karena maaf, sering kali bekerja di kapal pesiar (pada jaman saya) kurang lebih suasananya seperti 'perbudakan'-kerja sangat keras(durasi 9 s/d 12 bulan), pergesekan antar crew sering terjadi, didepan passenger harus pasang muka manis, namun sampai di galley semua unek-unek keluar dengan bahasa "manna chamaron" "ave sesor" "murtakidamur" dan berbagai umpatan. Belum lagi jika ombak dan badai "menggoyang" tidak heran piring, gelas, meja sampai hancur dan pecah belah-membuat suasana semakin "very nice". Satu hal lagi, pada saat bekerja, antar crew sering saling umpat dibelakang/galley (maklum saja, we work in rush time and under high pressure), namun ketika jam istirahat kami semua kembali pada suasana akrab dan hangat, bahkan kalau kapal sedang "nge-port" sering kali kami minum bir sambil bernyanyi dan mancing bersama.
Berdasarkan pengalaman yang di dapat di kapal pesiar, di sini saya menilai bahwa apa yang diberikan pada waktu kuliah di sekolah pariwisata (khususnya PDSP), memang betul-betul sangat bermanfaat dalam menghadapi suasana bekerja yang penuh dengan tekanan, dimana kekuatan fisik dan mental merupakan hal yang sangat utama, dan memang itu dibutuhkan.
Bukti menunjukkan, kerja di hotel dan kapal pesiar, meskipun Bekerja seperti JONGOS, tetapi Gaji BOS (dengan syarat, bisa berhemat, tidak main judi, tidak main perem...n, dan rajin menabung), dan memang betul setelah bekerja sekian kali di kapal pesiar, seseorang mampu menjadi pengusaha yang memiliki karyawan (jadi BOS).*bay :)
(Ide tulisan ini muncul jam 3 pagi, setelah bangun dari tidur selepas malam mingguan bersama keluarga.)
Terimakasih
untuk www.blogspot.com, melalui media ini boleh belajar menulis,
walaupun amatiran, tapi paling tidak 'adalah' sesuatu yang dapat
dibagikan kepada sobat-sobat di seluruh dunia mengenai sekelumit
pengalaman hidup pada dunia perhotelan dan pariwisata. Jujur aja,
merasa sangat beruntung memilih dunia pariwisata sebagai lahan hidup
yang menghidupi, karena pariwisata adalah sebuah ilmu yang relatip masih
baru di Indonesia-jadi masih banyak ruang kosong yang dapat diisi
sesuai dengan pengalaman dan kemampuan.
Sabtu, Mei 11, 2013
AKREDITASI SEBAGAI SYARAT SAHNYA PENYELENGGARAAN PROGRAM STUDI
Undang-undang No 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi beserta Surat Edaran Dirjen Dikti
Kemdikbud No 160/E/AK/2013 Tanggal 1 Maret 2013 tentang Ijin Penyelenggaraan
dan Akreditasi Program Studi merupakan sebuah terobosan baru yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini seyogyanya disikapi tidak negatif oleh
segenap penyelenggara perguruan tinggi, dan
semestinya dijadikan penyemangat untuk mengikuti aturan-aturan yang berlaku
dengan segenap sumber daya yang ada. Disisi lain memang masih dijumpai ketidak
siapan dalam pendanaan untuk mengakreditasi prodi dari pemerintah kepada BAN-PT
dan sebagian penyelenggara perguruan
tinggi tidak mampu mengapresiasi
terbosan baru ini.
Lihat link berikut untuk informasi lebih detail :
Tantangan Pariwisata Sebagai Sebuah Ilmu Mandiri
Sungguh berbahagia bagi segenap insan pariwisata, karena pariwisata sudah di akui sebagai sebuah ilmu mandiri. Artinya pariwisata sudah sama dengan ilmu ekonomi, hukum, kedokteran,sastra, politik dan sebagainya. Secara legal, pengakuan pariwisata sebagai ilmu dapat dilihat pada pengkodean bidang ilmu oleh DIKTI, dimana pariwisata atau kepariwiasataan mendapat kode 699. Kelahiran pariwisata sebagai ilmu secara formal ditandai dengan keluarnya surat dari Dirjen Dikti Depdiknas No.947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008 yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dapat menyetujui jenjang Program Sarjana (S1) pada STP Bali dan STP Bandung.
