Halaman Utama

Minggu, Mei 02, 2010

REKAYASA PERILAKU AKTOR LOKAL DALAM PUSARAN DEMOKRATISASI

Dulu orang Bali menyembah patung agar hasil panen berhasil, kini menjual patung guna membeli hasil panen. Orang tidak hanya berbeda budaya, tetapi dalam budaya yang sama juga muncul perbedaan dengan ciri kulturalnya masing-masing, sehingga memperluas partisipasi massa terutama untuk golongan masyarakat tertentu. Contoh, bagaimana transformasi agama natur ke agama uang telah membuat orang Bali menjadi lebih disiplin di dalam mengeksploitasi lahan, tenaga kerja dan modal guna mengantisipasi berbagai perubahan yang mungkin terjadi dalam era demokratisasi.

Hal ini merupakan pernyataan sikap kompromis antara golongan yang memiliki pengaruh lebih besar di masyarakat dengan kekuatan sosial yang pengaruhnya relatif lebih kecil, dalam hal bagaimana masing-masing aktor dapat mengantarkan barang dan jasa ke tempat aktor yang lebih banyak memiliki uang. Namun, jalan menuju kompromis tak selamanya mulus. Artinya, tak tertutup kemungkinan terjadi konflik atau dapat dikatakan terjadi polusi di dalam proses faktor produksi. Begitu juga dengan distribusi kekuasaan yang dalam pelaksanaannya bisa mengarah ke bentuk kekerasan, karena legitimasi struktur kelas atau stratifikasi sosial bersumber pada keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas.

Transformasi ini membuat aktor lokal terbuka terhadap akselerasi kapitalis global. Satu sisi mereka bersepakat untuk dapat menikmati tradisi, namun di sisi lain mereka ingin hidup modern melalui pembangunan dan kekayaan material. Dalam konteks demokratisasi, menempatkan individu dan atau pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sering dianggap sebagai penggolongan relatif para anggota setiap kelas sosial dari segi faktor-faktor status tertentu, seperti kekayaan, kekuasaan dan martabat (Leon G. Schiffman dan Leslie Lazar Kanuk, 2007:330).

Hal ini berarti kita diminta untuk menyatakan sikap yang akan digunakan untuk mempelajari pelbagai masalah identitas, keamanan dan kebertahanan untuk hidup. Pengabaian terhadap kebutuhan semacam ini mengidentifikasikan bahwa batas-batas kemungkinan produksi belum efisien dalam memproduksi dan menyalurkan pendapatan, barang dan jasa. Artinya, penggunaan lahan, tenaga kerja dan modal masih menyisakan kemiskinan dan pengangguran. Yang tidak kalah penting adalah belum maksimalnya reformasi pelayanan publik yang masih tergantung kepada perbaikan birokrasi. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali melembagakan proses reformasi dalam kerangka sistem demokrasi yang lebih kuat (R.Siti Zuhro 2009;xiv). Hal tersebut dimaksudkan untuk menekankan pentingnya distribusi faktor produksi melalui rekayasa perilaku aktor lokal agar proses konsensus politik seluruh warga masyarakat bisa diwujudkan.

Rekayasa perilaku aktor lokal merupakan fenomena yang sangat mudah dilihat, namun sukar untuk dipahami. Karena rekayasa perilaku terjadi sebelum rekayasa solusi menghasilkan transaksi yang menguntungkan dan mempertinggi reputasi aktor itu sendiri. Dia merupakan pranata sosial di mana kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga lokal telah menjadi dasar kontestasi politik di tingkat lokal dan nasional (Ardhana 2004;xvi). Artinya, intervensi politik lokal dan nasional memegang peran penting dalam mengalokasikan sumber daya yang kerap melibatkan aktor-aktor lokal. Disebabkan oleh rekayasa solusi bertumpu pada fungsi desain rekayasa (Dennis Lock, Nigel Farrow, 1993: 349).

Pandangan bahwa kemakmuran secara material hanya disumbangkan oleh masyarakat ekonomi merupakan pandangan sempit. Kuncinya adalah membuka rekayasa rumah tangga, political society, birokrasi, economy society, civil society dan traditional society, sehingga benar-benar menggambarkan kebersamaan kultural yang tidak bertentangan dengan pembangunan melalui hubungan antar etnis dan negara. Jika desain rekayasa pembangunan ini dilembagakan atas kemauan politik, maka persaingan pasar dan kekuasaan yang selama ini memunculkan konflik menjadi hilang. Tampaknya perilaku aktor lokal belum maksimal memainkan perannya secara keseluruhan dalam batas-batas struktur budaya, ekonomi dan politik dalam proses pembuatan keputusan yang dihadapkan kepada kelangkaan.