Halaman Utama

Sabtu, Februari 04, 2012

Pariwisata Alternatif: Pariwisata Bali Masa Depan (Literature Review)

I Putu Budiarta

(Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali)

Abstrct:

The aim of this review is to introduce alternative tourism as a future tourism of Bali. Alternative tourism could give solutions to some negative issues such as traffic jam, pollution, urbanization, social jealoucy, poverty, unbalanced tourism development among South, North, East and West of Bali. The alternative tourism could be implemented into development of Ecotourism, Agro tourism and Village tourism. Its implementation could give positive impact to Bali tourism physically, culturally and economically. For its success, the participation or involment from whole tourism sectors such as government, society and tourism industries are needed.

PENDAHULUAN

Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali telah mendorong pembangunan sarana industri pariwisata yang semakin banyak sehingga menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan maupun sosial dan budaya masyarakat Bali. Menurut Manuaba (2009) sejak tahun 1986 pariwisata Bali memiliki beberapa isu seperti permintaan terhadap sumber-sumber yang terbatas, tekanan terhadap lingkungan, distribusi perolehan ekonomi yang tidak seimbang, pergeseran budaya, koordinasi dan pengelolaan yang kurang baik, dan dana pembangunan jangka pendek yang sangat tergantung pada investor.

Dalam sebuah seminar nasional di Universitas Udayana (2009), Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, mengatakan bahwa pembangunan pariwisata Bali tidak merata. Bali Selatan seperti Kabupaten Badung, Kodya Denpasar, dan Kabupaten Gianyar (Ubud) telah melampaui ambang batas (over load ), namun Bali Utara, Barat dan Timur masih jauh di bawah ambang batas (under load).

Sandi Adnyana dan Suarna (2007) mengatakan permasalahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi semakin kompleks baik dalam tatanan lingkungan global, regional, dan lokal. Kerusakan lingkungan meliputi hal-hal sebagai berikut.

Erosi pantai

Pada tahun 2003 ada 16 % atau 70,11 km dari total 430 km panjang pantai Bali mengalami erosi atau ada 34 titik erosi pantai yang teridentifikasi mulai dari pantai Padanggalak hingga pantai Suana di Nusa Penida. Penyebabnya antara lain penambangan batu karang, pengaruh alam (arus dan gelombang), dan penurunan suplai sedimen akibat kerusakan ekosistem terumbu karang. Intervensi manusia yang tidak memberi ruang yang cukup terhadap keseimbangan proses-proses dinamis di pantai serta aktivitas lainnya yang telah merubah pola arus dan gelombang telah mempercepat laju kemunduran garis pantai.

Permasalahan Sampah

Peningkatan jumlah penduduk, kurangnya kesadaran terhadap lingkungan dan tingginya penggunaan kemasan yang menggunakan kantong plastik dan kaleng yang bersifat undegradable menyebabkan peningkatan produksi sampah di Bali. Di lain pihak, sistem penanganan dan pengelolaan sampah yang belum mengalami kemajuan berarti menyebabkan peningkatan volume sampah semakin tinggi. Kesadaran masyarakat untuk mengurangi (reduce) dan memilah sampah dari sumbernya masih jauh dari harapan. Akibatnya produksi beberapa kota di Bali, yang meliputi Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) untuk tahun 2002 mencapai 3000 m3 atau 1.000 ton per hari.

Kemacetan dan pencemaran udara

Sumber utama kemacetan dan pencemaran udara di Bali berasal dari sumber bergerak, yaitu transportasi, sedangkan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak, misalnya industri kecil dan rumah tangga relatif kecil. Aktivitas transportasi di Bali yang mengalami peningkatan sekitar 7,53 % per tahun tentu dapat meningkatkan pencemaran udara dan kemacetan. Daerah yang memiliki tingkat kemacetan paling tinggi adalah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Isu Kemiskinan

Walaupun relative kecil, telah terjadi peningkatan jumlah keluarga miskin di Bali. Pada tahun 2001 berjumlah 88.885 KK (12,16 %) dari keseluruhan KK di Bali, meningkat menjadi 98.189 KK (12,81 %) pada tahun 2002. Sesuai hasil penelitian Susrami Dewi (2009), di kawasan pariwisata Nusa Dua pun masih terdapat 105 rumah tangga miskin. Hal ini disebakan oleh peran Bali Tourism Development Center (BTDC) yang masih rendah dan berjangka pendek.

Isu Keamanan

Keramaian kunjungan wisatawan sering memicu para pencuri dan penjambret barang bawaan wisatawan. Mereka biasanya beraksi secara berkelompok dengan menggunakan sepeda motor jenis Yamaha RX King agar sulit di kejar warga. Keberadaan kafe, pub, klub malam dan diskotik juga sebagai pemicu kekerasan dan bahkan sampai pembunuhan. Pada tanggal 12 April 2009 seorang wisatawan warga Negara New Zealand bernama Sean Keith William ditemukan tewas mengenaskan di dalam hotel Sari Yasa Samudra di Jalan Legian, Kuta setelah dikeroyok sejumlah orang ketika dugem (minum dan mabuk) di diskotik Bounty.

Isu Sosial

Wilayah Sanur memiliki segudang tempat penampungan para pekerja seks komersial (PSK), misalnya Semawang, Padanggalak, dan Jalan Danau Tempe. Tempat-tempat tersebut sebagai supplier PSK yang setiap saat siap didistribusikan bagi wisatawan yang tinggal di Bali dan termasuk masyarakat lokal. Dan banyak para pemilik tanah dan rumah di daerah Sanur yang menekuni usaha ini karena dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak sedikit.

Ketimpangan ekonomi antara pelaku pariwisata dengan masyarakat Ubud serta pembauran sarana pariwisata dengan pemukiman masyarakat lokal sering menimbulkan kecemburuan sosial. Isu seperti suara itik dan bau kotoran babi dari kandang ternak di sekitar hotel dan atap seng yang sengaja dipasang oleh masyarakat sering mengganggu kenyamanan wisatawan yang sedang berlibur sehingga dapat memicu konflik antara manajemen hotel dengan masyarakat.

PARIWISATA ALTERNATIF

Berdasarkan latar belakang dan isu di atas maka perlu dicarikan jalan keluar agar Pulau Bali tetap mendapat sebutan The Island of God, The Island of Thousand Temples, The Last Paradise dan tetap sebagai pulau wisata terbaik dunia (http://www.balitourismboard.org/), (cited 20 February 2009). Sesuatu yang perlu dilakukan adalah dengan pengembangan pariwisata alternatif. Pariwisata alternatif adalah suatu bentuk pariwisata yang mengutamakan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi yang positif dan bermanfaat serta menikmati pengalaman secara bersama-sama (Eadington & Smith, 1992:3)

Pariwisata alternatif dapat memberikan sesuatu yang berbeda dengan pariwisata konvensional yang identik dengan pariwisata masal yang telah menyebabkan kebisingan, polusi, dan hal-hal negatif lainnya. Kegiatan-kegiatan pariwisata alternatif dapat berupa: mempelajari sosial budaya orang lokal seperti belajar menari, bahasa, memasak makanan lokal, jalan-jalan menikmati keindahan suasana kehidupan alam pedesaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang jauh dari suasana bising dan polusi (Eadington &Smith, 1992:135 ).