Pitana (2008) menyatakan bahwa pengakuan formal terhadap status keilmuan pariwisata hanya merupakan salah satu prasyarat untuk tumbuh kembangnya Ilmu Pariwisata. Pengakuan sesungguhnya akan datang dari masyarakat, yang akan diuji oleh waktu. Agar lolos dari ujian tersebut, maka penelitian, publikasi, dan pengembangan ilmu pariwisata harus terus dilakukan pada berbagai aspek dan berbagai levelnya.
Diakuinya pariwisata sebagai cabang ilmu, karena memenuhi 3 syarat yaitu Pitana (2009:19) :
Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek-objek yang dikunjungi, sistem dan organisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponen pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu-buru, dan perlu dibuatkan taksonominya. Fenomena Pariwisata dapat difokuskan pada tiga unsur, yakni (i)pergerakan wisatawan,(ii)aktivitas masyarakat yang memfasilitasi pergerakan wisatawan, dan iii) implikasi atau akibat-akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas. Ketiga unsur ini memiliki sifat yang melekat pada setiap objek ilmu pengetahuan. Pergerakan atau perjalanan merupakan salah satu komponen elementer dalam pariwisata. Ia merupakan tujuan dan objek penawaran dan permintaan jasa wisata, termasuk objek kajian berbagai cabang ilmu pengetahuan (Freyer,1995). Salah satu di antara sifat tersebut adalah berulang, beragam, saling terkait dan teratur.
Pergerakan wisatawan berlangsung secara terus menerus dalam skala waktu yang hampir tidak terbatas. Jika dulu hanya kelompok elite masyarakat yang dominan berwisata, sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat (Hennig,1999), meskipun dengan bentuk, jenis dan cara yang berbeda. Aktivitas masyarakat pun cenderung beragam dan dinamis didalam memfasilitasi pergerakan tersebut. Ada yang menyediakan akomodasi dan adapula yang menyediakan transportasi. Sebagian lainnya menyediakan atraksi wisata, sebagian lainnya memasarkan produk wisata. Bahkan aktivitas tersebut tidak monoton, tetapi bervariasi dalam skala, intensitas, ruang lingkup, dan bidang kegiatan yang dilakukan. Demikian pula halnya dengan implikasi yang ditimbulkannya, yakni berbeda-beda menurut tingkat perkembangan pariwisata itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya keterkaitan (linkages) antara satu unsur (wisatawan) dengan unsur lain, yang dalam hal ini adalah masyarakat di daerah tujuan wisata dan dampak yang ditimbulkannya.
EPISTEMOLOGI
Aspek epistemologi pariwisata menunjuk pada cara-cara memperoleh kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah, yang didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara empirik. Metode pertama yang jamak dilakukan adalah metode penelitian komparatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis suatu masalah di tempat yang berbeda. Dalam konteks pariwisata, metode ini banyak digunakan untuk menganalisis kasus-kasus perkembangan destinasi wisata yang memiliki karakteristik khusus di kawasan berbeda, maupun relasi wisatawan dengan masyarakat di daerah tujuan wisata (Smith dan Krannich 1998).
Metode penelitian eksploratif juga sangat relevan digunakan dalam penelitian objek formal pariwisata. Metode ini bertujuan, misalnya untuk menjelajahi objek-objek kajian pariwisata yang belum terungkap sepenuhnya, sehingga akhirnya dapat ditemukan "fakta" atau kebenaran yang lebih utuh atas suatu objek. Sebagai contoh , wacana umum tentang pergerakan wisatawan menjurus pada pemahaman bahwa wisatawan memiliki karakteristik perjalanan yang seragam. Para ahli tentu tidak puas dengan hal itu karena ada fakta yang tidak sesuai.
Metode lain yang sering digunakan dalam penelitian pariwisata adalah metode deskriptif. Misalnya pengkajian terhadap proses-proses perjalanan dan pertemuan dengan budaya yang berbeda di daerah tujuan wisata dapat dilakukan dengan baik jika menggunakan metode ini.
