Halaman Utama

Senin, Oktober 08, 2012

Obrolan di Warung Kopi

Sore ini, sepulang kerja kira-kira jam 8 malam, nongkrong dulu di warung kopi sebelah baker's corner Teuku Umar. Biasalah, kebiasaan nongkrong emang sudah dari sononya. Niatnya cuma minum yang hangat, sambil ngemil, dengan (sebatang rokok / optional choice). Kali-kali aja ketemu sohib lama waktu es em a, atau es em pe, soalnya sekali waktu emang suka ketemuan di warung ini. Kalo ketemu, asik juga nostalgi masa lampau, nanyain kabar sohib-sohib lainnya dan kali-kali aja dapet info tentang sang mantan yang tak tahu rimbanya ( emang ga niat tau kabarnya, tapi kalau dapet selentingan, asik juga jadi bahan obrolan).
Seperti biasa, daku pesan secangkir white coffee dan sebungkus keripik singkong sama i meme yang jualan. Katanya white coffee tidak berbahaya bagi lambung, dan baik buat kesehatan, makanya daku pesan. Kalau keripik singkong, mah emang demenan leluhur dari jaman Majapahit dulu. Nah, kalau i meme asalnya dari Tabanan, tapi tinggal seputaran Dalung dan buka dagangan di Teuku Umar. Asik juga tempatnya, tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi. Harganya juga impas banget dengan honor ngajar (hehehe), artinya ga bakal buat dompet jadi cekak. Soalnya saat ini setelah berkeluarga, pengeluaran musti di kontrol dengan ketat, istri lanjut kuliah, anak juga sedang sekolah, belum lagi urusan rumah tangga, semuanya perlu dana. Tapi bagaimanapun hobi nongkrong ini harus tetap jalan. 

Kadang-kadang lebih banyak pengetahuan yang didapat dengan hobi nongkrong di warung kopi dari pada duduk di bangku kuliah. Kalau nongkrong, pengetahuan yang di dapat lebih 'fresh' actual dan terpercaya langsung dari nara sumber. Nah, fenomena dan informasi yang didapat dari nongkrong ini, boleh jadi sebagai penguat teori yang diperoleh di buku atau bangku kuliah. Kadang juga jadi inspirasi untuk buat tulisan di Blog ini.

Sedang asik nyeruput kopi, " sruuuuuuttt.....", tiba-tiba di sampingku duduk seorang pemuda berambut cepak dengan gaya sedikit slengekan. " Malam, Pak, punapi gatrane...", begitu sapanya. Dakupun menjawab dengan spontan , " Nggih selamat malam Dik, nggih niki sedang santai dumun...", (dalam hati bertanya-tanya, apakah ini pemuda adalah mahasiswaku atau mantan mahasiswa, atau kenalan dimana??? rasanya emang ga pernah kenal. Cuma sikap hospitalitynya itu yang membuat daku salut. Obrolan pun kami lanjutkan.

"Bapak lakar lunga kija?" (Bapak mau pergi ke mana? / where are you going sir?) demikian tanya si pemuda. " Tyang, wau teka uli megae, tyang nyante dumun" (saya baru saja datang dari tempat kerja, mau rehat sejenak), demikian jawabku.