Beberapa bentuk pariwisata alternatif mencakup kegiatan ekowisata, agrowisata, desa wisata dan wisata spiritual.

1. Ekowisata

Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif (khusus) yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya wisata atau perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES, 2000 dalam Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006:37). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bersifat sustainable atau berkelanjutan yang dapat membawa keuntungan pada semua aspek baik lingkungan, sosial budaya maupaun ekonomi masyarakat lokal.

Menurut Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. (2006: 37) ekowisata memiliki tujuh prinsip, yakni:

1) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal

2) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya.

3) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi DTW.

4) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.

5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai lokal.

6) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di DTW.

7) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan kebebasan bagi wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.

Berdasarkan hasil lokakarya Pelatihan Ekowisata Nasional di Bali (2006), ekowisata memiliki sembilan prinsip yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Bali yaitu:

1) Memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya;

2) Menyediakan interpretasi yang memberikan peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaanya terhadap alam;

3) Memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat serta memberdayakan masyarakat setempat;

4) Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat;

5) Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6) Pengembangannya harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat setempat;

7) Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen;

8) Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab);

9) Sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.

Melihat prinsip-prinsip tersebut Bali mempunyai banyak keunggulan dibandingkan daerah lain karena Bali memiliki semuanya seperti: pantai berpasir putih, laut bergelombang tinggi, karang laut dan ikan hias, gunung, danau, hutan, sawah, kebun, satwa langka (jalak putih, ikan lumba-lumba, sapi) dan sebagainya. Namun dari segi ukuran Bali sangat kecil, karena itu pembangunan pariwisata harus merakyat, selektif, terbatas, dan berkualitas agar bisa berkelanjutan sampai ke generasi berikutnya.

Kegiatan-kegiatan Ekowisata yang bisa dikembangkan berupa kegiatan: menyaksikan satwa khas Bali seperti burung jalak putih di Taman Nasional Bali Barat, ikan lumba-lumba di pantai Lovina, sapi Bali liar (yang di keramatkan) di Desa Tambakan-Buleleng, lembu (sapi putih yang di keramatkan) di Desa Taro-Gianyar, monyet di Alas Kedaton, burung kokokan di Petulu-Ubud dan konservasi penyu hijau di pulau Serangan. Kegiatan lainnya berupa menyaksikan hutan tropis di Jembrana, tanaman langka, anggrek dan bunga di kebun raya Bedugul, trekking atau mendaki gunung Batur atau gunung Agung, menyelam dan snorkeling di pantai Tulamben dan pulau Menjangan.

Ekowisata mesti memperhatikan tingkat kemampuan atau daya dukung (carrying capacity) kawasan terhadap jumlah kunjungan wisatawan yang datang. Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu: interaksi wisatawan dengan alam maupun dampak pengunjung terhadap alam atau lingkungan itu sendiri. Sehingga dalam pengelolaannya perlu mempertimbangkan hal-hal seperti menjaga tingkat kealamian kondisi lingkungan dengan memberikan informasi tentang aktivitas yang tidak boleh dilakukan di areal tersebut. Misalnya: melarang membuang sampah sembarangan, tidak mencabut atau memotong tanaman secara sembarangan, dan tidak mengganggu hewan atau satwa yang ada, membatasi jumlah pengunjung, dan pemakaian bahan bakar alat transportasi yang ramah lingkungan. Ekowisata sangat mengutamakan pemberdayaan masyarakat setempat baik dalam perencanaan, pengelolaan dan kontrol sehingga mereka mendapatkan keuntungan ekonomi yang nantinya menumbuhkan kesadaran mereka untuk ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap alam tersebut.

2. Pariwisata Agro

Pariwisata Agro adalah suatu kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap sektor pertanian dan perkebunan seperti: berwisata ke kebun strawberry, apel, jeruk, kopi, anggur, dan sebagainya. Dalam kegiatan pariwisata agro menekankan pada pengalaman dan belajar tentang tanaman dan dikelola secara baik sehingga dapat membawa dampak positif bagi masyarakat lokal.

Ke depan Bali sangat tepat dikembangkan menjadi DTW Agro karena Bali memiliki lahan yang cukup luas dan subur, curah hujan yang cukup dan cocok dengan beraneka ragam jenis tanaman tropis. Misalnya, daerah Kintamani sangat cocok untuk pengembangan wisata agro tanaman jeruk dan kopi, Buleleng bagian timur untuk wisata agro tanaman mangga dan rambutan, dan Buleleng bagian barat untuk wisata agro tanaman anggur. Untuk wisata agro tanaman kopi di Desa Pupuan-Tabanan, salak di Desa Selat-Karangasem, dan strawberry di Bedugul. Di lokasi wisata agro wisatawan bisa belajar mulai dari proses penanaman, pemeliharaan sampai dengan panen. Selain itu wisatawan juga dapat membeli produk jadi yang berasal dari buah-buahan tersebut baik yang berupa permen (rasa durian, jeruk, mangga, salak), juice (jeruk, durian, mangga, tomat, salak), kopi luwa, teh beras merah, buah kemasan dan minuman wine.

Dengan diversifikasi produk unggulan yang dimiliki masing-masing daerah maka penyebaran pariwisata Bali menjadi lebih merata. Partisipasi masyarakat yang lebih tinggi tentu akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani di masing-masing daerah dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap sektor pertanian. Dengan demikian sektor pertanian dan perkebunan Bali bisa berlanjut serta berkurangnya kecemburuan sosial dan urbanisasi ke Bali Selatan.

3. Pariwisata Pedesaan (Desa Wisata)

Pariwisata Pedesaan merupakan kegiatan wisata yang ditujukan bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana pedesaan sebagai tempat untuk istirahat, sebagai tempat belajar budaya suatu daerah (seperti belajar menari, melukis, memahat), dan tempat untuk mendapatkan pengalaman hidup yang berbeda dari daerah asalnya. Menurut Picard (1992) keunikan dan keanekaragaman budaya Bali yang tersebar di desa-desa dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (Picard, 1992).

Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki beraneka ragam budaya yang unik dan tidak ada duanya di dunia, mulai dari tari-tarian, kerajinan, adat-istiadat, kebiasaan, agama, yang tidak ada tandingannya di dunia. Sudah terbukti dari jaman dahulu hingga sekarang budaya Bali sangat kesohor keunikannya ke manca negara. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat Bali bisa mempertahankan budayanya agar tetap terpelihara dengan baik sehingga pariwisata dapat berkelanjutan.