AKSIOLOGI
Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Dalam ilmu pariwisata, pertanyaan yang dijawab disini adalah nilai atau manfaat apa yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan.Kontribusi pariwisata yang lebih kongkret bagi kesejahteraan masyarakat / manusia dapat dilihat dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda dan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan manusia.
KAJIAN
Berdasarkan uraian di atas, suatu hal yang patut kita fikirkan bersama sebagai akademisi pariwisata khususnya, bagaimana tanggung jawab dan peran kita dalam mengemban amanah tersebut di atas. Sudah selayaknya kita patut bersyukur karena pariwisata sudah di akui sebagai cabang ilmu. Namun demikian hendaknya kita selalu beriktiar dalam mengembangkan pariwisata sebagai Ilmu Mandiri, tentunya melalui pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Pada umumnya sebagian dosen dan pengelola perguruan tinggi lebih menekankan aktivitas pengajaran, karena disini lebih menjanjikan dalam meraih penghasilan. Seringkali penelitian dianggap sebagai beban, dengan mengurangi dana untuk penelitian dosen. Sesungguhnya tumpuan mempertahankan dan mengembangkan pariwisata sebagai ilmu terletak pada penelitian, karena melalui penelitianlah unsur epistemologi yang menjadi tulang punggung sebuah ilmu pengetahuan.
Memang sudah sangat layak jika pariwisata dijadikan sebagai sebuah ilmu. Kita dapat lihat fenomena yang ada di Bali saat ini : hotel, restoran, fasilitas hiburan, biro perjalanan wisata, pramuwisata, bank, suplier, pegawai hotel, sekolah pariwisata, dosen pariwisata, hukum bisnis pariwisata, Akuntasi perhotelan, dsb. Menunjukkan bahwa secara ontologis, pariwisata memang memenuhi syarat sebagai ilmu mandiri. Demikian pula secara epistemologi, pariwisata, saat ini sudah banyak penelitian pada bidang pariwisata yang perlu dikembangkan, sedangkan secara aksiologi pun pariwisata memang sudah mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Bali.
Pitana (2008) menyatakan bahwa pengakuan formal terhadap status keilmuan pariwisata hanya merupakan salah satu prasyarat untuk tumbuh kembangnya Ilmu Pariwisata. Pengakuan sesungguhnya akan datang dari masyarakat, yang akan diuji oleh waktu. Agar lolos dari ujian tersebut, maka penelitian, publikasi, dan pengembangan ilmu pariwisata harus terus dilakukan pada berbagai aspek dan berbagai levelnya.
Diakuinya pariwisata sebagai cabang ilmu, karena memenuhi 3 syarat yaitu Pitana (2009:19) :
- Ontologi (Objek atau focus interest yang dikaji)
- Epistemologi (metodologi untuk memperoleh ilmu pengetahuan)
- Aksiologi (nilai manfaat pengetahuan)
Ilmu pariwisata harus mampu menyediakan informasi ilmiah yang lengkap tentang hakikat pelancongan, gejala pariwisata, wisatawannya sendiri, prasarana dan sarana wisata, objek-objek yang dikunjungi, sistem dan organisasi, dan kegiatan bisnisnya, serta semua komponen pendukung di daerah asal wisatawan maupun di daerah destinasi wisata. Ilmu pariwisata juga harus dibangun berdasarkan suatu penjelasan yang mendalam, tidak terburu-buru, dan perlu dibuatkan taksonominya. Fenomena Pariwisata dapat difokuskan pada tiga unsur, yakni (i)pergerakan wisatawan,(ii)aktivitas masyarakat yang memfasilitasi pergerakan wisatawan, dan iii) implikasi atau akibat-akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas. Ketiga unsur ini memiliki sifat yang melekat pada setiap objek ilmu pengetahuan. Pergerakan atau perjalanan merupakan salah satu komponen elementer dalam pariwisata. Ia merupakan tujuan dan objek penawaran dan permintaan jasa wisata, termasuk objek kajian berbagai cabang ilmu pengetahuan (Freyer,1995). Salah satu di antara sifat tersebut adalah berulang, beragam, saling terkait dan teratur.
