Halaman Utama

Selasa, Januari 24, 2012

Pariwisata Budaya


Pemerintah Propinsi Bali telah menetapkan ketentuan mengenai pariwisata budaya dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1974 dan kemudian diperbaharui melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1991 yang pada Bab I pasal 1 disebutkan bahwa Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan Nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, didalamnya tersirat suatu cita-cita akan adanya suatu hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang Ardika (2003:49).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada Perda Nomor 3 Tahun 1991, Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan pariwisata budaya adalah untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama dan kehidupan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan. Visi pembangunan pariwisata Bali adalah terwujudnya pariwisata budaya yang berkualitas dan berkelanjutan, berlandaskan Tri Hita Karana, berdaya saing global, dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Laster Borley dalam makalah yang ditulis Tjatera (2008:8) menyatakan pariwisata budaya dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang memungkinkan orang untuk menjelajahi dan memperoleh pengalaman dari perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan adat istiadatnya, tradisi religiusnya, dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam warisan budaya yang belum dikenalnya.

Pariwisata budaya menurut Geria (1983:13) dalam bukunya yang berjudul “Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal” didefinisikan sebagai kegiatan pariwisata di Bali yang menitik beratkan pada perkembangan segi-segi budaya Bali yang pada dasarnya bersumber pada Agama Hindu.


Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. 2003. Pariwisata Budaya berkelanjutan: Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan global. Denpasar: Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana

Geria. 1983. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal. Denpasar: Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana

Tjatera, I Wayan. 2008. Pariwisata Dalam Pembangunan Bali. Denpasar: Makalah Kuliah Matrikulasi Program Pascasarjana (S2) Pariwisata.


Budaya


Kata “Kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta Buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan sebagai: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal” (A.L Kroeber dan C. Kluckhohn dalam Kontjaraningrat, 1980:183). Pendapat lainnya dikemukakan dalam buku yang sama oleh P.J Zoetmulder dan M.M Djojodigoeno. Kata budaya didefinisikan sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.

Dalam istilah “Antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama. Dalam Koentjaraningrat (1980:183) kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dalam buku ini juga disebutkan oleh Koentjaraningrat bahwa kata culture, yang merupakan kata asing adalah sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengeolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.”

Dalam buku yang berjudul “Pengantar Antropologi” ini, (1983:206) disebutkan pula oleh Koentjaraningrat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi social; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian.


Daftar Pustaka
Kontjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru


Pengertian pariwisata berdasarkan Undang-Undang RI No.10 Tahun 2009 tentang pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Pariwisata didefinisikan oleh Macintosh dalam Pitana dan Gayatri (2005:44) sebagai:

“The sum of the phenomena and relationships arising from the interaction of tourists, business, host governments, and hosts communities, in the process of attracting and hosting these tourists and other visitors”. Artinya, pariwisata sebagai keseluruhan fenomena dan hubungan yang muncul dari interaksi para wisatawan, bisnis, pemerintah setempat, komunitas setempat, dalam proses untuk menarik dan manjadi tuan rumah bagi wisatawan dan pengunjung lainnya.

Batasan teknis diberikan oleh The World Tourism Organization (WTO) dalam Pitana dan Gayatri (2005:45), bahwa:

“Tourism comprises the activities of persons, travelling to and staying in place outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business, and other purposes”. Artinya, bahwa pariwisata terdiri dari aktivitas orang-orang, bepergian dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan mereka yang biasanya untuk tidak lebih dari satu tahun secara berturut-turut untuk tujuan bersenang-senang, bisnis, dan tujuan lainnya.

Dijelaskan oleh Yoeti (2001:xx) bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang yaitu (1) perjalanan itu semata-mata untuk bersenang-senang; (2) perjalanan itu harus dilakukan dari suatu tempat (dimana orang itu tinggal) ke tempat lain yang bukan kota suatu negara dimana ia biasanya tinggal; (3) perjalanan dilakukan dalam waktu minimal dua puluh empat jam; dan (4) perjalanan yang dilakukan tidak ada kaitannya dengan mencari nafkah. Mereka melakukan perjalanan semata-mata sebagai konsumen di tempat yang dikunjunginya.


Daftar Pustaka

Anonim, (a) Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Pitana, I Gde dan Gayatri, G. Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Yoeti, A. Oka. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.

Yoeti, A. Oka. 2003. Tours and Travel Marketing. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.