Melihat animo wisatawan (terutama Eropa) yang sangat tertarik dengan budaya Bali yang dikatakan unik, masyarakat seyogyanya mengusahakan potensi budaya yang dimiliki masing-masing desa sebagai daya tarik wisata. Misalnya dengan membuka kursus budaya seperti kursus menari, memasak makanan Bali, menabuh, mekidung, melukis, memahat, membuat canang dan sesajen, kursus bahasa Bali bagi wisatawan. Dengan begitu ekonomi masyarakat akan meningkat disamping juga akan menambah rasa bangga dan cinta terhadap budaya sendiri, mengangkat martabat bangsa di tingkat internasional, dan dapat menjaga kelestarian budaya.

Dengan pemanfaatan warisan budaya sebagai daya tari wisata maka bisa berdampak positif terhadap budaya Bali itu sendiri. Kontak dua budaya atau lebih dapat meningkatkan saling pengertian dan tukar budaya antara budaya wisatawan dengan budaya masyarakat lokal. Dengan pertukaran budaya akan dapat meningkatkan rasa simpati dan pengertian di antara wisatawan dan masyarakat lokal, mengurangi perasaan atau prasangka buruk terhadap budaya lain sehingga dapat menciptakan rasa perdamaian dunia. Selain itu dapat memperkuat masyarakat lokal dan mengurangi perpindahan masyarakat dari desa ke kota, dapat meningkatkan perannya dalam perkembangan pariwisata, dan memperbaiki pekerjaan dan dapat mengembangkan kegiatan-kegiatan budaya di masyarakat yang sesuai dengan keinginan wisatawan

Pariwisata pedesaan di kelola dalam skala kecil dan melibatkan seluruh anggota masyarakat desa yang bersangkutan. Misalnya beberapa anggota masyarakat desa membuat sebuah homestay sederhana dengan beberapa jumlah kamar yang mempekerjakan masyarakat dari desa tersebut. Juga dengan memanfaatkan kelompok-kelompok kesenian setempat sebagai entertainer bagi wisatawan yang menginap di desa tersebut. Untuk kebutuhan makanan dan minuman wisatawan sedapat mungkin di beli dari para pedagang dan petani setempat sehingga petani dan pedagang pun ikut mendapatkan cipratan rejeki dari wisatawan.

4. Pariwisata Spiritual

Rogers (2002:3) menyatakan spiritual merupakan jalan kembali ke dasar pluralitas bentuk agama yang menjadi dasar rasional bagi keberagaman tanpa batas pada jalan seseorang di dunia. Spiritualitas adalah hal alami dan universal dan oleh karenanya tidak dapat hanya dikaitkan dengan budaya agama tertentu. Selanjutnya Dana (2008:21) mendifinisikan wisata spiritual sebagai perjalanan wisata menuju tempat-tempat suci untuk melaksanakan kegiatan spiritual berupa sembahyang, yoga, semadi, meditasi, konsentrasi, dekonsentrasi, dan istilah lainnya sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Keberadaan ribuan pura yang tersebar di desa-desa di Bali menjadi aset utama dalam kegiatan pariwisata spiritual. Pura-pura tersebut dapat dijadikan tempat untuk sembahyang, bersemadi, dan meditasi. Kegiatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan para pemangku (pendeta) yang bertanggung pada masing-masing pura sehingga bisa berjalan dengan lancar.

Selain pura di Bali juga terdapat beberapa pasraman dan asram sebagai tempat melakukan wisata spiritual. Di Bali, ashram telah dikenal sejak abad ke-9 dengan istilah pasraman. Salah satu Pasraman, sesuai penelitian arkeologi situs Pura Gajah, di Desa Bedahulu, Gianyar, dahulu adalah Pasraman Siwa Budha, tempat para pendeta memberikan pelayanan kerohanian kepada masyarakat (Suantra dan Muliarsa, 2006). Di Pasraman Guru Kula - Bangli para siswa disediakan asrama dan khusus bagi siswa miskin, biaya pendidikan dan biaya hidup selama di asrama ditanggung pihak yayasan. Kurikulum yang diajarkan sama dengan sekolah formal namun lebih bernuansa Hindu. Di luar jam sekolah siswa diberikan pengetahuan tambahan seperti budi pekerti, agama Hindu, seni, cara bercocok tanam, cara beternak, dan lainnya. Dengan konsep kesederhanaan dan nuansa Hindu dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari, Pasraman Guru Kula dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Ada empat Ashram yang dikelola oleh Indra Udayana Vedanta Community yaitu Ashram Gandhi Puri Sevagram yang terletak di jalan raya Sidemen, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Ashram Gandhi Puri Chatralaya di jalan Gandapura, Denpasar, Ashram Gandhi Puri Satya Dharma, Singaraja, dan Ashram Gandhi Puri Vidyagiri di Mataram. Di Ashram tersebut banyak warga asing yang belajar kegiatan spiritual. Dari beberapa kegiatan spiritual tersebut yang paling menarik bagi wisatawan adalah meditasi, yoga, malukat, agnihotra, dan berdoa dengan mantra Gayatri. Hasil penelitian Ruki (2008) mengatakan bahwa yoga, meditasi, dan kegiatan lainnya bila dipraktekkan dengan benar akan bermanfaat sebagai terapi yang bisa membuat wisatawan merasa lebih bahagia, rileks dan tenang dalam waktu cepat.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian di atas, pariwisata alternatif akan dapat menjawab tantangan dan ancaman pariwisata massal yang selama ini telah banyak menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap alam dan sosal budaya Bali. Pariwisata alternatif dapat melestarikan dan meningkatkan kecintaan terhadap alam dan budaya Bali, serta meningkatkan ekonomi masyarakat pedesaan. Keanekaragaman produk wisata yang tersebar luas di seluruh kabupaten di Bali akan menjadi kekuatan daerah masing-masing dalam pembangunan pariwisata Bali yang nota bene lebih meratakan pembangunan pariwisata sehingga urbanisasi dan kecemburuan sosial antar daerah dapat berkurang. Bagi wisatawan, pariwisata alternatif akan dapat memberikan pengalaman dan belajar berupa alam dan budaya Bali yang tidak bisa ditemukan di belahan dunia manapun. Keunikan alam dan budaya tersebut akan bisa menjaga kestabilan kunjungan wisatawan ke Bali.

SARAN

Pariwisata alternatif membutuhkan partisipasi seluruh komponen pariwisata mulai dari pemerintah, masyarakat dan industri pariwisata. Oleh karena itu seluruh komponen tersebut berperan sesuai tugasnya masing-masing dengan mengemban visi dan misi yang sama yaitu pengembangan pariwisata alternatif. Pihak pemerintah melalui departemen terkait memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat yang masih awam dengan pariwisata, pelaku pariwisata seperti travel agent ikut mempromosikan dan menjual produk-produk pariwisata alternatif, restoran ikut menjual dan lebih mengutamakan produk-produk masyarakat lokal ketimbang produk-produk import.

DAFTAR PUSTAKA

Bali Post. 2009. “Kontribusi BTDC”. Denpasar: Kamis 10 September, halaman: 6, kolom 3.

Bali Tourism Board. 2009. “Welcome to Bali”. http://www.balitourismboard.org/(cited 20 February 2009).