Pergerakan wisatawan berlangsung secara terus menerus dalam skala waktu yang hampir tidak terbatas. Jika dulu hanya kelompok elite masyarakat yang dominan berwisata, sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat (Hennig,1999), meskipun dengan bentuk, jenis dan cara yang berbeda. Aktivitas masyarakat pun cenderung beragam dan dinamis didalam memfasilitasi pergerakan tersebut. Ada yang menyediakan akomodasi dan adapula yang menyediakan transportasi. Sebagian lainnya menyediakan atraksi wisata, sebagian lainnya memasarkan produk wisata. Bahkan aktivitas tersebut tidak monoton, tetapi bervariasi dalam skala, intensitas, ruang lingkup, dan bidang kegiatan yang dilakukan. Demikian pula halnya dengan implikasi yang ditimbulkannya, yakni berbeda-beda menurut tingkat perkembangan pariwisata itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya keterkaitan (linkages) antara satu unsur (wisatawan) dengan unsur lain, yang dalam hal ini adalah masyarakat di daerah tujuan wisata dan dampak yang ditimbulkannya.
EPISTEMOLOGI
Aspek epistemologi pariwisata menunjuk pada cara-cara memperoleh kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah, yang didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara empirik. Metode pertama yang jamak dilakukan adalah metode penelitian komparatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis suatu masalah di tempat yang berbeda. Dalam konteks pariwisata, metode ini banyak digunakan untuk menganalisis kasus-kasus perkembangan destinasi wisata yang memiliki karakteristik khusus di kawasan berbeda, maupun relasi wisatawan dengan masyarakat di daerah tujuan wisata (Smith dan Krannich 1998).
Metode penelitian eksploratif juga sangat relevan digunakan dalam penelitian objek formal pariwisata. Metode ini bertujuan, misalnya untuk menjelajahi objek-objek kajian pariwisata yang belum terungkap sepenuhnya, sehingga akhirnya dapat ditemukan "fakta" atau kebenaran yang lebih utuh atas suatu objek. Sebagai contoh , wacana umum tentang pergerakan wisatawan menjurus pada pemahaman bahwa wisatawan memiliki karakteristik perjalanan yang seragam. Para ahli tentu tidak puas dengan hal itu karena ada fakta yang tidak sesuai.
Metode lain yang sering digunakan dalam penelitian pariwisata adalah metode deskriptif. Misalnya pengkajian terhadap proses-proses perjalanan dan pertemuan dengan budaya yang berbeda di daerah tujuan wisata dapat dilakukan dengan baik jika menggunakan metode ini.
AKSIOLOGI
Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Dalam ilmu pariwisata, pertanyaan yang dijawab disini adalah nilai atau manfaat apa yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan.Kontribusi pariwisata yang lebih kongkret bagi kesejahteraan masyarakat / manusia dapat dilihat dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi, pemahaman terhadap budaya yang berbeda dan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan manusia.
KAJIAN
Berdasarkan uraian di atas, suatu hal yang patut kita fikirkan bersama sebagai akademisi pariwisata khususnya, bagaimana tanggung jawab dan peran kita dalam mengemban amanah tersebut di atas. Sudah selayaknya kita patut bersyukur karena pariwisata sudah di akui sebagai cabang ilmu. Namun demikian hendaknya kita selalu beriktiar dalam mengembangkan pariwisata sebagai Ilmu Mandiri, tentunya melalui pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Pada umumnya sebagian dosen dan pengelola perguruan tinggi lebih menekankan aktivitas pengajaran, karena disini lebih menjanjikan dalam meraih penghasilan. Seringkali penelitian dianggap sebagai beban, dengan mengurangi dana untuk penelitian dosen. Sesungguhnya tumpuan mempertahankan dan mengembangkan pariwisata sebagai ilmu terletak pada penelitian, karena melalui penelitianlah unsur epistemologi yang menjadi tulang punggung sebuah ilmu pengetahuan.