Demikianlah, dialog basa-basi awal semakin menghangatkan suasana malam itu. Dari obrolan yang terjadi, dan beberapa pertanyaan "pancingan" yang kuberikan kepada si pemuda, dapat kusimpulkan bahwa pemuda ini, tinggal di sekitar Jalan Teuku Umar, dengan pekerjaan yang tidak tetap...dan kemungkinan besar preman (soalnya pakai tato, dan menyebut-nyebut nama pentolan sebuah ormas yang membidangi masalah keamanan di Denpasar dan Badung). Si Pemuda kerap kali mengeluh tidak punya uang, dan sulitnya mencari pekerjaan. Namun, ada rasa kasian juga melihat nasib si Pemuda ini. Sambil menghisap rokoknya si pemuda permisi sebentar untuk membantu parkir kendaraan sekitar warung kopi. Ternyata rejeki menghampiri si pemuda, karena setiap kali memarkir mendapat uang kisaran seribu sampai dua ribu. "Lumayan Pak, ade anggon pemeli roko", ucap si pemuda.
Sambil menyedot rokoknya si pemuda bercerita, bahwa hidupnya sungguh tak menentu arah. Meskipun statusnya sebagai penduduk asli Denpasar, dan memiliki beberapa petak tanah yang mungkin nantinya diwariskan untuknya, tetap saja pandangan pesimis mewarnai cerita anak muda tersebut. Yah, demikianlah, saya mendengarkan dengan seksama setiap patah kata yang diucapkannya, dan sesekali menimpali sambil menyemangatinya.
"Maaf Pak,...", ujar si pemuda. " oh, punapi, adi ngidih pelih?" begitu jawab saya. "Ehm....begini Pak, ampura pak, tyang jagi metaken niki." ucap si pemuda dengan agak sungkan. "Silakan dik,wenten napi?" saya menimpali. "......ehm, Bapak mekeneh ngalih cewek?" demikian tanya si pemuda.

Pertanyaan si pemuda yang terakhir rupanya memancing naluri saya untuk mengorek sedikit mengenai fenomena 4S dalam dunia pariwisata. Fenomena S yang terakhir (Sun, Sea, Sand and Sex).

" Wah, maaf, ampura niki, tyang ten wenten keneh ngalih keto-keto, kewala, dadi tyang metaken?" (Wah, maaf, saya tidak minat cari cewek, tapi boleh saya bertanya) demikian jawab saya. " Oh nggih Pak" demikian jawab si pemuda. "Tyang cuma metaken siki manten" (saya bertanya cuma satu saja), demikian balas saya,  "Wenten anak Bali megae keto (wanita PSK) ???". Si Pemuda menjawab, "Wenten Pak".

Hal ini membuat bulu kuduk saya merinding. Saya tidak percaya kalau ternyata ada wanita Bali yang bekerja sebagai PSK. Namun saya membuat dugaan dan pengharapan, semoga wanita yang dimaksud adalah wanita pendatang yang  ber KTP Bali, atau dengan kata lain bukan orang Bali asli.

Memang, glamour dunia Pariwisata tidak mungkin lepas dari unsur S yang ke 4 (SEX). Meskipun pemerintah sudah mendengungdengungkan tentang konsep pariwisata budaya yang di kembangkan di Bali, namun tidak mampu menutup atau meredam unsur SEX in Tourism in Bali. Hal ini disebabkan karena kegiatan Pariwisata adalah bersifat "have fun" atau mencari kesenangan. Demikian pula, kebutuhan SEX merupakan kebutuhan fisiologis yang menjadi dasar bagi kebutuhan manusia dalam teori Maslow. Artinya kebutuhan ini memang harus terpenuhi. Olehkarena berlaku pula dalil permintaan dan penawaran.

Si pemuda juga bercerita bahwa setiap bulannya pasokan PSK ke Bali dari Jawa terus mengalir rata-rata masih berusia di bawah 20 tahun (ABG). Pangsa pasarnya adalah penduduk lokal, wisatawan domestik dan wisatawan manca negara. Harganyapun bervariasi tergantung"kelas".  Demikian pula, masalah kamar, transportasi bisa diatur, yang penting dana mecukupi.

Sebuah kengerian muncul di benak saya. Jangan sampai Bali seperti Thailand yang mengandalkan SEX sebagai icon utama untuk menarik wisatawan. Hal ini sangat penting, mengingat dampak yang buruk pasti menghantui dalam jangka panjang apabila fenomena ini tidak dikelola dengan baik.
Disisi lain saya berpikir, mungkin juga fenomena SEX di Bali sama dengan industri rokok. Artinya, pemerintah sudah mengimbau masyarakat untuk tidak merokok, namun tetap saja masyarakat membeli rokok.

Malampun mulai larut, tanpa ku sadar, si pemuda entah di mana.....
Namun otak ini berpikir, dan terus berpikir
Semoga Bali tetap ajeg, Semoga semua insan yang hidup dan mencari makan di Bali menjaga kelestarian Bali dalam konsep Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan,...
Semoga, semoga semoga