Dalem, A.A.G.R. 2006. Prinsip-Prinsip dan Kriteria Ekowisata untuk Bali

Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Andy

Dana, I W. 2008. “Wisata Spiritual di Bali dan Prospeknya”. Bali Travel News Edisi Indonesia. Vol. III. No. 02 (21). Denpasar: Koperasi Tarukan Media Dharma.

Manuaba (2009) “Prospek Pengembangan Pariwisata Sebagai Wahana Diplomasi Budaya” (Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Pariwisata di Universitas Udayana).

Picard, Michel. 1992. Bali:Tourisme Culturel et Culture Touristique (Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata). Paris: Editions l’Harmattan.

Rogers, C.J. 2007. Secular Spiritual Tourism. Central Queenland University. (cited 25 September 2008) from: http:/www.iipt.org/africa2007/PDFs/CatherineJRogers.pdf.

Ruki, Made. 2008. ”Pengembangan Pariwisata Spiritual di Ashram Gandhi Puri Sevagram, Klungkung, Bali ” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Smith, Valene L. and Eadington, William R. 1992. Tourism Alternatives Potentials and Problems in the Development of Tourism. England: Wiley & Sons Ltd.

Susrami Dewi (2009). “Peran BTDC Dalam Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Wisata Nusa Dua” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI DESA SANGSIT, JAGARAGA DAN SAWAN, KABUPATEN BULELENG-BALI


Drs. I Putu Budiarta, M. Par)*

(Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali)

Abstract

Unbalanced tourists visit and tourism development between South and North Bali could create social, economic and environment problems. In order to decrease those problems, tourism should be developed widely to the North Bali such as Sangsit, Jagaraga and Sawan villages which have lots of cultural attractions.

The objectives of this research are to formulate some strategies and development programs of cultural tourist attractions. Supporting data on this research were collected by undertaking observation on site, interviewing informants who know about the internal factors (strengths and weaknesses) and external factors (opportunities and threats) of those villages, distributing questionnaires and studying some documents. After that, the researcher combined the internal and external factors using SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats) matrics in order to formulate some alternative strategies and program developments.

The findings showed that there were some programs that should be implemented in developing cultural tourist attractions in Sangsit, Jagaraga and Sawan villages. First, by developing and creating cultural attractions and activities products such as trekking, alternative and special interest tourism, preserving the original of local cultural attractions exist in those villages such as bukakak and ngusaba ceremonies. Second, by keeping and increasing the safety of those cultural attractions and the environment. Third, by keeping the cleanliness of the tourism area and building some tourism facilities such as accommodations, restaurants, toilets, parking areas, art market, repairing the alternative road to Sawan village via Lemukih-Sekumpul-and Bebetin villages and widening the capacity of the Wisnu airport. Promotion is implemented by building a tourist information services (TIS) in Beji Temple, building information board in strategic places such as in the main road, promoting those cultural attractions to travel agents and expanding new market such as Asia, Australia, USA and Africa. Fourth, by forming tourism organisations which are responsible to manage the tourism attractions in those three villages, increasing the knowledge and skills of human resources through tourism training and short courses.

Keywords: Sangsit, Jagaraga and Sawan villages, strategy, cultural attraction,

Abstrak

Ketimpangan kunjungan wisatawan dan pembangunan pariwisata antara Bali Selatan dengan Bali Utara dapat menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Untuk mengurangi dampak-dampak tersebut maka pembangunan pariwisata perlu diarahkan ke wilayah Bali Utara, khususnya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan yang memiliki wilayah cukup luas serta daya tarik wisata budaya yang cukup beragam.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi serta program pengembangan yang tepat. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, penyebaran kuesioner serta pemeriksaan dokumen. Setelah itu peneliti mengkombinasikan faktor-faktor internal dan eksternal dengan menggunakan matriks SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) untuk memformulasikan strategi alternatif dan program pengembangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan berada pada posisi pertumbuhan. Strategi yang disusun diwujudkan dalam program-program sebagai berikut: Pertama, mengembangkan dan menciptakan berbagai macam atraksi wisata budaya seperti trekking, wisata alternative, wisata minat khusus dan wisata agro, dan mempertahankan keaslian daya tarik wisata budaya yang ada seperti upacara bukakak dan ngusaba. Kedua, meningkatkan keamanan pada daya tarik wisata yang ada dengan bekerjasama dengan pihak kepolisian, masyarakat setempat dan dengan mendirikan pos-pos keamanan lingkungan. Ketiga, menyediakan dan memelihara fasilitas toilet, tempat parkir, jalan alternatif dari Desa Sawan menuju Desa Pegayaman, akomodasi, rumah makan, pasar seni dan meningkatkan kapasitas bandara perintis Letkol Wisnu. Promosi dilakukan dengan bekerjasama dengan Biro Perjalanan Wisata, memperluas pangsa pasar ke Asia, Australia, Amerika Serikat dan Afrika, mendirikan tourist information service (TIS) di lingkungan Pura Beji, meningkatkan promosi lewat internet dan memasang papan-papan nama di tempat-tempat strategis. Keempat, membentuk lembaga pengelola pariwisata Kecamatan Sawan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan, mengadakan kerjasama dengan lembaga pendidikan pariwisata dan mengadakan penyuluhan sadar wisata pada masyarakat.

Kata Kunci: Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, strategi, daya tarik wisata budaya.

I. PENDAHULUAN

Peran pariwisata bagi Bali, secara ekonomi, sudah tidak dapat diragukan lagi karena pariwisata telah dapat membuka lowongan kerja dan kesempatan berusaha yang lebih luas sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara. Namun, sampai saat ini pembangunan pariwisata Bali nampaknya belum dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat Bali karena pembangunan pariwisata Bali Utara, Barat dan Timur masih jauh tertinggal dibandingkan Bali Selatan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dalam seminar nasional pariwisata di Universitas Udayana tanggal 28 Februari 2009 mengatakan bahwa pembangunan pariwisata di Bali Selatan seperti Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan sebagian Kabupaten Gianyar telah melampaui ambang batas (over load), sementara di Bali Utara, Barat dan Timur masih jauh di bawah ambang batas (under load).

Kawasan Pariwisata Kuta, Sanur, Nusa Dua, dan Ubud selalu ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meskipun kawasan Nusa Dua baru dikembangkan sekitar tahun 1980-an, namun sekitar tahun 1990-an kawasan ini telah menjadi kawasan yang terkenal ke seluruh dunia sebagai kawasan pariwisata mewah dan eksklusif. Bahkan di bawah manajemen Bali Tourism Development Center (BTDC) kawasan ini telah meraih sertifikat Green Globe dalam penataan lingkungan (Bali Post, 10 September 2009) dari lembaga internasional sehingga akan membuat kawasan ini semakin terkenal di mata wisatawan. Selanjutnya, Kawasan Ubud kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kawasan Nusa Dua. Kawasan ini selalu ramai dikunjungi wisatawan sehingga pariwisata sudah menjadi sumber penghasilan utama masyarakat setempat yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain seperti pertanian, peternakan dan industri kerajinan.