Memang sudah sangat layak jika pariwisata dijadikan sebagai sebuah ilmu. Kita dapat lihat fenomena yang ada di Bali saat ini : hotel, restoran, fasilitas hiburan, biro perjalanan wisata, pramuwisata, bank, suplier, pegawai hotel, sekolah pariwisata, dosen pariwisata, hukum bisnis pariwisata, Akuntasi perhotelan, dsb. Menunjukkan bahwa secara ontologis, pariwisata memang memenuhi syarat sebagai ilmu mandiri. Demikian pula secara epistemologi, pariwisata, saat ini sudah banyak penelitian pada bidang pariwisata yang perlu dikembangkan, sedangkan secara aksiologi pun pariwisata memang sudah mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Bali.
Nanoe Biroe dan Pariwisata
Pembaca yang budiman, hari ini perkenankanlah saya menulis tentang seorang musisi Bali yang sangat populer di kalangan anak muda Bali maupun Internasional. Ia adalah seorang musisi yang berasal dari Dauh Puri Kauh (Denpasar Barat), sukanya nongkrong di wedang jahe Marlboro beli nasi jenggo untuk makan rame-rame kumpul sama penggemarnya. Made Nanoe Biroe, namanya-mungkin menjadi sebuah legenda musik rock Bali dengan icon : "KING of BADUDA"
Sosok Nanoe Biroe merupakan sosok yang ramah, rendah hati, sederhana dan apa adanya. Tutur katanya jauh dari seorang artis beken. Sosok pribadi yang sangat "Hospitality" bagi dunia pariwisata. Lirik lagunya jujur, apa adanya. Dalam setiap albumnya ada sisi romantisme, satir dan kritik sosial juga. Tarikan vokalnya yang serak-basah namun tidak pecah pada nada-nada tinggi, merupakan karakter vokal 'rock' sejati.
Musik Made Nanoe Biroe memberi warna tersendiri bagi perjalanan lagu-lagu Bali. Seperti kita ketahui bahwa musik Bali dari dulu sampai saat ini selalu bernuansa melo monoton dengan latar lagu mandarin dengan penyanyi prianya yang kebanyakan "cowok-salon" (contoh: tut asmara, jaya pangus, ari kencana) dengan suara mendayu-dayu bagai seruling-enak sih- tapi boring- soalnya dari jaman Ketut Bimbo, Widi Widiana-Trio Januadi- sampai Raka Zidane-model lagunya begitu saja-keren sih-cuma sekali lagi boring!
Generasi Nanoe Biroe, LOLOT, SID, Triple X, 4WD, merupakan bentuk inovasi musik Bali yang selalu adaptif dengan perkembangan zaman. Keras namun nikmat didengar, cadas namun menyentuh di hati, susah bosennya.
Lalu, Apa kaitannya Nanoe Biroe dengan Pariwisata?
Yaaa, Pariwisata butuh musik, disinilah peran musisi dalam memberikan kritik dan motivasi terhadap pengembangan pariwisata di Bali yang saat ini sudah mencapai titik jenuh- agar mampu melakukan sebuah lompatan ke dalam fase 'rejuvenation'. Mari kita lihat pengembangan pariwisata Bali yang sudah tidak merata dan bertumpu pada kawasan selatan Pulau Bali. Kemacetan, sampah, menurunnya kualitas lingkungan hidup adalah sebagian fenomena dari dampak negatif pengembangan pariwisata yang bertumpu di Bali Selatan ini.
Ini sebenarnya dapat menjadi ide lagu, agar pemerintah memikirkan kebijakan-kebijakan baru yang mengarah pada pemerataan pengembangan kepariwisataan, mendorong masyarakat untuk mencintai lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Saat ini jumlah lahan persawahan dan perkebunan terus berkurang setiap tahunnya, sementara pembangunan jumlah kamar hotel semakin banyak. Bukan berarti tidak bersyukur, disisi lain memang pembangunan kamar hotel pasti menyerap tenaga kerja, cuma kalau hotel terus dibangun dan lahan pertanian semain menyusut, itu sama artinya dengan memunahkan pariwisata sendiri di masa depan. Logika nya sederhana saja, Kesenian dan kebudayaan Bali, muncul dan berakar dari sektor pertanian, nahhh kalau lahan pertanian habis-itu sama saja memunahkan kebudayaan dan kesenian Bali (Ingat, salah satu unsur kebudayaan adalah sistem mata pencaharian hidup, dimana sejak dahulu kala orang Bali hidup dari lahan agraris-ingat pula Subak)
Jadi, barangkali suatu saat nanti Nanoe Biroe akan menulis kritik sosial dengan tema yang sudah ditulis di atas.Semoga saja, dan mudah-mudahan nanti lagunya bakal meledak seperti album-album sebelumnya yang selalu heboh.
Berikut ini adalah sebuah lagu favorit yang cukup menyentuh, khususnya bagi para jomblo, yang kurang sukses mencari pasangan hidup, tetaplah semangat-karena setiap manusia pasti ada jodohnya, dan Tuhan pasti mempertemukan jika selalu berusaha dan pantang menyerah.....
Berikut ini adalah sebuah lagu favorit yang cukup menyentuh, khususnya bagi para jomblo, yang kurang sukses mencari pasangan hidup, tetaplah semangat-karena setiap manusia pasti ada jodohnya, dan Tuhan pasti mempertemukan jika selalu berusaha dan pantang menyerah.....
PANAK MANUSA
Cord Awal :
C G Am C
F C F C G
C G Am G
Engap tangkah beli, ningehin munyin memen adine
F Em F G
Hey Gus, apa ka alih mai, dini tusing nerima Baduda
C G Am G
Sesek, angkian Beli, Ningalin sebeng Bapan Adine
F Em F G
Hey Gus, tyang ngalih mantu, nanging tusing ane care Gus!
Am Em F C-Em
Luwung keneh Bli kemu, nyalamin Om Swatiastu
Am Em F G
Nanging Mantram sing ma arti, ragan Bli tusing ma aji
C G Am Em F F7
Bli masih manusa, bisa ngeling, bisa nyakit ati
C G Am Em F F7 C
Bli masih manusa, panak manusa, Bli masih ngelah ajin raga
C G Am G
Mirib, Bapan adi uli pidan salah pergaulan
F C F G
Minab, Memen adine, fans berat-ne Datuk Maringgih
C G F G
Jaman, suba maju, presiden R.I. mapilih langsung
F Em F G
Reformasi, suba majalan, rakyat cenik milu maitung
Am Em F C
Yening adi mula tresna, mai jak beli kawin lari
Am Em F G
Malaib atas nama cinta, atas asas kebebasan
Em F G
Mula saja, Bli Jeleme Lacur
Em F G
Nanging ento, tusing dadi tolak ukur
Nanging ento, tusing dadi tolak ukur
Em F C
Nak mula saja penampilan bline lusuh
Em F G
Nanging ne penting, bli sing demen ngae rusuh
Minggu, Mei 05, 2013
MENINGKATKAN PENDAPATAN HOTEL DENGAN PROGRAM UP SELLING
Oleh : I Made Bayu Wisnawa (Pak Galih)
Hotel adalah
usaha akomodasi yang dikelola secara komersial, menyediakan fasilitas makan dan
minum, serta fasilitas penunjang lainnya dibuka untuk umum dengan menggunakan
sebagian atau seluruh bangunannya. Arti kata komersial disini tentunya adalah
mendapatkan keuntungan, yang diperoleh dari pendapatan seluruh
fasilitas-fasilitas hotel (kamar, restoran, lain-lain) dikurangi dengan
biaya-biaya yang muncul dari operasional hotel. Hal ini berarti, upaya
meningkatkan penerimaan pendapatan hotel
yang maksimal merupakan kunci utama untuk meraih keuntungan, disamping
pengendalian optimal terhadap biaya-biaya yang muncul.
Saat ini di
Bali, tingkat persaingan antar hotel dirasakan semakin meningkat yang
disebabkan bertambahnya jumlah hotel yang dibangun yang pertumbuhannya jauh
melebihi pertumbuhan jumlah wisatawan yang datang. Kondisi ini menyebabkan
munculnya kendala dalam mencapai target pendapatan yang diharapkan. Terlebih
lagi pada saat low season, seringkali
kebanyakan manajemen hotel menurunkan harga yang berlebihan (perang tarif),
yang berakibat buruk bagi kondisi pariwisata secara umum.