Sebaliknya, Kabupaten Buleleng yang memiliki wilayah paling luas diantara kabupaten-kabupaten yang lain di Bali mendapat kunjungan wisatawan yang masih rendah. Perbedaan jumlah kunjungan wisatawan ke daya tarik wisata Kabupaten Buleleng, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar selama lima tahun terakhir seperti tabel berikut.

Kunjungan Wisatawan ke Daya Tarik Wisata

No.

Tahun

Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Daya Tarik Wisata

Kota Denpasar (13 DTW)

Kab. Gianyar

(16 DTW)

Kab. Buleleng

(38 DTW)

1

2005

313.967

473.649

200.745

2

2006

225.204

492.487

206.670

3

2007

216.370

670.388

215.914

4

2008

295.912

750.703

155.199

5

2009

386.181

812.536

379.589

Sumber: Data Pariwisata Kota Denpasar (2009)

Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar (2005-2009)

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng (2005-2009)

Berdasarkan tabel di atas, Kabupaten Buleleng selama lima tahun terakhir memiliki tingkat kunjungan wisatawan yang lebih rendah dibandingkan dengan Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Padahal dari segi jumlah dan nilai, Kabupaten Buleleng memiliki daya tarik wisata yang paling banyak (38 DTW) dibandingkan dengan Kota Denpasar (13 DTW) dan Kabupaten Gianyar (16 DTW).

Kalau ketimpangan pembangunan pariwisata ini dibiarkan tentu akan membawa dampak-dampak negatif terhadap pariwisata Bali. Pujaastawa, et al. (2005:4) mengemukakan dampak-dampak negatif tersebut berupa makin meningkatnya kesenjangan ekonomi antara Bali Selatan dengan wilayah Bali lainnya, kepadatan penduduk, persaingan hidup serta ancaman terhadap lingkungan. Selanjutnya Adnyana dan Suarna dalam Dalem et al. (2007:3-21) mengemukakan dampak-dampak pariwisata terhadap lingkungan meliputi kerusakan hutan, penurunan keanekaragaman hayati, permasalahan sumber daya air, pencemaran (udara, air dan tanah), abrasi/erosi pantai, kerusakan terumbu karang, serta permasalahan sampah dan limbah.

Dalam rangka mengurangi dampak-dampak negatif tersebut maka perlu dilakukan pemerataan pembangunan pariwisata terutama ke daerah-daerah yang masih memiliki wilayah cukup luas seperti Kabupaten Buleleng. Menurut Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Bali, I Made Sujana (2009), Kabupaten Buleleng memiliki potensi pariwisata yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan Kabupaten Badung dan Gianyar baik dari segi keindahan alam dan keanekaragaman budayanya sehingga Kabupaten Buleleng diakui memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata unggulan dunia.

Kabupaten Buleleng melalui Surat Keputusan Bupati No. 93 tahun 2003 telah menetapkan Pura Beji Sangsit, Pura Dalem Kelod Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga sebagai daya tarik wisata budaya. Walaupun demikian tingkat kunjungan wisatawan ke tiga daya tarik wisata tersebut masih rendah dan pengelolaannya belum secara maksimal sehingga dampak terhadap ekonomi masyarakat kurang dirasakan. Dari segi aksesibilitas, Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan memiliki lokasi yang cukup strategis. Prasarana/sarana transportasi serta komunikasi cukup lancar sehingga dapat menghubungkan ke tiga desa tersebut dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Buleleng. Fasilitas pendukung lainnya adalah tersedianya sebuah hotel, restoran, bank, dan puskesmas (Data Pokok Kecamatan Sawan, 2006).

Berdasarkan penjabaran di atas maka dalam penelitian ini peneliti ingin mencari strategi yang tepat untuk menggali, memperkenalkan dan mengembangkan pariwisata budaya Kabupaten Buleleng, khususnya Desa Sangsit, Jagaraga, dan Sawan.

II. PEMBAHASAN

Menurut Marpaung (2002:52) strategi merupakan suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada masa depan. Sama halnya dengan Chandler dalam Rangkuti (2002:3) bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Strategi dapat pula diartikan sebagai rencana umum yang integratif yang dirancang untuk memberdayakan organisasi pariwisata untuk mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya dengan tepat walaupun menemukan banyak rintangan dari pihak pesaing (Puspa, 2006:18).

Alwi, at al. (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:538) menyatakan bahwa pengembangan merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, maju, sempurna dan berguna. Pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah berkembang agar menjadi lebih menarik dan berkembang.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 1991 pasal 1 menyebutkan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu sebagai potensi dasar yang dominan. Damanik dan Weber (2006:13) menyatakan bahwa daya tarik wisata yang baik sangat terkait dengan empat hal yaitu: memiliki keunikan, orijinalitas, otentisitas, dan keragaman.

Sebelum melakukan strategi pengembangan, perlu terlebih dahulu menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan (lingkungan internal) daya tarik wisata budaya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, kemudian memadukan dengan faktor-faktor peluang dan ancaman dari luar (lingkungan eksternal).

2.1 Faktor-faktor kekuatan:

1) Terdapat beberapa pura yang bernilai sejarah dan bentu yang khas, seperti Pura Beji Sangsit, Pura Dalem Kelod Sangsit, Pura Dalem Segara Madu Jagaraga, Pura Subak Beraban Jagaraga dan Gook Rangsasa.

2) Terdapat kerajinan pande besi dan gong di Desa Sawan.

3) Terdapat sekaa-sekaa kesenian (di desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan) dan tokoh seniman Gede Manik dari Desa Jagaraga

4) Terdapat organisasi subak dalam wujud fisik dan non fisik seperti Pura Subak Beraban Jagaraga, Pura Bedugul, Pura Desa/Bale Agung Jagaraga, upacara bukakak dan upacara ngusaba.

5) Terdapat pasar tradisional di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan

6) Adanya dukungan masyarakat terhadap pengembangan pariwisata budaya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan

2.2 Faktor-faktor Kelemahan (weaknesses)

1) Kurangnya aksesibilitas menuju Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan yang disebabkan oleh jarak yang jauh dari bandara Ngurah Rai dan dari sentral pariwisata Bali Selatan dan Gianyar, kondisi jalan yang berliku-liku serta adanya jalan alternatif yang rusak.

2) Kurang tersedianya prasarana dan sarana penunjang pariwisata, yang mana di Kecamatan Sawan hanya terdapat sebuah hotel non-bintang (Hotel Berdikari & Restaurant) di Desa Sangsit Dangin Yeh dan sebuah bungalow di Desa Kerobokan.

3) Kurang tersedianya sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang pariwisata, yang disebabkan oleh banyaknya tenaga-tenaga kerja pariwisata yang bekerja di Bali Selatan, Gianyar dan kapal pesiar.

4) Kurangnya promosi dan kerjasama dengan Biro Perjalanan Wisata yang diakibatkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan dana.

2.3 Faktor-faktor Peluang (Opportunities)

1) Beberapa pura telah ditetapkan sebagai daya tarik wisata budaya seperti Pura Beji Sangsit, Pura Dalem Kelod Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga oleh pemerintah Kabupaten Buleleng (berdasarkan Keputusan Bupati Buleleng No. 93 Tahun 2003). Hal ini dapat memberikan peluang bagi pengembangan daya tarik wisata budaya, wisata minat khusus dan wisata alternatif di sekitar Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

2) Kecenderungan wisatawan Eropa terhadap pariwisata budaya.

Dari data kunjungan wisatawan ke Pura Beji Sangsit, Pura Dalem Segara Madu Jagaraga dan Desa Sawan menunjukkan kebanyakan wisatawan berasal dari benoa Eropa, yang mana hal ini dapat menjadi peluang bagi pengembangan daya tarik wisata budaya, wisata minat khusus dan wisata alternatif di sekitar Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

3) Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi

Teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju sangat membantu aksesibilitas antara daerah asal wisatawan dengan daerah tujuan wisata. Dengan internet, komponen pariwisata dapat mempromosikan daerah tujuan wisata ke berbagai negara dan dengan kemajuan alat transportasi, jarak yang jauh tidak lagi menjadi kendala utama dalam melakukan perjalanan wisata.

4) Citra pariwisata budaya Bali yang baik.

Keunikan dan keragaman budaya Bali, termasuk keramahtamahan orang Bali yang sudah terkenal di seluruh dunia sejak berabad-abad yang lalu menjadi peluang besar bagi pengembangan daya tarik wisata budaya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

5) Otonomi Daerah

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada bupati/wali kota untuk mengatur daya tarik wisata di daerahnya sendiri dapat memberi peluang dalam pengembangan daya tarik wisata budaya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

2.4 Faktor-faktor Ancaman (Threats)

1) Ancaman terorisme global

Ancaman terorisme yang memiliki jaringan internasional selalu menjadi ancaman bagi pariwisata.

2) Krisis ekonomi global

Krisis ekonomi global yang mempengaruhi hampir seluruh penduduk dunia dapat menyebabkan menurunnya pendapatan penduduk dunia dan mengurangi motivasi untuk melakukan perjalanan.

3) Situasi politik dan ekonomi nasional yang tidak stabil.

Masalah-masalah politik dan korupsi yang tidak pernah tuntas sewaktu-waktu dapat mengganggu keamanan dan ekonomi nasional serta mempengaruhi pariwisata.

4) Persaingan yang ketat antara daerah tujuan wisata.

Semakin banyak daerah-daerah yang mengembangkan pariwisata baik di dalam maupun luar negeri akan menambah ketatnya persaingan.

2.5 Strategi dan Program Pengembangan

Berdasarkan analisis matriks SWOT, strategi alternatif pengembangan daya tarik wisata budaya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan adalah sebagai berikut.

2.5.1 Strategi Strength Opportunites (SO), merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, menghasilkan strategi pengembangan dan diversifikasi produk serta mempertahankan keaslian daya tarik wisata tersebut. Program-program pengembangan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Wisata Trekking

Menyusuri keindahan alam pertanian, perkebunan dan keanekaragaman mata pencaharian masyarakat seperti bertani, kerajinan pande besi dan pande gong (di Desa Sawan), pande bokor (di Desa Menyali) dengan berjalan kaki merupakan pengalaman yang menarik bagi wisatawan. Kehidupan para petani yang masih tradisional seperti nengale, ngelampit, melasah, nyajahin, nyulamin, ngarit, ngulah kedis, ngedigang dan sebagainya akan menjadi sumber informasi yang sangat menarik bagi wisatawan karena hal tersebut merupakan sesuatu yang langka bagi mereka.

Agar peserta trekking tidak merasa jenuh maka dalam kegiatan trekking ini perlu dilakukan pengelompokan atau penggabungan antara daya tarik wisata budaya dan alam dan penggabungan antara daya tarik wisata utama (core attractioin) dengan daya tarik wisata pelengkap (supporting attraction). Beberapa rute trekking yang menarik adalah (1) mulai dari Kalangan Desa Sangsit-Subak Tumpal (melihat Gook Rangsasa dan kehidupan para petani)-Pura Dalem Segara Madu Jagaraga (melihat relief tentang Perang Jagaraga), (2) mulai Desa Menyali (melihat kerajinan bokor dan perkebunan rambutan)-Banjar Dukuh, Sawan (melihat kerajinan pande besi, gong dan Pura Batu Bolong).

2) Wisata Bahari

Pengembangan wisata bahari di Desa Sangsit didasari atas keberadaan pelabuhan Sangsit sebagai pangkalan pendaratan ikan (PPI) dan ketersediaan fasilitas dermaga untuk pendaratan kapal-kapal kecil. Wisatawan yang memiliki hobby memancing, berenang, berperahu dan berjemur dapat menghabiskan waktunya di pelabuhan Sangsit.

3) Wisata Kuliner

Banjar Pabean Desa Sangsit yang terkenal dengan produksi ikannya perlu dikembangkan wisata kuliner seperti Desa Jimbaran dan Kedonganan di Bali Selatan. Melihat keberadaan pangkalan pendaratan ikan dari pulau Jawa khususnya Madura dan lokasi yang sangat strategis karena tidak jauh dari Air Sanih (di timur) dan Kota Singaraja (di barat), maka sangat cocok di bangun cafe atau warung makan khusus seafood. Makanan yang disuguhkan berupa masakan dari ikan laut seperti ikan goreng, ikan bakar, sate ikan, pepes ikan, sup ikan dengan beraneka bumbu seperti sambal bawang mentah, sambal sere, sambal terasi, sambal tomat, sambal kecap dan lain sebagainya.

4) Wisata Spiritual

Pura-pura di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan seperti Pura Beji dan Pura Dalem Kelod Sangsit, Pura Dalem Segara Madu Jagaraga, Pura Batu Bolong Sawan, dan Gook Rangsasa Sangsit memiliki nilai magis dan lingkungan yang tenang sehingga pura-pura tersebut sangat cocok dijadikan tempat meditasi atau semadi.

5) Wisata Belajar Menari dan Menabuh

Desa Sawan dan Jagaraga memiliki tokoh seniman tari dan tabuh. Seniman dari Desa Sawan, Made Yadnya (65 tahun), pernah mendapat penghargaan Wija Kusuma dari Pemda Buleleng pada tahun 1985, dan penghargaan Dharma Kusuma Madia dari Gubernur Bali pada tahun 1987. Desa Jagaraga juga memiliki banyak seniman yang sudah terkenal dan berpengalaman dalam mengajar tari dan gamelan Bali. Ketut Keranca (60 tahun), generasi ketiga dari Made Wandres (pencipta tari Truna Jaya dan Palawakya), adalah seniman berbakat yang sudah berpengalaman mengajar tari dan gamelan bagi siswa-siswi dari dalam dan luar negeri. Para wisatawan baik domestik maupun internasional yang tertarik untuk belajar tarian dan gamelan Bali dapat belajar pada Ketut Keranca atau beberapa seniman lain di Desa Jagaraga.