Ada banyak
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan hotel melalui fungsi
manajemen pemasaran khususnya, seperti mengoptimalkan komponen dalam marketing mix. Salah satunya dengan
melakukan program up-selling. Jika
dilihat dari konsep promotion mix
dapat dikatakan up-selling merupakan
bagian dari sales promotion, karena pada umumnya setiap produk yang di
up-sell harganya lebih murah dari harga normal (publish rate). Konsep up-selling
juga sesuai dengan konsep yield management, yang berupaya untuk
memaksimalkan hasil dalam setiap kondisi makro-mikro hotel.
Konsep Up-selling yang dilakukan sebaiknya
memberikan benefit pada tamu,
karyawan dan manajemen, sehingga dapat memotivasi karyawan yang menjadi ujung
tombak dalam program up-selling ini. Selain itu program pelatihan juga perlu
dilakukan, sehingga karyawan betul-betul paham dan mampu melakukan standard operating procedure untuk
melakukan up-sell. Kondisi ini akan
sangat membantu menghindari komplain dari tamu yang di prospek, dan juga waktu
yang digunakan menjadi lebih efisien.
Tabel 1
Program Up-Selling
untuk Guest Room
No
|
Room Type
(Up sell from Standard )
|
Publish Rate
(US $)
|
Up-Selling Programme
|
Employee Benefit
(5%/nite)(US $)
|
1
|
Junior Suite
|
200
|
175
|
8,75
|
2
|
Deluxe Suite
|
400
|
350
|
17,5
|
3
|
President Suite
|
5000
|
4000
|
200
|
Tabel 2
Program Up-Selling
untuk MICE-Function-Banquet
No
|
Package
(Up sell from Standard )
|
Publish Rate
(US $)/pax
|
Up-Selling Programme/pax
|
Employee Benefit
(5%/pax)(US $)
|
1
|
Silver Class
|
20
|
18
|
0,9
|
2
|
Gold Class
|
40
|
30
|
1,5
|
3
|
Platinum Class
|
100
|
75
|
3,75
|
Standard Operating Procedure
untuk Up-selling room
- Ketika tamu check in, periksa jenis kamar yang di pesan tamu
- Apabila kamar yang dipesan adalah standard room, berarti ada peluang besar untuk melakukan up sell
- Tanyakan apakah tamu membutuhkan kamar dengan kualitas lebih baik ? (Perhatikan penampilan tamu, bahasa tubuh)
- Berikan informasi yang dibutuhkan mengenai jenis kamar yang akan di up-sell
- Gunakan magic word : “well sir, it is only US$ 75 additional charge per-night, so you will save US$ 25 per-night”. (untuk tamu yang ingin up grade dari standard ke junior suite)
- Jika tamu menyetujui, maka segera lakukan proses administrasi pada system.
- Ucapkan terima kasih, dan panggil bell boy untuk pick-up guest lugage ke kamar tamu
Program up
selling sangat memungkinkan dilakukan, karena sebagian besar tamu belum
mengetahui dan mengenal produk hotel, sehingga sering kali mereka memesan kamar
atau produk hotel lainnya yang standar,
yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Peluang inilah yang
harus dimanfaatkan manajemen untuk meningkatkan pendapatan hotel.
Pengawasan
pelaksanaan program up sell juga perlu dilakukan dengan baik, jangan sampai
petugas/karyawan hotel lebih
mementingkan kegiatan up-sell daripada pekerjaan pokok lainnya, misalnya pada
situasi rush seorang front desk officer lebih mengutamakan melayani up sell daripada
melayani tamu check-out, atau mengangkat telepon yang berdering. Kondisi ini
akan memperburuk suasana kerja, oleh karenanya peranan duty manager atau
supervisor harus benar-benar kuat dalam mengawasi dan mengingatkan bawahannya.
Pembagian
pendapatan up-selling programme juga harus merata kepada semua karyawan hotel,
untuk menghindari kecemburuan pada departemen atau seksi yang tidak mendapat
kesempatan untuk melakukan kegiatan up sell. Sehingga penyampaian informasi
pada seluruh karyawan hotel mutlak dilakukan untuk mendapatkan dukungan dan
suasana kerja yang baik.
Tidak hanya di
hotel, Konsep up selling dapat juga di terapkan di semua perusahaan baik
manufactur maupun perusahaan jasa.