6) Wisata Agro

Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan merupakan wilayah pertanian dan perkebunan sangat luas yang dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata agro. Dengan harga tertentu wisatawan dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pertanian seperti memetik buah yang ada di kebun, belajar cara pembibitan, penananam dan pemeliharaan tanaman tropis pada petani lokal. Waktu yang tepat untuk kegiatan ini mulai bulan November sampai Maret karena waktu tersebut musim buah-buahan seperti rambutan, mangga dan durian.

7) Museum Seni Gede Manik

Keberadaan rumah beserta barang-barang peninggalan seniman Gede Manik (almarhum) di Desa Jagaraga perlu dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (museum). Hal tersebut akan dapat melestarikan nama seniman Gede Manik serta menambah daya tarik wisata budaya terutama bagi para pecinta seni.

8) Monumen Perang Jagaraga

Untuk mengenang sejarah Perang Jagaraga, Pemerintah Kabupaten Buleleng berencana mendirikan monumen perjuangan yang dilengkapi dengan museum di sebelah utara Pura Dalem Segara Madu Jagaraga. Monumen dan museum tersebut nantinya dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata sejarah, khususnya Perang Jagaraga, bagi para siswa dan wisatawan serta melengkapi sejarah Perang Jagaraga yang telah ada pada relief Pura Dalem Segara Madu.

9) Upacara Bukakak dan Ngusaba

Upacara syukur para petani khususnya Subak Beji Sangsit dengan puncak upacara Bukakak dimana sekelompok orang Sangsit Dangin Yeh (sekarang Desa Giri Mas) keliling ke desa-desa sekitar membawa babi guling sliwah (setengah matang dan setengah mentah) yang diikuti beramai-ramai oleh masyarakat lainnya. Di Desa Jagaraga, Sawan dan beberapa desa di sekitarnya pada hari yang bersamaan (Purnamaning Kapat dan Kedasa) juga melakukan upacara Ngusaba yang sangat meriah. Upacara tersebut perlu dilestarikan dan dikembangkan menjadi sebuah event setiap enam bulan atau setiap tahun karena upacara tersebut tidak bisa ditemukan di tempat lain (langka) dengan cara menetapkan sebagai calendar of event sehingga akan dapat menarik kunjungan wisatawan ke desa-desa tersebut.

2) Strategi Strength Threats (ST), merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman, menghasilkan strategi peningkatan keamanan dan kenyamanan daya tarik wisata budaya dengan program seperti menjaga dan meningkatkan keamanan daya tarik wisata budaya dan lingkungan Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Peningkatan keamanan dilakukan dengan bekerjasama dengan petugas keamanan dari kepolisian dan masyarakat setempat seperti hansip dan pecalang dengan mendirikan pos-pos keamanan lingkungan. Para petugas keamanan tersebut perlu juga dibekali pengetahuan pariwisata dan bahasa asing yang memadai agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan.

3) Strategi Weaknesses Opportunities (WO), merupakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, menghasilkan strategi pengembangan prasarana/sarana pokok dan penunjang pariwisata dan strategi promosi. Program-progam yang dilakukan adalah sebagai berikut.

1) Menyediakan dan memelihara fasilitas kamar mandi/toilet.

Perlu dilakukan pembangunan fasilitas kamar mandi/toilet pada beberapa daya tarik wisata yang sering dikunjungi wisatawan atau saat melakukan aktivitas trekking di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan seperti Pura Dalem Kelod Sangsit, Pura Bale Agung Jagaraga, Pura Beraban Jagaraga dan Pura Batu Bolong Sawan karena pura-pura tersebut belum memiliki fasilitas kamar mandi/toilet. Khusus untuk Pura Beji Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga keberadaan fasilitas kamar mandi/toilet nya yang kurang representatif, maka kebersihannya perlu ditingkatkan menjadi standar internasional karena ke dua pura tersebut menjadi primadona wisatawan internasional, khususnya Eropa, yang memiliki tingkat tuntutan kebersihan yang sangat tinggi.

2) Menyediakan fasilitas parkir.

Selama ini wisatawan masih memanfaatkan sebagian badan jalan sebagai tempat parkir kendaraan mereka sehingga hal tersebut dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pemakai jalan lainnya. Pembangunan tempat parkir perlu dipersiapkan di Pura Dalem Segara Madu Jagaraga, Pura Beraban Jagaraga, Pura Bale Agung Jagaraga dan Pura Batu Bolong Sawan karena daya tarik wisata tersebut belum memiliki tempat parkir.

3) Memperbaiki jalan alternatif dari Desa Sawan menuju Desa Pegayaman.

Faktor aksesibilitas adalah faktor utama dalam pariwisata. Karena itu Pemerintah yang berwenang baik kabupaten maupun provinsi seharusnya secara terintegrasi memperbaiki jalan yang rusak sepanjang kurang lebih 12 km dari Desa Sawan menuju Desa Pegayaman supaya masyarakat dan wisatawan yang mengunjungi daya tarik wisata di daerah tersebut merasa aman dan nyaman.

4) Menyediakan fasilitas akomodasi

Pembangunan akomodasi mutlak dilakukan karena wilayah Kecamatan Sawan kekurangan fasilitas tersebut. Pembangunan bisa dilakukan pada daerah-daerah Kalangan Sangsit karena wilayah tersebut termasuk kurang produktif. Fasilitas akomodasi hendaknya menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan seperti kayu dan bambu sehingga terkesan alami dan tidak memerlukan investasi yang terlalu mahal. Fasilitas akomodasi bisa juga dilakukan dengan memanfaatkan rumah-rumah penduduk yang memiliki lingkungan yang bersih dan sehat.

5) Menyediakan fasilitas rumah makan

Fasilitas rumah makan diutamakan dimiliki dan dikelola oleh masyarakat lokal dengan menyajikan makanan tradisional khas Bali Utara seperti jukut undis sudang lepet, sate pelecing (sate dengan bumbu pedas), siobak, mengguh (sejenis bubur yang dicampur dengan beraneka ragam sayuran, ikan atau daging) serta dengan memanfaatkan bahan-bahan seperti sayur dan daging dari hasil pertanian dan peternakan masyarakat setempat.

6) Membangun pasar seni

Untuk menjual barang-barang cinderamata hasil kerajinan masyarakat Sawan seperti gong dan hasil kerajinan pande besi, patung dari batu padas di Desa Sangsit diperlukan sarana pasar seni. Selain itu, juga sebagai tempat pemasaran hasil kerajinan masyarakat dari desa-desa lain di Kecamatan Sawan seperti bokor dan dulang aluminium dari Desa Menyali dan ulatan keranjang dari Desa Sudaji sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar.

7) Mengadakan pertunjukan kesenian

Desa Jagaraga dan Sawan merupakan desa seni yang sudah terkenal dari dahulu sampai sekarang, memiliki sekaa-sekaa kesenian. Dengan mengadakan pertunjukan seni secara terjadwal dari sekaa-sakaa kesenian tersebut di balai banjar yang ada di di Desa Jagaraga dan Sawan tentu akan menambah daya tarik wisata budaya dan menambah jumlah serta lama kunjungan wisatawan di daerah tersebut.

8) Mengembangkan bandara udara Letkol Wisnu

Dengan mengembangkan bandara udara perintis Letkol Wisnu yang terletak di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng menjadi bandara kelas menengah akan mampu menampung pesawat-pesawat yang lebih besar yang dapat membawa penumpang domestik maupun internasional yang lebih banyak. Sehingga hal ini akan dapat menjadi pilihan khususnya bagi wisatawan yang ingin berkunjung langsung ke Buleleng serta menjawab keterisolasian wilayah ini dengan sentral-sentral pariwisata lainnya di Bali.

Strategi promosi dan penetrasi pasar diimplementasikan melalui program-program seperti melakukan promosi ke Eropa, Asia, Australia, Amerika Serikat dan Afrika (Selatan). Wisatawan Eropa merupakan pangsa pasar pariwisata budaya yang utama, Asia dan Australia merupakan pasar potensial karena memiliki jarak tempuh yang tidak terlalu jauh menuju Bali dan pertumbuhan ekonomi Negara tersebut tinggi. Pasar Amerika dan Afrika Selatan, walaupun dari segi jarak jauh dengan Bali, namun tingkat perekonomian masyarakatnya sangat makmur.

Selain kerjasama dengan biro perjalanan wisata atau pramuwisata yang ada di Bali untuk membantu memasarkan daya tarik wisata di Kecamatan Sawan, hal yang tidak kalah penting adalah dengan mendirikan tourist information services (TIS) di sekitar Pura Beji Sangsit karena pura tersebut mendapat kunjungan wisatawan yang paling banyak di Kecamatan Sawan. Dengan keberadaan TIS di Pura Beji akan dapat mempermudah pemasaran terhadap daya tarik wisata lainnya di Kecamatan Sawan.

4) Strategi Weaknnesses Threats (WT), merupakan strategi untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman yang menghasilkan strategi pengembangan sumber daya manusia pariwisata melalui program-program segagai berikut.

1) Membentuk lembaga pengelola pariwisata Kecamatan Sawan.

Pembentukan lembaga pengelola daya tarik wisata harus melibatkan berbagai komponen masyarakat lokal seperti desa adat, masyarakat yang peduli dengan kepariwisataan dan tokoh masyarakat. Melalui lembaga pengelola tersebut akan dapat mempermudah dalam melakukan perencanaan, pengelolaan dan kontrol terhadap kepariwisataan di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata.

Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan informal. Jalur formal dilakukan melalui pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan kepariwisataan mulai dari sekolah kejuruan sampai tingkat magister, sedangkan jalur informal dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan pada industri pariwisata baik di hotel-hotel maupun di restoran. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak pemerintah (Dinas Pariwisata), lembaga pendidikan kepariwisataan (STP, Politeknik, Mapindo, SPB, Unud (Puslitbudpar, Fakultas Pariwisata, Kelompok Studi Ekowisata Fakultas MIPA dan sebagainya) serta para praktisi pariwisata (pramuwisata, manajer hotel, pengelola BPW dan sebagainya). Dengan demikian pengembangan daya tarik wisata Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan dapat berbasiskan pada masyarakat (community based tourism).

3) Mengadakan penyuluhan sadar wisata.

Kehidupan masyarakat Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan yang sebagian besar sebagai petani, nelayan dan pengerajin banyak yang kurang memahami arti pariwisata karena itu perlu disadarkan akan pentingnya pariwisata bagi mereka. Kepada masyarakat perlu disosialisasikan tentang pentingnya Sapta Pesona (tujuh pesona) yang terdiri dari unsur keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan dan kenangan. Dengan sosialisasi Sapta Pesona secara teratur dan terprogram akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pariwisata.

4) Membangun jalan setapak

Untuk menjaga kesucian dan daya dukung pura-pura yang menjadi daya tarik wisata di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan perlu meniru Pura Besakih dan Pura Taman Ayun yaitu dengan membuatkan jalan setapak di sekeliling pura dan gardu pandang sebagai tempat melakukan pemotretan atau pemandangan sehingga wisatawan yang berkunjung cukup dari luar areal pura. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, bisa juga dilakukan dengan memanfaaatkan area jabaan dan jaba tengah sebagai daya tarik wisata dan tidak memanfaatkan area jeroan sebagai daya tarik wisata supaya kesucian pura tidak tercemar. Sebagai informasi awal, khususnya bagi wisatawan wanita yang sedang mengalami datang bulan, pada setiap pura perlu dipasang papan-papan pengumuman untuk tidak memasuki pura.

III. SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa strategi alternatif dan program pengembangan daya tarik wisata budaya Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan dapat dilakukan dengan (1) mengembangkan produk pariwisata budaya seperti wisata trekking, wisata bahari, wisata kuliner, wisata spiritual, wisata belajar (menari dan menabuh), dan wisata agro, mempertahankan keaslian daya tarik wisata budaya dengan membangun museum seni Gede Manik, monumen Perang Jagaraga, menjadikan upacara Bukakak dan Ngusaba sebagai calendar of event; (2) Meningkatkan keamanan daya tarik wisata dengan mendirikan pos-pos keamanan; (3) Menyediakan fasilitas pariwisata seperti kamar mandi/toilet, parkir, jalan, akomodasi, rumah makan, pasar seni, panggung kesenian, mengembangkan bandara udara perintis Letkol Wisnu, melakukan promosi; (4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui jalur pendidikan formal dan informal.

DAFTAR PUSTAKA

------------2003. Surat Keputusan Bupati Buleleng Nomor 93 Tahun 2003 tentang Penetapan 38 Daya Tarik Wisata Kabupaten Buleleng.

----------2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

----------2006. Data Pokok Kecamatan Sawan. Singaraja: Bappeda Kabupaten Buleleng dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng.

Alwi, Hasan dan Sugono, Dendy. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Dalem, A.A.G.R., Wardi, I N., Suarna, I W., Adnyana, I W. Sandi. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: Universitas Udayana.

Damanik, Janianton & Weber, Helmut F. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Andy.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng. 2005. Statistik Pariwisata Buleleng 2003-2004. Singaraja.

Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. 2005-2009. Data Kunjungan Wisatawan ke Obyek Wisata yang Dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar. Gianyar.

Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. 2005-2009. Data Kunjungan Wisatawan ke Obyek Wisata yang Dikelola oleh Swasta di Kabupaten Gianyar. Gianyar.

Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. 2005-2009. Data Kunjungan Wisatawan ke Museum di Kabupaten Gianyar. Gianyar.

Dinas Pariwisata Kota Denpasar. 2009. Data Pariwisata Kota Denpasar. Denpasar.

Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Pariwisata. Bandung:Alfabeta.

Pujaastawa, I.B.G., Wirawan, I G.P., Adhika, I M. 2005. Pariwisata Terpadu Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar: Universitas Udayana.

Puspa, Ida Ayu Tari. 2006. “Potensi dan Strategi Pengembangan Puri sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata City Tour di Kota Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Rangkuti, Freddy. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.